Harga Komoditas Meroket Tinggi, Bukti Kegagalan Sistem



Oleh : Sarni Puspitasari

Penghujung tahun 2021 hingga awal tahun 2022 ini, kita  mendapatkan kado pahit dengan naiknya harga kebutuhan mulai dari minyak goreng, telur, dan cabai,  Ketiga komoditas ini sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat.
Sudah menjadi agenda rutin negeri ini dimana setiap menjelang hari besar keagamaan dan tahun baru bisa dipastikan  harga makanan pokok  akan naik drastis dan mencekik leher.
Hal ini semakin  miris disaat negeri ini masih dirundung kesedihan akibat pandemi yang belum juga selesai.

Harga minyak goreng, cabai hingga telur terus mengalami peningkatan.
Ketiga komoditas bahan pokok ini diperkirakan akan terus merangkak naik hingga Januari 2022 . Namun masyarakat diminta untuk tidak terlalu khawatir karena harga-harga pangan tersebut akan kembali turun pada kuartal I-2022.
Peneliti Core Indonesia, Dwi Andreas mengatakan saat ini harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai di tingkat konsumen telah tembus Rp 100.000 per kilogram. Harga minyak goreng curah sudah lebih dari Rp 18.000 per kilogram dan harga telur yang mencapai Rp 30.000 per kilogram.

"Kenaikan ini sudah melewati batas psikologis tapi ini tidak perlu dikhawatirkan," kata Andreas dalam Refleksi Ekonomi Akhir Tahun 2021, Jakarta, Rabu (29/12).

Andreas menjelaskan kenaikan harga cabai ini dipicu fenomena alam la nina yang membuat para petani banyak yang gagal panen. Sementara permintaan di akhir tahun selalu tinggi, sehingga hukum ekonomi berlaku.

Dia menilai puncak kenaikan harga cabai akan berakhir di bulan Januari. Kemudian di bulan Februari mulai akan turun dan harga cabai akan berangsur turun kembali.

Begitu juga dengan harga minyak goreng, kenaikan harga minyak ini terjadi karena meningkatnya permintaan kelapa sawit yang besar dari luar negeri. Ini pun menyebabkan para pelaku usaha memanfaatkan kenaikan harga komoditas untuk meraup keuntungan. ( Liputan6.com)

Setiap kenaikan harga di tengah kondisi ekonomi yang  sulit akan berdampak menurunnya kesejahteraan   dan memberatkan masyarakat termasuk para pelaku usaha menengah kebawah.
Situasi pandemi telah melumpuhkan  sektor perekonomian dan daya beli masyarakat pun  menurun. 

Kondisi  seperti saat ini menunjukkan Pemerintah  telah gagal dalam mensejahterakan masyarakat. Jargon jargon yang seringkali disuarakan ingin mensejahterakan masyarakat nyatanya sebatas isapan jempol dan janji manis ketika mereka berkampanye dalam pemilu.
Harga komoditas yang rutin naik setiap tahunnya pun  tidak bisa dijadikan pelajaran, bahkan hingga saat ini tidak  dapat terselesaikan secara tuntas dan menyeluruh, yang ada hanya tambal sulam guna meredam  kekacauan masyarakat.

Masyarkat pun terus menerus  diminta tenang dengan naiknya berbagai komoditas dan dipaksakan untuk mencari solusi sendiri, seperti menanam cabai, solusi ini sangat ironis karena keluar dari seoarang pejabat.

Seharusnya pemerintah bisa belajar  dari kenaikan  harga di tahun tahun sebelumnya dan mengantisipasi  agar  harga  tetap stabil bukan berdalih naiknya harga pada moment - moment ini  adalah hal yang wajar dan harus dipahami.

Semua kenaikan  harga komoditi ini memang tidak bisa dilepaskan dari sistem yang diterapkan saat ini , dimana  paradigma sekuler kapitalistik yang menjadi dasar pijakan pemerintah atau negara  membuat fungsi kepemimpinan bergeser. 
Sistem sekuler kapitalistik   yang memisahkan agama dari kehidupan ini telah menggeser fungsi pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan umat bergeser menjadi regulator  hal ini menjadikan pemerintah  tidak mampu mencegah kenaikan harga komoditas.

Para pemilik modal selalu  memanfaatkan  situasi  seperti ini untuk bisa mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya diatas penderitaan masyarakat yang serba kesusahan.
Hal ini akan menghantarkan pada keadaan dimana mereka yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin pun kian nyata dan jauh.

Berbeda dengan paradigma Islam. Pemerintah atau negara sejatinya adalah pelayan sekaligus pelindung umat bukan pebisnis.
Sistem ekonomi Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap  yang miskin dan melarang penumpukan kekayaan.
Ekonomi dalam islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Dalam Islam, Negara memiliki peran untuk mengatur dan mengawasi ekonomi, memastikan kompetisi di pasar berlangsung sempurna, informasi yang merata dan keadilan ekonomi. Dalam hal ini adalah tidak merugikan konsumen maupun produsen.

Semua ini dapat terealisasikan dengan mencampakkan sistem Kapitalisme, dan menggantinya dengan sistem Islam yang paripurna dan telah terbukti.
Hanya sistem inilah yang sanggup menyelesaikan segala permasalahan saat ini, termasuk naiknya harga cabai, telur, dan minyak goreng.
Dengan diterapkannya syariat Islam maka kesejahteraan masyarakat akan dijamin oleh negara, tidak ada lagi masyarakat yang dibebani  harga harga komoditi yang meroket tajam.
 Allah berfirman yang artinya;
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan". (QS Al-A'raf: 96)

Wallahu a'lam bish shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak