Kaleidoskop: Penderitaan Anak di Tengah Pandemi

 


Oleh Khaulah

Aktivis BMI Kota Kupang


"Kita tidak mengingat hari, kita mengingat momen." Ungkapan dari Cesare Pavese mengindikasikan walau 365 hari telah berlalu, peristiwa-peristiwa yang ada tidak lantas hilang dari ingatan. Juga memproyeksikan keadaan gelap di tahun sebelumnya. Permasalahan pun kegetiran yang terjadi di tahun 2021 mestilah diingat, tak boleh berlalu begitu saja. Harusnya menjadi pembelajaran, lebih baik di tahun ini. Tetapi apakah bisa?


Pertama, mesti dilihat bahwa tahun 2021 menyisakan problematik yang berkepanjangan. Tentu saja hingga memasuki tahun baru, problematik itu masih ada, menumpuk, tak bisa diselesaikan. Di antaranya ialah terkait penderitaan rakyat, terkhusus anak di tengah situasi pandemi.


Pandemi berkepanjangan melahirkan derita kesehatan pada anak. Seperti kehilangan asupan kecukupan gizi akibat kemiskinan ekonomi sekaligus literasi. Kehilangan kesempatan emas mendapatkan ASI, akibat ibu melahirkan tak terduga terkena infeksi pandemi, juga kehilangan orangtua pun kehilangan kesempatan belajar optimal.


Selain itu, kebijakan pembatasan fisik dan sosial juga berpengaruh pada anak, di mana menimbulkan kejenuhan yang luar biasa. Emosi negatif seperti cemas, gelisah, dan khawatir yang ditunjukkan oleh orang tua atau anggota keluarga lain berbuntut pada kecemasan pada diri anak. Anak usia prasekolah pun cenderung tantrum selama masa pandemi.


Pada masa pandemi kekerasan terhadap anak alami peningkatan. Di antaranya kasus kekerasan seksual yang mencakup perkosaan, serangan persetubuhan yang dapat berupa sodomi, hubungan seks sedarah, dan lainnya. Lebih dari itu, anak-anak marak dituntut bekerja, terutama di perusahaan sawit dan kawasan industri.


Rentetan penderitaan anak di masa pandemi menegaskan bahwa negara benar-benar tak mengurusi rakyatnya. Negara yang mengadopsi sistem sekuler kapitalisme terbukti tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman untuk anak. Anak dituntut mengikuti alur kejam yang ada. Kehilangan orangtua, mandiri memenuhi kebutuhan perutnya sendiri bahkan dieksploitasi tenaga dan fisiknya.


Negara memang salah sedari awal, mengadopsi ideologi kapitalisme sebagai payung hukum pada setiap lini. Padahal, ideologi tersebut juga cacat dan rusak sedari lahirnya. Harusnya gerak cepat saat mengetahui negara lain terserang virus, menutup segala pintu masuknya. Ekonomi justru menjadi dalih, hingga melayangnya nyawa yang tidak sedikit. Anak-anak akhirnya kehilangan orangtua, terombang-ambing dalam ganasnya kehidupan sekuler.


Negara harusnya tak mengadopsi ideologi sekuler ini. Karena pada akhirnya, hubungan negara dan rakyat layaknya penjual dan pembeli. Rakyat membayar maka negara memberi sesuai bayarannya. Keuntungan yang dinomor-satukan menyebabkan negara tega membiarkan anak-anak kehilangan kesempatan belajar. Membiarkan mereka didera derita kesehatan yang berkepanjangan. Bukankah negara harus memenuhi kebutuhan pokok setiap rakyat, termasuk belajar dan kesehatan?


Negara harusnya tak mengadopsi ideologi cacat kapitalisme. Dengan asas sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Yang pada akhirnya melahirkan manusia yang jauh dari koridor syariat, menuhankan hawa nafsu,  menjadikan anak-anak korban atas nafsu bejat mereka. Bahkan parahnya, orangtua justru melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya sendiri. Sungguh memilukan.


Hingga di penghujung hari di tahun 2021, permasalahan terkait penderitaan anak masih bergelayut di negeri ini, menumpuk. Tentu saja, negeri yang menganut ideologi sekuler kapitalisme tak bisa memecahkan problematik yang ada, terkhusus terkait anak ini. Kalaupun berikhtiar memecahkan, justru tak sampai mencabut akarnya, bahkan tak jarang melahirkan masalah-masalah baru.


Padahal, anak mesti dididik sedari dini. Diinput padanya keimanan agar kokoh. Pengetahuan melalui kesempatan belajar, di tempat yang memiliki kualitas terbaik. Karena sejatinya, anak adalah generasi yang di pundaknya diamanahi untuk membangun dunia. Menorehkan tintas emas pada peradaban yang dilaluinya.


Anak-anaklah yang nantinya menjadi pemuda penerus generasi terdahulu. Dengan bekal iman, kecerdasan, ketegaran, dan kekuatan yang dipupuk sedari dini akan membawa mereka menjadi generasi yang menorehkan prestasi luar biasa. Generasi yang membawa peradaban ke puncak kegemilangan.


Maka, sudah sepantasnya sedari dini anak-anak dijauhkan dari penderitaan memilukan seperti yang tersaji di atas. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa penderitaan anak tak akan selesai apabila ideologi kapitalisme masih menaungi negeri ini. Sungguh, tak akan.


Oleh karena itu, kita mestinya kembali pada Islam, ideologi yang datang dari Sang Pemilik kehidupan. Islam memiliki seperangkat aturan yang wajib diterapkan secara kafah. Dengan begitu, problematik yang ada bisa teratasi, terkhusus terkait penderitaan anak.


Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak