Kesetaraan Gender Solusi Atasi Korupsi, Bisakah?



Oleh: Hamnah B. Lin

          Kami lansir dari Tempo.co, 18/1/2022, Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Erick Thohir sedang menambah porsi kepemimpinan perempuan di jajaran direksi dan komisaris perusahaan pelat merah. Kesetaraan gender, menurut dia, dapat menjadi bagian dari upaya checks and balances atau kontrol untuk menekan risiko korupsi.
          “Kenapa karena ada pria, ada wanita, itu ada checks and balances. Kalau semua sama, dia pergi bersama ke sebuah tempat, kongkow-kongkow bareng, korupsi bareng,” ujar Erick dalam dalam acara Visit Integritas Forum, Selasa, 18 Januari 2022.
          Kesetaraan gender merupakan salah satu langkah Kementerian untuk melakukan transformasi terhadap human capital di ekosistem BUMN. Erick mengatakan Kementerian menargetkan 25 persen kursi bos perusahaan pelat merah diisi oleh perempuan sampai 2023.  
          Berdasarkan data capaian Kementerian, realisasi perempuan menempati posisi direksi BUMN menyentuh 15 persen hingga akhir 2021. Mereka tersebar di berbagai klaster perusahaan negara, seperti di Pertamina, Bank Mandiri, BNI, Bukit Asam, ASDP, Damri, Sarinah, Hutama Karya, Bio Farma, sampai MIND ID.
          Selain mengejar target kesetaraan gender, Erick mendorong keterlibatan milenial di bawah usia 42 tahun untuk memimpin BUMN.  “Untuk generasi muda, sekarang sudah mencapai 5 persen dan pada 2023 akan sampai 10 persen,” ujar Erick.
          Erick mengimbuhkan, Kementerian memiliki berbagai fondasi untuk memperbaiki sistem BUMN agar mencegah terjadinya praktik lancung. Dia melihat korupsi bisa terjadi karena proses bisnis dalam satu perusahaan tidak berjalan dengan baik.
          Dengan kehadiran generasi muda, ia meyakini proses bisnis di perusahaan akan lebih sehat karena ada ide-ide segar. “Kalau bisnis model baru, yang paling mengerti adalah anak muda. Kami ingin mengubah mindset (lama) melalui kerja sama dengan anak muda,” ucap Erick Thohir.
          Memprihatinkan, jika kasus korupsi yang dijadikan solusi adalah dengan kesetaraan gender, menghadirkan  para perempuan sebagai pengontrol dan penyeimbang diantara para pejabat laki-laki. Saat pejabat perempuan dan laki-laki berdua saja apakah ini tidak ada potensi berkholwat nantinya. Jika hubungan di tempat kerja terasa nyaman antara laki-laki dan perempuan, apakah tidak akan menimbulkan rasa empati dan memunculkan gorizah nau'nya untuk mereka saling menyayangi. Jika pejabat laki-laki dan perempuan ini sudah menikah, tidakkah akan berbahaya bagi rumah tangga mereka. 
          Belum jika kemudian mereka harus meninggalkkan kewajiban mereka sebagai ibu dan pengatur rumah tangganya. Dan beralih mengerjakan sesuatu yang mubah. Dan seabrek kekwatiran yang lain. 
        Perempuan tetap menjadi daya tarik dalam bidang kerja apapun. Dengan dalih ketelatenannya, sigapnya, terampil dan jeli telah membuat perempuan makin laris dilirik oleh dunia usaha apapun, entah menjadi pelaku langsung atau tidak langsung. 
         Hingga hari, ide yang datang dari pemikiran liberal masih terus di jajakan di tengah-tengah kaum perempuan. Tidak sedikit yang mengambilnya sebagai solusi persoalan perempuan khususnya dan persoalan bangsa yang tiada akhirnya ini.
         Begitu miris tawaran pada kaum perempuan untuk dapat setara dengan kaum pria dalam hal apapun. Bukankah sejatinya ide kesetaraan gender adalah racun yang bisa mematikan fitrah perempuan?
