Harga Komoditas Naik Berulang, Negara Gagal Mengantisipasi


Oleh : Lina Herlina

(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)


Harga harga minyak goreng, telur, ayam, berbagai cabai terus mengalami peningkatan hingga Minggu awal 5 Januari 2022, masih merangkak belum mengalami penurunan. Namun, wakil menteri perdagangan Jerry Sambuaga meminta masyarakat tidak terlalu khawatir karena harga pangan tersebut akan kembali turun. Menurutnya "hal itu merupakan suatu hal yang wajar dan disebabkan oleh mekanisme pasar," fluktuasi cukup kondusif di harga yang masih tidak terlalu tinggi", ucapnya dilansir Kompas.com, 23 Desember 2021. 


Tiba - tiba titah Presiden Jokowi kepada Menteri perdagangan di laman YouTube, Sekretariat Presiden, 4 Januari 2022 " Harga minyak goreng harus terjangkau..."akankah hal tersebut tuntas tertangani ataukah hanya sebatas titah perintah. Sungguh ironis harga minyak goreng mendidih di negeri produsen penghasil terbesar kelapa sawit (CPO/ Crude Palm Oil). Padahal  setiap kenaikan harga, baik minyak goreng ataupun bahan pangan lainnya di tengah kondis i ekonomi sulit, akan berdampak menurunnya kesejahteraan rakyat diperburuk terjadi bersamaan saat pandemi. 


Kejadian ini jika dicermati rutin  berulang terjadi setiap tahun menjelang hari Natal, Tahun Baru, Bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan hari besar lainnya. Lantas mengapa pemerintah tidak mampu mengantisipasi kondisi ini agar tidak berulang? Hal ini menunjukkan tiadanya kesungguhan menyejahterakan rakyat dan menghilangkan kesulitan mereka. Kondisi ini menunjukkan pemerintah tidak memiliki tata kelola perekonomian yang jelas, saat ini hanya mengikuti sistem perekonomian kapital liberalis, tidak menjadikan rakyat sebagai hal yang utama, belum sepenuhnya menjalankan fungsi kepemimpinan pemerintah yang seharusnya memenuhi kebutuhan rakyatnya.  Padahal jika kita perhatikan harga kebutuhan pokok selalu dipengaruhi 3 faktor sbb: 1). Tingkat permintaan pasar. 2). Ketersediaan stok barang, baik dari produksi di pasar domestik maupun impor. 3). Kelancaran distribusi hingga ke retail nya. Ketiga faktor itulah tak lepas dari konsep tata kelola perekonomian suatu negara. 


Seperti kita ketahui, sistem sekarang menjadikan peran negara mandul dan tunduk dibawah kuasa para korporasi, korporasi pangan (mafia pangan) dan kartel (spekulan), yang sesungguhnya berkuasa mulai dari kepemilikan lahan, penguasaan rantai produksi distribusi, bahkan hingga kendali harga pangan, semuanya dikuasai korporasi. Padahal jika kedaulatan negara ada, tanpa bayang bayang korporasi, masalah teknis pangan sangatlah mudah diselesaikan untuk mewujudkan stabilitas harga pangan.

Lantas bagaimana Islam memandang hal ini?. Dalam sistem Islam, fungsi pemerintah sebagai pelindung dan pengurus rakyat, sebagaimana diriwayatkan HR. Ahmad, Bukhari, " Imam ( Khalifah) adalah raain (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya". Maka sebagai manifestasi negara sebagai pelindung rakyat yaitu menjaga stabilitas harga, maka pemimpinnya akan mengambil kebijakan, yaitu : 

1. Menjaga ketersediaan stok pangan agar penawaran dan permintaan pasar menjadi stabil. Kebijakan ini dapat diwujudkan dengan menjamin produksi pertanian, perkebunan di dalam  negeri terlebih dahulu agar berjalan maksimal. Khilafah akan memastikan lahan lahan pertanian, perkebunan berproduksi menegakkan hukum hukum tanah yang syar'i termasuk implementasinya misal: hasil riset penelitian dan inovasi dari para pakar intelektual untuk mengejar produktivitas pertanian perkebunan semaksimal mungkin. Teknologi dan geografi terkait prediksi cuaca, , iklim dan lain - lain, diterapkan sehingga cuaca seperti angin Al Nino yang kurang bersahabat ( yang dijadikan alasan saat ini) bisa diantisipasi lebih awal.


Dengan penguasaan stok pangan yang ada dalam pengaturan negara akan memudahkan menjalankan distribusi pangan dari daerah surplus ke daerah yang mengalami kelangkaan, selain itu konsep otonomi daerah seperti yang dianut saat ini juga tidak diakui. 


Apabila ketersediaan stok di dalam negeri tetap tidak memadai, maka melakukan impor yang bersifat temporer untuk mengejar menstabilkan harga namun tidak menjadikannya ketergantungan ( karena dengan terus menggali sumber daya negeri sendiri). Penggandaan transportasi dan infrastruktur yang dikuasai negara sehingga proses pengiriman bisa berjalan mudah dan cepat.

2. Menjaga rantai ekonomi tata niaga yaitu dengan mencegah distrorsi  pasar untuk melarang melakukan penimbunan pasar, praktek riba/ bunga, praktek tengkulak, kastel( spekulan) dan lain -lain. Dalam pasar umum sebuah sistem Islam akan ada Qodhi Hisbah/ Qodhi Pasar  yang bertugas mengawasi jalannya tata niaga perdagangan, bertugas menghukum siapapun yang melanggar ketetapan syariah dalam bermuamalah tanpa pandang bulu, serta menjaga agar bahan pangan yang beredar dijamin kehalalannya dan Thoyib. Namun, khilafah tidak akan mengambil kebijakan menetapkan harga barang, sebab hal ini dilarang sebagaimana sabda Rasulullah di HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi sebagai berikut : " Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga harga kaum muslimin untuk menunaikan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak".

3. Jika khilafah melakukan operasi pasar, kebijakan ini sepenuhnya berorentasi pelayanan bukan bisnis. Sasaran operasi pasar adalah para pedagang dengan menyediakan stok pangan yang cukup sehingga rakyat bisa membeli dengan harga murah dan dapat menjualnya kembali dengan harga yang bisa dijangkau konsumen. Inilah cara untuk menstabilkan harga barang. Hal tersebut sudah dibuktikan pada zaman kekhilafahan Turki Utsmani. Maka setiap hari besar seperti datangnya bulan Ramadhan maupun diluar bulan tersebut. Qodhi Hisbah akan mengawasi pasar termasuk harga barang dan peredarannya dipastikan Thoyib terhindar dari keharaman yang membahayakan rakyat. Hanya dalam sistem perekonomian Islamlah hal ini dapat terwujud dalam bingkai negara khilafah. 

Wallahu a'lam bisshowab.


Bogor, 5 Januari 2022

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak