Dilema Hukuman Mati, Tak Buahkan Solusi Hakiki



Oleh: Yuke Octavianty

(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)


Herry Wirawan, pendiri sekaligus pembina pesantren Madani Boarding School, yang ditangkap atas perbuatan kejinya karena telah memperkosa para santri, kini tengah dituntut hukuman mati oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep N. Mulyana (tirto.id, 13/1/2022). Hukuman mati diberikan agar memberikan efek jera kepada pelaku. Demikian ungkap Asep. 


Hal senada pun diungkapkan Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR RI. Menurutnya, hukuman mati adalah hukuman setimpal yang dapat melahirkan efek jera bagi pelaku (tribunnews.com, 15/1/2022).


Namun, penetapan hukuman mati menimbulkan polemik beberapa pihak. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara mengatakan pihaknya menolak dengan tuntutan hukuman mati terhadap Herry Wirawan. Karena bertentangan dengan prinsip HAM (jawapos.com, 13/1/2022).


Faktanya, tindak pidana kejahatan seperti kekerasan seksual dan korupsi, adalah kejahatan yang terus berulang. Hal ini membuktikan bahwa hukuman yang diterapkan tak memberikan efek jera. Pun demikian dengan pendapat Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana. Dio menilai secara prinsip dan yuridis positivis, tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus ASABRI, Heru Hidayat oleh jaksa penuntut umum (JPU) tidak memberikan efek jera (tribunnews.com, 16/1/2022).


Di tengah penetapan hukuman mati bagi pelaku kejahatan, timbul rasa iba mengatasnamakan hak asasi manusia. Inilah sistem sekuler yang diberlakukan. Tak melahirkan keadilan bagi seluruh pihak. Hilangnya peran aturan agama dalam kehidupan, menciptakan keresahan dan dilema bagi umat. 


Hukuman hanya digantungkan pada satu kasus dalam kacamata yang khusus. Tanpa mempertimbangkan faktor-faktor pemicu masalah. Dan tak mampu menciptakan lingkungan yang mampu mem-blok keburukan dalam pola kehidupan bermasyarakat.


Pincangnya sistem hukum yang kini diterapkan tak membuahkan hasil memuaskan bagi kehidupan umat. Polemik dan dilema terus menghantui sistem hukum yang berlaku, hingga melahirkan ketidak adilan. Dan berujung pada nihilnya efek jera.


Segala keadaan buruk yang kini tersaji, membuktikan bahwa kita membutuhkan keadilan hakiki yang dapat menjadi solusi. Islam-lah satu-satunya solusi shahih dalam setiap masalah kehidupan. Hanya dengan syariat Islam, keadilan dapat ditegakkan. 


Allah SWT. berfirman, yang artinya, 

"Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan 'Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)." (QS. Asy-Syura: 13).


Dalam syariat Islam, aturan tentang sanksi ('uqubat) sangat jelas. Dibedakan berdasarkan jenis kemaksiyatan yang dilakukan. Misalnya potong tangan untuk pencuri, dengan ketentuan dan syarat yang berlaku. Atau hukum cambuk bagi pezina. Segala sanksi ini diterapkan untuk memenuhi perintah Allah SWT. Dan pasti di dalamnya terkandung maslahat bagi umat. Salah satunya adalah melahirkan efek jera bagi pelaku dengan harapan dapat menjadi kaum muslim yang berpikir dan takut untuk mengulanginya atas dasar iman dam takwa kepada Allah SWT. 


Kewajiban bagi seluruh kaum muslimin untuk berhukum pada syariat Islam yang telah ditetapkan Allah SWT. Syariat hanya dapat sempurna jika diterapkan dalam wadah Khilafah. Khilafah manhaj An Nubuwwah. Sesuai teladan Rasul SAW. Demi ridha Allah SWT. semata agar tercipta ketenangan dan keadilan seluruh umat. 

Wallahu a'lam bisshowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak