Oleh: Imroatus Sholeha( Pemerhati Umat)
Publik tanah air kembali dihebohkan dengan kabar tewasnya seorang mahasiswi disamping makam ayahnya. Dilansir dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga bicara mengenai kasus Novia Widyasari (23) yang menenggak racun karena sang kekasih Bripda Randy Bagus memaksa melakukan aborsi. Bintang menyebut kasus yang menimpa Novia termasuk dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence.
"Kasus yang menimpa almarhumah ini adalah bentuk dating violence atau kekerasan dalam berpacaran, di mana kebanyakan korban, setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran HAM," kata Bintang dalam keterangan pers tertulisnya, Minggu (5/11/2021).
Bintang menerangkan kekerasan dalam berpacaran dapat menimbulkan penderitaan secara fisik maupun seksual. Tak hanya itu, akibat yang ditimbulkan dari kekerasan dalam berpacaran itu juga dapat merampas hak seseorang baik di khalayak umum maupun sampai ke kehidupan pribadi.
"Kekerasan dalam pacaran adalah suatu tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak dan berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan hak secara sewenang-wenang kepada seseorang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi," ujar Bintang.
Bintang meminta polisi mengusut tuntas kasus Novia ini. Tak hanya itu, Bintang juga meminta pelaku Bripda Randy Bagus diproses hukum. "Meminta kepada pihak berwajib dalam hal ini Propam Polda Jatim untuk mengusut tuntas kematian NWR dan memproses pelaku BGS sesuai peraturan per undang-undangan yang berlaku," katanya.
Bintang menuturkan perbuatan Bripda Randy bertentangan dengan Pasal 354 KUHP terdiri dari ayat (1), dan ayat (2). Bintang mengatakan sanksi pidana bagi pelaku aborsi juga diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Seperti diketahui, Novia Widyasari nekat mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun. Nama Bripda Randy Bagus kemudian menjadi perbincangan hangat di medsos karena disebut-sebut menjadi penyebab Novia Widyasari bunuh diri. Bripda Randy Bagus merupakan mantan kekasih Novia Widyasari.
Bripda Randy Bagus akhirnya ditetapkan sebagai tersangka terkait aborsi yang dilakukan bersama mantan kekasihnya NWS (23) yang tewas setelah menenggak racun. Anggota Polres Pasuruan itu kini menjalani penahanan di rutan Polda Jatim.
Hal ini menuai simpati publik terhadap hal yang menimpa Novia, dan geram kepada tersangka (randy) hingga menuntut penegakan hukum terhadap pelaku. Namun sejatinya kasus ini tak cukup dengan penegakan hukum semata, publik harus lebih jeli melihat kasus ini. Memang benar tidak ada asap jika tidak ada api pemicu utama peristiwa ini dimulai dengan aktivitas pacaran yang menjurus pada perzinahan buah dari gaya hidup bebas(liberal), yang dijamin dalam HAM. Gaya hidup liberal inilah yang membuat perzinahan dan kekerasan seksual merebak di masyarakat.
Tak dapat dielakkan, dari tahun ke tahun kasus kekerasan seksual memang terus meningkat. Peningkatan ini sejalan dengan naiknya kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan anak (KtA) secara umum, baik secara kuantitas maupun kualitas. Data Kemen PPPA menyebut, pada 2019 kasus KtP tercatat sekitar 8.800 kasus. Pada 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus. Lalu data November 2021 naik lagi di angka 8.800 kasus. Artinya, dalam tiga tahun terakhir hingga November 2021 sudah ada 26.200 kasus KtP. Dari data sebanyak itu, kekerasan fisik mencapai 39%, kekerasan psikis 29,8%, dan kekerasan seksual 11,33%. Sisanya kekerasan ekonomi. Adapun KtA, kasusnya lebih banyak lagi.
Kemen PPPA menyebut, pada 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021. Dari data tersebut, 45% berupa kekerasan seksual, 19% kekerasan psikis, 18% kekerasan fisik, dan sisanya kekerasan ekonomi.
Data ini dipastikan merupakan fenomena gunung es. Mengingat kasus KtP atau KtA, apalagi kekerasan seksual, banyak yang terjadi di ranah pribadi. Tak semua korban berani melapor, apalagi membawa kasusnya ke ranah hukum. Selain itu, bisa dikatan pada saat ini tidak ada tempat yang aman bagi terjadinya tindak kekerasan. Di semua tempat, kekerasan dapat terjadi dan pelakunya bisa orang terdekat dan dihormati. Seperti saudara dan bahkan orang tua di rumah, di tempat umum, lingkungan kerja, lembaga sekolah, universitas, bahkan di pondok pesantren semua tak lepas dari kekerasan seksual seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Sistem sekuler berhasil menjauhkan agama dari kehidupan, di segala bidang baik pendidikan, pergaulan, ekonomi, hukum, sanksi, dan lainnya. Adalah wajar jika penerapan sistem ini membuat individu dan masyarakat tidak memiliki bekal keimanan kepada Tuhan dalam menjalani kehidupan. Islam sangat memperhatikan keberadaan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Hal ini berbeda jauh dengan pergaulan dalam sistem sekuler liberal. Siapapun bebas berdua-duaan dengan lawan jenis bukan mahramnya bahkan berzina asal suka sama suka dan tidak merugikan orang lain. Inilah potret demokrasi yang mengagungkan kebebasan dan HAM. Islam jelas melarang tegas perilaku zina bahkan memerintahkan menjauhi aktivitas yang mengarah ke perbuatan zina. Allah SWT dalam firman-Nya menyebut zina sebagai perbuatan keji dan jalan yang buruk. “Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang).” (QS Al-Israa: 32).
Mencegah atau menghapus kekerasan seksual, dan jenis-jenis kekerasan lainnya, hanya bisa dengan penerapan sistem Islam. Sebab sistem ini tegak di atas akidah yang lurus, yaitu keimanan kepada Allah Swt serta sanksi yang tegas. Menjadikan halal haram sebagai tolak ukurnya. Penerapan sistem Islam meliputi segala aspek. Negara sebagai peri'ayah umat bertanggung jawab menciptakan lingkungan kondusif yang jauh dari rangsangan kemaksiatan, serta memastikan keimanan individu dalam masyarakat dan kesejahteraan yang tinggi.
Semua celah yang megarah pada terjadinya kekerasan seksual akan ditutup secara optimal, bahkan sejak sebelum semuanya terjadi. Jika telanjur terjadi, negara akan punya kekuatan untuk menutup peluang penyebarluasan kerusakan. Negara menerapkan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat. Sanksi diterapkan untuk memberi efek jera, serta menjadi penebus dosa bagi para pelakunya. Pelanggaran berupa zina akan dikenakan sanksi rajam bagi pelaku yang sudah pernah menikah, dicambuk dan diasingkan untuk pelaku yang belum pernah menikah.
Maraknya perzinaan dan kekerasan seksual merupakan produk sistem kapitalis sekuler liberal. Karenanya, Selama negara masih menerapkan sistem rusak ini keadaan tidak akan pernah berubah, kecuali jika negara mau mengambil islam sebagai sistem hidup yang baru. Karena hanya hukum islam yang berasal dari sang Pencipta yang mampu menyelesaikan segala persoalan yang ada. Solusi tuntas yang akan menyelesaikan masalahnya hanya ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Wallahu a’lam