Hukum Kapitalis Buatan Manusia, Tercipta Demi Kepentingan Dan Keuntungan Siapa?




Oleh : Mauli Azzura

Saat menjawab pertanyaan anggota DPR dalam rapat bersama Komisi III DPR, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan mekanisme penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta dapat diselesaikan dengan pengembalian kerugian negara. (Detiknews.com 27/01/2022)

Korupsi atau mencuri adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Dilansir dari Liputan6.com 29/01/2002 diberitakan bahwa Jaksa agung Burhanudin menyebut, penyelesaian dengan cara pengembalian uang negara bertujuan agar proses hukum berjalan cepat, sederhana, dan murah, termasuk perkara-perkara penyalahgunaan dana desa yang nilainya tidak terlalu besar, yang perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus, maka diimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan cara pengembalian kerugian.

Sementara Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung RI, Febrie Adriansyah, menjelaskan implementasi atau penerapannya dari rencana itu akan tetap mempertimbangkan beberapa faktor latar belakang dari setiap tindakan korupsi, yang Implementasinya itu dilihat, dari pertama Ini korupsi di bidang apa, akibat dikorupsi, walaupun Rp 50 juta. Langkah penyelesaian hukum bukan berarti dengan hanya mengembalikan Rp50 juta perkaranya lantas bisa diberhentikan. Karena, sebelum itu dilakukan penyidik akan mengidentifikasi akibat dari korupsi tersebut. (Gedung Bundar Kejaksaan Agung 27/01/2022).

Berbeda dengan Jaksa Agung, Pimpinan KPK Nurul Ghufron menyatakan tak terlalu memerhatikan kerugian keuangan negara dalam suatu kasus. Menurutnya, meski dalam suatu kasus terdapat kerugian negara yang kecil, hukum tetap harus ditegakkan. Karena aspek hukum bukan sekedar tentang kerugian negara, namun juga aspek penjeraan dan sebagai pernyataan penghinaan terhadap perilaku yang tercela yang tidak melihat dari berapapun kerugiannya. Ghufron memahami biaya dalam pengusutan suatu perkara tidak kecil. Ghufron mengungkapkan, biaya dalam mengusut sebuah kasus korupsi hingga vonis berkekuatan hukum tetap alias inkrach bisa lebih dari Rp50 juta.

Sampai disini, jelas hukum buatan manusia bisa berubah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan. Apapun bentuk korupsi, pastilah dilakukan dengan sengaja dan dengan kesadaran, serta murni itu bagaikan pencurian yang bisa merugikan orang/pihak lain. Namun bila di era kapitalisme, kasus seperti korupsi sudah membudaya yang berujung dengan hukuman ringan dengan pengadilan serta hukum pidana yang tidak memberatkan (ringan), sehingga efek jera tidak ada dan akan kembali memunculkan koruptor-koruptor baru. Terlebih bila adanya keringanan kebijakan dari pemerintah, maka jangan harap kasus korupsi akan hilang, bisa jadi malah semakin berkembang.

Negara yang berperan sebagai negara hukum, kembali menunjukkan wajah bobrok dengan kebijakan-kebijakan yang sengaja meringankan hukuman bagi pegawai pemerintahan sendiri. Sedang dalam lingkup masyarakat, seringnya kasus pencurian muncul dengan barang curian sederhana namun berujung hukuman yang memberatkan bagi pelaku, tapi bila di selidiki lebih lanjut, akan muncul sebab dari dilakukanya pencurian tersebut.

Kasus korupsi dan kasus pencurian bisa dibilang sama, namun hukum yang berlaku berbeda. Itu dikarenakan korupsi adalah pelaku pegawai pemerintahan, sedang pencurian adalah pelaku untuk masyarakat. 

Dalam Islam, kasus pencurian akan dihukum sesuai dengan kejahatanya dengan penyelidikan terlebih dahulu untuk mengetahui faktor apa yang menjadikan perbuatan itu dilakukan. Namun terlihat berbeda bila rakyat kecil mencuri karena terpaksa demi mencukupi kebutuhan hidup, sedang koruptor yang sengaja mencuri kebanyakan mereka lakukan demi memperkaya diri sendiri.

Maka sangat jelas, hanya Islam lah sumber hukum yang akan memberikan keadilan dan sanksi yang membuat jera, sehingga tidak akan lagi muncul pelaku tindak kejahatan, termasuk dalam menciptakan kepemimpinan amanah yang akan  menjalankan hukum dan peraturan sesuai dengan syariat.

Wallahu a'lam Bishowab

2 Komentar

  1. Lanjutkan perjuangan...

    BalasHapus
  2. Maaf, setelah saya baca, pada paragraf dalam islam, kenapa disitu tulisnya fakta pencurian, sedangkan yang dibahas fakta korupsi.

    Yang saya tahu antara fakta pencurian dengan korupsi itu dua fakta yang berbeda, maka dalam penindakan hukumnya berbeda pula.

    Dalam islam, sanksi dalam pencurian jika sesuai dengan batas nishab maka berlaku potong tangan, tidak ada ijtihad dilakukan oleh khalifah.


    Jika dalam islam, korupsi masuk dalam ranah ta'zir jadi sanksi yang akan diberikan oleh pelaku korupsi adalah hasil dari suara khalifah.


    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak