Oleh : Rindoe Arrayah
Pergantian tahun serta ritual gebyar penuh kemeriahan yang dilakukan oleh masyarakat dunia, tidak terkecuali di negeri kita tercinta sudah menjadi suatu hal yang biasa. Memasuki tahun baru, masyarakat Indonesia disuguhi harga-harga baru terkait berbagai barang kebutuhan rumah tangga. Hal ini membuat masyarakat semakin berduka.
Pada hari Minggu, 2 januari 2022, Presiden jokowi mengubah perpres yang sebelumnya no.117 tahun 2121 tentang pendistribusian dan harga BBM eceran menjadi perpres no 119 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual ecer BBM. Dalam lembaran Negara republik indonesia 2021 no 169. Bahkan sebelumnya, Wapres K.H Ma'ruf Amin telah menegaskan akan mengahapuskan jenis BBM premium untuk energi hijau.
Direktur pertamnina Nicke Widiawati mengatakan bahwa penghapusan premium dan pertalite akan mengurangi emisi karbon dan telah berhasil mengurangi sebanyak 12 juta ton. Namun dalam hal ini, dewan energi nasional blak- blakan soal perpres dan isu menghilangkan bbm premium, Djoko siswanto menyampaikan bahwa Indonesia baru bisa bebas impor BBM di 2030 mendatang (CNBC, 3/1/2022).
Ia juga mengatakan bahwa program untuk mengurangi impor bensin di Indonesia sesuai dengan perpres no 58 tahun 2019 akan digantikan dengan kendaraan listrik dan menggandakan bahan bakar gas. Kemudian lanjutnya, pemerintah saat ini sedang membangun pabrik biofeul dan sedang dilakukan uji coba bahan bakar rendah emisi A20 untuk mengalihkan penggunaan BBM.
Keputusan pemerintah ini tentunya sangat disayangkan. Langkah yang diambil pemerintah dengan alasan ingin menghapuskan BBM dinilai tidak empati sebagaimana kondisi masyarakat yang saat ini masih sedang merangkak memperbaiki kestabilan ekonomi akibat hantaman pandemi. Kalaupun BBM tetap ada setelah menghapus jenis premium, maka akan dialihkan ke jenis pertamax yang harganya jauh lebih tinggi. Belum lagi dari sisi inflasi yang akan berdampak, yaitu kenaikan harga barang secara umum dan terus- menerus. Sekali lagi, solusi yang diberikan pemerintah, jauh panggang dari api. Masyarakat selalu saja dibuat tak berdaya. Sebaliknya, dalam hal ini kapitalislah yang selalu diuntungkan.
Jangankan berencana menata masa depan, masyarakat justru dihadapkan dengan babak baru untuk semakin berjibaku dengan situasi yang mengiris kalbu. Sungguh ironis. Ditengah berlimpahnya sumber daya alam pengahasil BBM yang bisa dijumpai di wilayah Indonesia seperti Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Jawa Timur dan Kepulauan Riau. Anehnya, negara masih menyibukkan diri berkutat dengan impor.
Jika melihat fakta kerusakan sistem kapitalisme-sekularisme, bagaimana Islam mendudukkan persoalan ini? Pertama, kepemilikan SDA. Negara, berserikat atas tiga hal.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karena itu, tidak dibenarkan kekayaan alam dikuasai, dimonopoli oleh korporasi, swasta maupun pihak asing.
Kedua, negara menjamin kebutuhan pasar masyarakat dan pendistribusian serta pemasokan bagi berlangsungnya kehidupan ekonomi ditengah ummat. Tidak akan sulit menemukan kebutuhan seperti BBM karena pengelolaannya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar- besar kemakmuran rakyat. Ketiga, tidak ada sisitem kapital dalam negeri. Negara bertanggung jawab sebagai pelayan atau meriayah urusan ummat yang jauh dari sifat komersial. Keempat, dalam sistem islam semua disandarkan pada hukum syara( sayariat islam) negara lebih mementingkan halal, harom dari pada mengedepankan untung, rugi.
Kesejahteraan dan keberkahan, serta rahmat bagi seluruh alam semesta tidak akan pernah bisa dijumpai dalam dunia kapitalis demokrasi seperti saat ini, kecuali kembali pada sistem kehidupan yang bersumber pada wahyu Ilahi. Apakah itu? Yaitu, sistem kehidupan yang berlandaskan pada syariat-Nya.
Wallahu a’lam bishshowab.