Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Indonesia sedang digemparkan dengan menjamurnya mengasuh boneka arwah atau sering disebut dengan spirit doll, karena tokoh selebritis yang memamerkan boneka arwah miliknya. Hingga, Ketua Komisi Dakwah Majellis Ulama Indonesia (MUI) bidang dakwah dan ukhuwah, KH Choli Nafsi mengatakan, tidak boleh memelihara makhluk halus atau arwah dalam sebuah boneka. (www.inews.id, 5/01/2022)
Sementara itu dalam tinjauan psikologi, hal ini termasuk salah satu gangguan psikologi. Seperti yang disampaikan oleh Anggota Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Psikologi, Radita Pratama Putri, bahwa memiliki boneka arwah dapat mempengaruhi psikologi pada pemiliki boneka arwah tersebut, yang mana para pemiliki boneka arwah menjadikannya bagaikan manusia hidup yang dapat makan dan minum.
“Tidak dapat dipungkiri, peran media juga berpengaruh dengan rasa individualisme masyrakat saat ini, yang diakibatkan oleh ketergantungan pada media sosial sehingga pada akhirnya memutuskan untuk mengadopsi boneka arwah tersebut. jika melihat dari sisi psikologi para ahli mengatakan hal tersebut dapat dikatakan sah dengan catatan sang pemilik harus tetap dapat membedakan realita dan imajinasi. Boneka realitanya adalah benda mati, jelas bentuk imajinasi sehingga harus ada batasnya karena dapat membahayakan mental pada seseorang” ujarnya saat di wawancarai oleh redaksi rdk.fidkom.uinjkt.ac.id, pada 6 Januari 2022 lalu.
Fenomena ini seharusnya kembali menegur kita, bahwa sungguh sangat rapuh kondisi ruh (kesadaran hubungan kita dengan Tuhan kita) umat Islam saat ini. Gempuran dari berbagai bidang, terkadang membuat lupa bahwa semua yang kita lakukan harus terikat dengan hukum syari’atNya. Fenomena spirit doll, mungkin diawali dengan kekecewaan pada manusia, sehingga naluri melestarikan keturunannya dilampiaskan pada boneka. Bisa jadi diawali dengan masalah ekonomi, yang berharapa akan membaik dengan memiliki spirit doll, karena diyakini bisa mendatangkan rizki. Fenomena ini juga bisa diawali dengan hausnya seseorang akan popularitas, sehingga selalu menjadi korban trend yang ada, tanpa peduli halal – haramnya.
Sungguh, suasana ruh di era kapitalis ini semakin kritis. Maka perlu upaya untuk semakin menguatkan tekad, melayakkan diri sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, selanjutnya mengajak umat Islam lainnya untuk meningkatkan taqwanya, sekaligus bersama – sama umat lainnya, menuntut negara untuk menjaga aqidah umat bahkan membuatnya menjadi pemimpin setiap pemikiran yang ada. Wallahu a’lam bi ash showab.