          Lagi-lagi ide kesetaraan gender dari dulu hingga hari ini rupanya masih laku keras dan lagi-lagi berhasil untuk memperdaya kaum perempuan untuk keluar dari fitrahnya. Kini banyak perempuan yang memilih hidup berkarir di banding untuk memilih hidup sebagai ibu rumah tangga. Ini dikarenakan adanya  ide kesetaraan gender. Mereka mengira bahwa wanita berkarir itu lebih tinggi derajatnya dan lebih terhormat dibanding untuk menjadi ibu rumah tangga.
         Realitanya kapitalis terus mengeksploitasi dengan mewujudkan totalitas hegemoni atas dunia. Karena itu pula Barat menciptakan ukuran untuk menilai keseriusan setiap negara. Dengan terus menggulirkan ide kesetaraan gender. United  Nations Development programme di pilih untuk mengawal capaian tersebut.
         Barat mengiming-imingi dunia, jika perempuan memiliki peran identik dengan laki-laki di lapangan kerja maka itu akan lebih mulia. Kemudian kapitalisme memberi andil dalam menghancurkan peran sentral setiap anggota keluarga.
         Berbeda dengan kedudukan perempuan dalam sistem Islam. Mereka dilindungi, dijauhkan dari kerawanan dan dijaga kehormatannya. Perempuan tidak dipandang dengan lemah dan tidak berdaya karena penempatan posisi. Dalam pandangan Islam laki-laki dan perempuan dilihat secara proporsional. Tidak sebagai pandangan kapitalis yang senantiasa untuk memperjuangkan hak perempuan dengan kesetaraan gendernya.
         Kemudian untuk penanganan korupsi, Islam sebagai agama yang sempurna memiliki metode agar korupsi tak tumbuh subur, diantaranya:
Pertama, menjadikan keimanan sebagai sandaran. Setiap pejabat dan seluruh rakyat harus berpegang pada iman yang kokoh. Perpedoman pada halal dan haram. Inilah pengawasan
melekat sebagai benteng untuk tidak mengambil harta yang bukan haknya.
Kedua, pemilihan kepala negara dan kepala daerah secara praktis dan sederhana. Khalifah bisa dipilih melalui perwakilan (Ahlul Halli wal Aqdi) selanjutkan khalifah berwenang mengangkat wali/gubernur di tingkat daerah. Mekanisme ini jelas hemat biaya politik, disamping lebih mudah mencari pemimpin yang kompeten bukan yang banyak modal untuk pencitraan.
Ketiga, gaji yang layak bagi para pejabat. Agar pejabat dapat hidup secara layak dan tak tergoda untuk berbuat curang. Di samping itu harta para pejabat terus diawasi. Jika diketahui kepemilikan harta yang tidak masuk akal maka akan diproses dan disita oleh negara.
Keempat, hukum yang bersumber dari syariat. Tidak akan ada pasal-pasal pesanan hingga menutup celah suap menyuap untuk menggolkan undang-undang dalam proses legislasi. Peraturan yang dihasilkan pun jelas yang terbaik karena berasal dari Zat yang maha mengetahui.
Kelima, sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi sesuai kadar perbuatannya. Sangsi bisa berupa pewartaan, penyitaan harta, penjara bahkan sampai hukuman mati.
         Perlu ada kerja keras dan keseriusan untuk mengatasinya. Ketegasan dari seorang pemimpin dan penegakan hukum yang menjerakan. Lebih dari itu perlu perubahan sistem hingga tidak terus memproduksi koruptor koruptor baru.
         Demikianlah Islam telah menunjukkan bagaimana menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dari korupsi. Sehingga kekayaan negara yang melimpah bisa digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kemajuan negara bukan menjadi lahan subur bagi tikus-tikus berdasi. 
        Maka kesetaraan gender bukanlah solusi atasi korupsi, hanya dengan tegaknya syariat Islam melalui institusi khilafah Islamiyah korupsi tercabik dari akarnya.
Wallahu a'lam biashwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak