Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Fobia adalah rasa takut akan sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya, namun bisa membuat penderitanya merasa cemas berlebihan. Ada berbagai jenis fobia, salah satunya adalah ketakutan untuk berkomitmen atau menikah. Dalam istilah medis, rasa takut berkomitmen dan menikah ini disebut dengan gamophobia.
Fobia yang spesifik seperti gamophobia dapat terbentuk sejak usia muda, bahkan pada masa kanak-kanak. Biasanya, penyebab fobia spesifik adalah kombinasi dari beberapa hal, bukan hanya satu kejadian atau pemicu. Menurut ahli medis, berikut adalah beberapa kejadian yang bisa menjadi salah satu atau beberapa pemicu fobia berkomitmen. Misalnya : melihat pertengkaran, konflik, atau bahkan perceraian orangtua. Kemudian pernah berada di hubungan yang tidak sehat, seperti memiliki pasangan yang manipulatif atau mengalami kekerasan verbal dan fisik, atau pernah menjadi korban pelecehan seksual. Bisa juga karena tidak mendapatkan kebutuhan tertentu atau memiliki masalah relasi dengan orangtua sejak kecil, serta memiliki hubungan keluarga yang bermasalah atau rumit.
Di era kapitalis seperti saat ini, sangat wajar gamophobia merebak. Kita bisa saksikan banyak konflik rumah tangga yang dipertontonkan. Pertengkaran, konflik bahkan perceraian menjadi berita harian, baik di lingkungan maupun media sosial. masalah ekonomi dan perselingkuhan kerap menjadi pemicu utama konflik yang tak berkesudahan. Ditambah lagi, suami atau pun istri yang belum begitu memahami hak dan kewajibannya masing – masing, menambah panjang deretan masalah rumah tangga. Tidak adanya peran dari masyarakat untuk saling mengingatkan atau membantu sesama dan abainya penguasa dari mereka, jelas semakin rumit konflik sebuah rumah tangga. Yang terkadang tanpa disadari, telah membawa dampak berupa gamophobia.
Terlebih adanya suguhan tontonan di televisi yang tidak jauh berbeda. Sebut saja series yang sedang viral, layangan putus. Sebagaimana yang kemudian muncul di media sosial, series ini berhasil membangkitkan emosi penonton, yang akhirnya parno dengan pernikahan. Padahal pernikahan sebenarnya dalah solusi bagi pemenuhan naluri. Hanya sungguh disayangkan, penguasa lagi – lagi abai dengan kondisi ini. Hanya karena cuan, apapun akan dilakukan, meski mempertaruhkan masa depan bangsa sendiri.
Berbicara pernikahan, sungguh islam telah memiliki gambaran yang sempurna. Manusia terlahir dengan kebutuhan jasmani dan dilengkapi naluri. Salah satu naluri yang dimiliki manusia adalah naluri melestarikan keturunannya, yang penampakannya adalah suka terhadap lawan jenisnya. Naluri ini tentu harus dipenuhi dengan benar. Karena jika tidak, akan membawa kegelisahan tak berujung bagi manusia. Maka, pernikahan adalah jalan untuk menyalurkannya.
Adapun dalam pernikahan, tentu harus ada persiapan yang cukup, baik itu calon suami maupun calon istri. Mereka harus sudah belajar apa hak dan kewajiban masing – masing. Tentu dengan melandaskan pada aqidah Islam, semua aktivitas dalam keluarga tidak hanya akan menjadi amalan dunia, tapi juga akan mendatangkan pahala. Jika pun kemudian sebuah keluarga mendapati masalah, akan diselesaikan berdua dengan tetap mengacu pada hukum Allah.
Namun adakalanya sebuah masalah tidak selesai di keluarga, masalah itu membutuhkan kerja keras seluruh elemen masyarakat. Misalnya kampanye perzinaan yang seriing digaungkan di acara – acara televisi, dibukanya tempat – tempat maksiat dan lain sebagainya. Oleh karenanya perlu masyarkat yang bertaqwa, yang bersama – sama melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar.
Dan ada kalanya juga, sebuah masalah tidak cukup diselesaikan oleh keluarga dan masyarakat, tapi butuh ketegasan negara. Misal terkeruknya sumber daya alam oleh swasta maupun asing yang menyebabkan masyarakat harus membelinya dengan harga cukup malam, kesepakatan – kesepakatan dengan pihak luar negeri yang merugikan masyarakat, misal MoU dengan bank dunia untuk mencabut subsidi maupun UU Cipta karya yang juga hasil MoU dengan asing. Maka di sini kita membutuhkan sebuah negara yang mandiri baik secara ekonomi, politik, sosial-budaya dan keamanan, yang semua berlandas pada syari’at Islam.
Maka, ketika gamaphobia merebak, umat Islam harus segera bertindak. Karena justru dengan adanya hubungan tanpa komitmen (karena fobia), justru penyakit moral akan semakin banyak merebak di masyarakat. Dan untuk menyelesaikan gamaphobia, tidak hanya cukup di keluarga, tapi juga masyarakat dan negara. Maka saat ini umat islam harus semangat berdakwah untuk mewujudkan keluarga, masyarakat dan negara yang bertaqwa. Wallahu a’lam bi ash showab.