Absurditas Indeks Kebahagiaan Sistem Kapitalisme, Pertanda Sakitnya Negeri +62



Oleh: Ema Fitriana Madi, S.Pd.

(Pemerhati Masalah Sosial)

 

 

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan Indeks Kebagahagiaan 2021 pada Senin (27/12/2021). Mengutip data yang dipublikasikan BPS, secara umum, Indeks Kebahagiaan di Indonesia tahun ini mengalami peningkatan 0,8 poin menjadi 21,79 dibandingkan 2017 pada angka 70,69. Indeks Kebahagiaan 2021 diukur dengan metode baru, yaitu kontribusi 2017 menjadi tahun dasar ukuran kebahagiaan. 10 daerah paling bahagia di Indonesia: Maluku Utara 76,34, Kalimantan Utara 76,33, Maluku 76,28, Jambi 75,17, Sulawesi Utara 74,96, Kepulauan Riau 74,78, Gorontalo 74,77, Papua Barat 74,52, Sulawesi Tengah 74,46 ,Sulawesi Tenggara 73,98. (Kompas.com, 30 Desember 2021)

 

 

Indikator kebahagiaan menurut BPS mencakup tiga dimensi, yakni kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia). Survei dilaksanakan serentak di semua kabupaten/ kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia (bps .co.id).

BPS menggunakan metode sampling two stage One Phase Sampling. Total sample rumah tangga yang diperlukan untuk keperluan keperluan estimasi tingkat kebahagiaan hingga level provinsi di Indonesia sebesar 75.000 rumah tangga yang tersebar di 34 provinsi. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara oleh petugas wawancara menggunakan kuesioner terstruktur dan alat bantu. (CNNindonesia.com, 31/12/2021)

 

 

Hasil survei di atas kemudian memunculkan sejumlah pertanyaan. Benarkah survei tersebut betul-betul merepresentasikan kebahagiaan rakyat Indonesia? Lalu, mengapa masih  ada rakyat yang belum bahagia? Lantas bagaimana warga Indonesia memaknai arti kebahagiaan? Sudahkah warganya sejahtera?

 

 

Absurditas Indikator Kebahagiaan Menurut Kapitalisme Sekuler

 

 

Jika kita cermati, fakta di atas tentu tidak bisa menjadi acuan ukuran kebahagiaan rakyat Indonesia di 34 propinsi. Sebab, menurut data BPS, jumlah penduduk Indonesia tahun 2021 adalah 273 juta jiwa. Sedangkan sample yang digunakan untuk mengukur indeks kebahagiaan hanya berjumlah 75.000 KK. Dari sini jelas, sample yang diambil tidak representatif. Artinya, tidak menggambarkan kondisi rakyat Indonesia secara menyeluruh.

Selanjutnya, turunnya daya beli masyarakat yang diakibatkan oleh kesulitan ekonomi karena harga kebutuhan pokok serta pajak yang terus mengalami kenaikan, membuktikan taraf kehidupan rakyat masih jauh dari kesejahteraan. Tahun 2021 BPS mencatat pada bulan Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 27, 54 juta jiwa. Menjadi catatan, jumlah tersebut menggunakan standar kemiskinan menurut BPS. Sementara tingkat kelaparan Indonesia tahun 2021 menduduki peringkat ketiga tertinggi di Asia Tenggara di bawah negara Laos dan Timor Leste (databoks.katadata.co.id, 1/11/2021).

 

 

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah justru menaikkan tarif harga listrik, menaikkan pajak sembako hingga 11 persen, melakukan import hingga 26 item pangan, penetapan Upah Minimum Provinsi naik hanya 1 persen, dll.

Indikator kebahagiaan lainnya diulas bahwa orang yang hidup di kota lebih bahagia dibanding yang hidup di pedesaan. Pasalnya, ketersediaan fasilitas lebih menunjang daripada di pedesaan. Dari segi infrastruktur, transportasi, dll. Kiranya ini benar, tetap saja tidak bisa digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan, karena tidak semua yang hidup di perkotaan bisa mendapatkan berbagai fasilitas tersebut. Ya, prioritas pemerintah terhadap infrastruktur memang besar. Jauh lebih prioritas dibanding menanggulangi kemiskinan, kelaparan, dan hal mendasar lainnya.

 

 

Selain itu, pendapatan rumah tangga pun tidak bisa dijadikan landasan kebahagiaan. Sebab, dengan orientasi berpikir materialistik, melahirkan pandangan bahwa kebahagiaan bisa dilihat dari banyaknya kebutuhan jasmani yang terpenuhi. Di sisi lain, angka pengangguran di Indonesia tahun 2021 sebesar 9,1 juta jiwa.

Disinilah terlihat bahwa kebahagian menurut ideologi kapitalisme sekuler hanyalah berorientasi terhadap materi.  Sehingga, lahirlah cara pandang tentang kehidupan yang materialistik, individualistik, dan berujung pada tata kelola negara yang serakah. Dengan riset tentang indeks kebahagiaan ini, alih-alih  memberi kesan negeri kita "aman", justru sebaliknya.  Negeri ini benar-benar sakit parah dengan rakyat yang tidak bahagia, lantaran indikator kebahagiaan yang absurd. Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap ukuran kebahagiaan?

 

 

Makna Bahagia Menurut Islam

 

 

”Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.”(QS Asy-Syura: 42)

 

 

Ayat di atas bermakna bahwa, kebahagiaan dalam Islam adalah meraih rida Allah Swt. Bahwa seorang muslim akan senantiasa melaksanakan syariat dalam kondisi apapun. Baik dalam kelapangan rezeki maupun sebaliknya. Artinya, kalimat kebahagiaan tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan. Namun demikian, kebahagiaan berbeda dengan upaya untuk menyejahterakan umat. Sebab, Islam mewajibkan bagi penguasa untuk mengurusi umat dan menyelesaikan permasalahan serta memenuhi kebutuhan hidup mereka. Satu saja warganya yang tidak terurus, penguasa tersebut terkategori penguasa zalim. Sedangkan, penguasa yang lalai tempatnya di neraka.

 

 

Sejahtera tidaknya suatu masyarakat bukan diukur berdasarkan hitungan rata-rata, melainkan orang per orang. Sistem pemerintahan Khilafah yang menghimpun penguasa amanah akan mampu menyejahterakan rakyatnya dengan merata. Sehingga, sejahtera dan bahagia senantiasa melekat pada masyarakat yang kehidupannya diatur oleh Islam.

Khalifah pun tidak pernah obral janji manis, bahwa kehidupan di bawah pemerintahannya pasti bahagia. Yang Khalifah lakukan adalah berupaya dengan maksimal agar bisa menyejahterakan masyarakat, karena inilah wujud ibadah yang mulia di sisi Al Kholiq. Dengan izin Allah, semuanya akan terwujud hanya dalam sistem pemerintahan Daulah Khilafah Islamiyyah. Wallahu a'lam.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak