Hadapi Omicron Andalkan Obat-obatan, Mampukah?

 



Oleh Khaulah
Aktivis BMI Kota Kupang

Covid-19 terus bermutasi dan tidak menutup kemungkinan muncul varian baru di berbagai belahan dunia. Di akhir November 2021 lalu ditemukan Omicron yang kini menjadi varian paling menular di dunia, bahkan menggantikan Delta.

Semakin bertambah hari, lonjakan kasus akibat varian Omicron pun bertambah. Namun demikian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memastikan sistem kesehatan nasional saat ini telah siap menghadapinya. Tampak dari vaksinasi yang terus digencarkan juga kapasitas rumah sakit beserta fasilitas dan obat-obatannya yang telah disiapkan sejak dini (kompas.com, 3/1/2022).

Dengan percaya diri, beliau menyampaikan bahwa Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain. Hal ini karena kasus yang masih rendah serta masih nol kasus kematian akibat varian Omicron. Ia juga menegaskan langkah preventif dari kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan menjadi kunci utama menekan laju penularan. Lanjutnya, pemerintah telah melakukan berbagai langkah mitigasi agar peningkatan kasus yang terjadi lebih landai dibandingkan negara lain.

Melihat kesiapan pemerintah sekadar mengandalkan rumah sakit serta obat-obatan, meluluhlantakkan kepercayaan bahwa negeri ini siap hadapi varian Omicron. Tentu, kesiapan ini patut diacungi jempol. Tetapi jikalau tidak diintegrasikan dengan mitigasi pada sektor lain, bisakah negeri ini menghadapinya?

Pada sektor ekonomi, dikatakan bahwa tahun 2022 menjadi momentum pemulihan ekonomi. Presiden dalam dalam sambutannya secara virtual pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan Tahun 2022 dan Peluncuran Taksonomi Hijau Indonesia dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (20/01/2022), menegaskan masyarakat dan pelaku usaha untuk segera melanjutkan aktivitas ekonomi dan aktivitas-aktivitas produktif lainnya.

Untuk kepentingan ekonomi pula, pemerintah memutuskan untuk menghapus daftar 14 negara yang dilarang masuk ke Indonesia karena penyebaran varian Omicron. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, keputusan ini diambil untuk mempertahankan stabilitas negara termasuk pemulihan ekonomi nasional.

Seolah meracau, pemerintah betul-betul tidak berkaca jadi kejadian sebelumnya, ialah bahwa mobilitas masyarakat menjadi faktor utama lonjaknya kasus penularan. Bagaimana bisa pemerintah mengatakan siap hadapi Omicron jikalau lalu lintas antarnegara masih dibuka dengan alasan ekonomi, bahkan memosisikannya (pengetatan mobilitas) menjadi opsi terakhir yang dilakukan?

Pemerintah sungguh "aneh". Ya, menegaskan kesiapan saat penularannya sudah meluas. Miris, pemerintah berujar siap tatkala air sudah mencapai tenggorokan. Bukan menghalangi penularan dengan menutup jalur antarnegara atau pembatasan daerah pemerintah justru membukanya lebar-lebar.

Begitulah watak rezim kapitalisme. Di kepalanya, "uang" menjadi hal penting yang selalu dinomor satukan. Setiap tindakannya selalu berorientasi pada keuntungan. Bahkan apabila mengorbankan nyawa, materi tetap menduduki peringkat teratas yang diprioritaskan.

Watak ini tergambar jelas pada tiap kebijakan pemerintah. Mendadak mengerem saat kondisi darurat terjadi di depan mata. Mendadak tancap gas saat sedikit diberi jalan.

Pemerintah memberlakukan berbagai aturan yang dianggap dapat menekan laju penularan virus saat penularannya sudah meluas, bahkan pada tingkat lokal (sektor ekonomi menjadi pengecualian). Saat kasusnya menurun sedikit saja, berbagai sektor yang mendatangkan pundi-pundi rupiah dibuka lebar. Bagaimana mungkin kita mampu menghadapi Omicron apabila Kebijakan yang diberlakukan terkesan setengah-setengah?

Negeri ini harusnya berkaca pada negara Islam yang pada 14 abad yang lalu menguasai dua per tiga dunia. Negeri ini harusnya berkaca pada pemimpin-pemimpin yang lahir dan diasuh dalam daulah Islam. Pemimpin yang memosisikan keselamatan rakyat di atas ekonomi.

Pernah suatu ketika di Syam tersebar wabah tha'un. Pemimpin umat Islam kala itu mulai memberlakukan isolasi seperti yang disabdakan Rasulullah saw., "Apabila kalian mendengar wabah melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Orang-orang yang sehat pun dipisahkan dengan orang-orang yang sakit seperti sabda Rasulullah saw., "Janganlah unta yang sakit itu didekatkan dengan unta yang sehat." (HR. Bukhari Muslim).

Dengan begitu, laju penularan segera teratasi dan wilayah selain wilayah terserang wabah bisa berjalan sebagaimana mestinya. Pentin ditegaskan, semua kebutuhan masyarakat yang berada di wilayah wabah akan dipenuhi oleh negara, termasuk halnya obat-obatan.

Begitulah harusnya pemimpin bertindak. Mengembalikan semuanya pada aturan yang telah ditetapkan syariat Islam. Pemimpin tidak boleh berupaya mencegah penularan virus dengan upaya mentahan, setengah-setengah. Pemimpin tidak boleh abai, yang bergerak tatkala penularannya sudah meluas. Bukankah mencegah selalu lebih baik daripada mengobati? Dan bukankah melakukan sesuatu secara sempurna akan lebih baik ketimbang setengah-setengah?

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak