Benarkan Moderasi Agama adalah Solusi Terbaik?



Oleh Alvera
Aktivis Dakwah

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengatakan bahwa data yang dihimpun dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), telah mengungkapkan sebuah fakta adanya peningkatan aktivitas dan narasi kelompok radikal di masa pandemi Covid-19 hingga empat kali lipat dari sebelumnya. Hal ini menjadi masalah karena kelompok radikal berpotensi menciderai kerukunan bangsa.

Radikalisme seringkali disangkut-pautkan dengan agama, terutama agama Islam. Radikalisme merupakan produk Barat yang bertujuan untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam serta untuk menakut-nakuti kaum muslim agar meninggalkan agamanya sendiri. Istilah radikalisme terus-menerus ditudingkan kepada Islam sebagai paham dan aktivitas yang berbahaya.

Tidak hanya radikalisme yang diusung Barat untuk merusak umat Islam, moderasi beragama dan toleransi pun digoreng serenyah mungkin agar disukai dan diikuti, meski sebenarnya adalah racun berbalut madu. Konsep moderasi dimaknai sebagai sikap tengah (tidak berlebihan dan tidak kekurangan) dalam beragama. Moderasi sebagai wujud khidmat manusia kepada agama, khidmat manusia kepada sesama manusia, serta khidmat manusia kepada negara. (Komenkopmk.go.id, 10/06/21)

Nyatanya paham moderasi agama adalah paham keagamaan (Islam) yang sesuai selera Barat, yaitu memisahkan agama dari kehidupan (sekuler). Sebaliknya, radikal adalam paham keagamaan (Islam) yang menolak keras sekularisme. Mereka menghendaki penerapan sistem Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan.

Keterbukaan terhadap pluralisme dalam beragama juga termasuk moderasi agama. Pluralisme adalah paham yang cenderung menyamakan semua agama. Pengusung pluralism menyatakan semua agama bersumber dari “mata air” yang sama yaitu berasal dari Tuhan.

Oleh karena itu, kaum pluralisme rajin menggemborkan toleransi beragama yang sering kebablasan. Seperti, ucapan selamat Natal kepada kaum Nasrani, perayaan Natal bersama, doa bersama lintas agama, salawatan di gereja, dll. Dalam akidah seorang muslim tentu ini telah melanggar batas, yaitu mencampuradukkan yang hak dan yang batil. Hal ini bisa membuat seorang muslim murtad (keluar) dari Islam. Sebagaimana Allah Swt berfirman:

Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (TQS al-Baqarah: 42)

Nabi Muhammad saw. telah memerintahkan umatnya untuk selalu waspada agar tidak tergelincir dalam kesesatan dengan mengikuti keyakinan dan perilaku para penganut agama lain. Beliau bersabda: 

“Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan andai mereka masuk lubang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasranikah mereka?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR al-Bukhari No. 7320)

Memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi kaum kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan) pada ulama. Ibnul Qayyim berkata:

”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” 

Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”  (Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 441)

Dapat disimpulkan bahwa haram hukumnya umat Islam ikut bergembira, menyambut dan merayakan hari raya agama lain, sesuai dengan fatwa MUI tanggal 7 Maret 1981. Meski demikian seorang muslim tetap harus berbuat baik dan bersikap adil kepada non muslim. Toleransi beragama seorang muslim adalah bersikap menghormati, menghargai, membiarkan atau mendiamkan, tidak mengganggu pemeluk agama lain dalam menjalankan agama mereka.

Inilah realita di zaman kapitalisme, akidah tidak terjaga dan perbuatan maksiat dianggap biasa. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mencampakkan sistem ini dan beralih pada sistem Islam.

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak