Oleh : Wa Ode Selfin (Mahasiswa UM Buton)
Dilansir dari Tribunnews.com (4/12/2021), ada dugaan NWR mengakhiri hidup lantaran menderita depresi akibat persoalan pribadi dengan kekasihnya. Penyebab NWR mengakhiri hidup pun sempat dijelaskan oleh seorang temannya dalam cuitan yang beredar di jagad maya. NWR mengaku diperkosa dan dipaksa melakukan aborsi oleh kekasihnya yang berstatus sebagai polisi.
Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo membenarkan bahwa NWR menjalin asmara dengan seorang polisi berinisial RB, dan berpacaran sejak tahun 2019. Mereka sudah melakukan hubungan selayaknya suami istri, hingga dua kali berujung tindakan aborsi. Pertama pada bulan Maret 2020 dengan usia kandungan masih mingguan, dan yang kedua pada bulan Agustus 2021 usia kandungan 4 bulan (Suara.com, 5/12/21).
Bukan Lagi Hal Baru
Pada hakikatnya kasus yang menimpa Novia Widyasari hanyalah satu dari banyaknya kekerasan masa pacaran yang terekspose oleh media. Seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus lagi yang tidak terpublikasi dan selalu wanitalah sebagai pihak yang paling dirugikan. Mulai dari mengalami depresi, diibunuh, hingga membunuh diri sendiri. Banyak pihak menuntut agar pelaku diberikan hukuman yang seberat-beratnya. Bahkan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU TPKS yang diduga dapat mengatasi persoalan kekerasan seksual. Mengapa kasus semacam ini tak kunjung teratasi? Apalagi setiap tahun jumlah korbannya terus bertambah.
Menilik masalah ini sejatinya kita melihat pada kondisi masyarakat Indonesia hari ini. Budaya pacaran telah dianggap bagian dari gaya hidup dan sudah menjadi hak setiap orang. Gaya hidup liberal telah merasuki pemikiran umat menjadikan kebebasan di atas segala-galanya, ditambah adanya jaminan kebebasan berperilaku dari negara. Alhasil setiap orang bebas untuk berbuat dan berperilaku termasuk dalam hal ini ialah pacaran. Bukankah hal ini menjadi sebuah masalah yang harus dicari solusinya? Bahkan akan dianggap sebagai masalah tatkalah ada salah satu pihak yang terbukti dirugikan. Seperti sampai terjadi kehamilan, aborsi, bunuh diri, barulah kemudian masyarakat beramai-ramai membahas itu hingga mengecam pelakunya. Namun tatkala itu tidak terjadi, semua pada bisu tanpa banyak berkomentar.
Parahnya, dengan begitu banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan seharusnya dapat membuka mata dan pikiran kita bahwa ada yang salah dengan negeri ini. Bukan hanya individunya semata, tetapi begitupun sistem kehidupannya. Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini adalah akar dari penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Sistem yang berakarkan sekuler dimana agama hanya ditempatkan pada ranah privat. Maka dalam urusan kehidupan manusialah yang diberi kebebasan untuk mengatur. Ketika urusan aturan diserahkan pada manusia yang hakikatnya akal dan kemampuannya lemah dan terbatas, maka kerusakanlah yang akan terjadi.
Hal ini menjadikan masyarakat dalam sistem kapitalisme mengadopsi paham liberalisme, yakni sebuah paham kebebasan yang menjadi landasan masyarakat dalam berperilaku. Sehingga atas nama kebebasan setiap orang bebas berbuat apa saja sekehendak nafsuhnya. Termasuk di dalamnya adalah kebebasan berpacaran. Apalagi dalam sistem kapitalisme pacaran adalah salah satu pemenuhan naluri perasaan suka terhadap lawan jenis, yang tidak bisa dihilangkan dan wajib untuk dipenuhi yakni melalui ikatan pacaran. Bahkan sampai pada tingkat hamil dan aborsi, parahnya ini dianggap baik-baik saja selama itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Bukankah permasalahan seperti ini sudah harus melibatkan negara di dalamnya? Namun fatalnya dalam sistem sekuler ini tidak terlalu diperhatikan.
Kembali pada Syariat Islam
Maka sudah seharusnya kita kembali pada Islam. Karena Islam bukanlah sekedar agama yang hanya mengatur persoalan ibadah ritual semata. Melainkan adalah sebuah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya interaksi antara laki-laki dan perempuan yang penerapannya tidak akan sempurna tanpa institusi negara. Dalam Islam jelas bahwa hubungan pacaran adalah perbuatan yang mendekati zina dan haram hukumnya. Sebagaimana terdapat dalam Surah Al-Israh ayat 32. Alhasil termasuk sebuah aib dan termasuk perbuatan maksiat tatkalah seorang perempuan berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya, termasuk di dalamnya ialah aktivitas pacaran. Negara memiliki peran untuk menutup segala pintu yang dapat menghantarkan manusia pada perzinahan, termasuk pacaran.
Selain itu, apabila terjadi kasus perzinahan Islam juga memberi sanksi tegas bagi para pelakunya. Pelaku zina yang belum menikah (gairuh muhshan) dikenai hukuman 100 kali deraan yang disaksikan di depan khalayak seperti yang disampaikan oleh Allah SWT. dalam Surah An-Nur ayat kedua. Sedangkan pelaku zinah yang sudah menikah (muhshan) dikenai hukuman rajam yaitu ditanam hingga leher dan dilempari batu.
Dengan adanya pemberlakuan sistem sanksi ini semata-mata agar menimbulkan efek jerah bagi para pelaku. Sehingga akan menjadi alarm bagi yang lain untuk tidak mendekati zina. Dengan demikian masalah kekerasan seksual akan dapat teratasi sampai ke akar-akarnya hanya dengan diterapkannya Islam kaffah dalam sebuah institusi negara.
Wallahu'alam bissawab.
Tags
Opini