UU Ciptaker, Bukti Ruwetnya Sistem Sekuler

 



Oleh  Mutiara Aini

Tahun 2020  benar-benar menjadi tahun-tahun terberat bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, disamping hadirnya hantaman Covid-19, juga  muncul berbagai masalah hukum di bumi Pertiwi ini. Penyusutan ruang-ruang publik, munculnya pelanggaran HAM. Hingga semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum di Indonesia.

Telah banyak pelanggaran HAM dan tindakan kekerasan yang muncul di tahun ini. Hal ini menunjukkan perlu adanya evaluasi besar-besaran dalam pelaksanaan sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.

Tak hanya itu, tahun 2021 juga dipenuhi oleh munculnya berbagai produk hukum yang kontroversial. Produk hukum yang tidak diterima oleh masyarakat. Karena dianggap tidak mengakomodir kepentingan masyarakat. Akibatnya, muncul berbagai gerakan perlawanan di masyarakat yang melawan hadirnya produk hukum tersebut. Salah satunya adalah UU Ciptaker.

Makamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK meminta pemerintah dan DPR memperbaiki UU dalam waktu dua tahun sejak putusan dibacakan. Bila UU Cipta Kerja tidak diperbaiki, UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali. MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena cacat formil, sebab dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan (27/11).

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja tersebut, telah  banyak menuai kontroversi. Sebagian kalangan menilai bahwa MK tidak tegas dan tampak masih tunduk pada kekuatan eksekutif. Namun, menurut sebagian lagi, putusan MK ini justru membahayakan posisi pemerintahan Jokowi.

Maka tak heran, muncul berbagai reaksi penolakan ketika DPR nekad mengesahkan  pada 5/10/2020 dan Presiden menandatangani pada 2/11/2020. Bahkan beberapa pihak langsung mengajukan gugatan, baik dari kalangan perseorangan, LSM termasuk LBH dan Migrant Care, organisasi adat, dan lain-lain. Mereka menilai bahwa UU 11/2020 ini cacat secara formil dan materiil.

Secara formil, pembentukan UU ini bertentangan dengan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Sedangkan secara materiil, banyak pasal-pasal dalam UU ini yang bertentangan dengan UUD Republik Indonesia 1945 karena dipandang sangat pro kepentingan para pemilik modal dan membahayakan bagi masyarakat pada masa depan.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menanggaip hal tersebut dan menyatakan bahwa seharusnya MK memutuskan untuk membatalkan UU Ciptaker, alih-alih menyebutnya inkonstitusional bersyarat. Dikarenakan, secara prosedural, pembentukan UU tersebut tidak sesuai dengan perundang-undangan. Tapi mengapa  masih berlaku dan diberi waktu untuk merevisinya?

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari pun menyatakan ada kejanggalan dari putusan MK karena sejatinya UU Ciptaker telah menyalahi konstitusi. Menurutnya dengan memberi tenggat waktu dua tahun untuk memperbaiki UU tersebut, justru dapat menyebabkan ketimpangan yang lebih berbahaya.

Semestinya, sedari awal pihak legislatif membatalkan UU Ciptaker karena sangat jelas mendapat penolakan rakyat. UU ini telah mendegradasi hak-hak rakyat, terutama kaum buruh, sementara para kapitalis dan kaum oligarki tertawa bahagia di atas penderitaan mereka. Oleh sebab itu, putusan ini tidak hanya mencoreng konstitusi, tetapi juga menunjukkan gagal dan lemahnya hukum di hadapan para oligarki dan pemodal.

Dampak tetap berlakunya UU Ciptaker tentu membuat rakyat menjadi sengsara. Setiap isi dari UU tersebut terdapat sarat kepentingan oligarki yang merugikan rakyat sendiri. Lagi-lagi, para konglomerat yang terwakili oleh pemilik modal terkuat akan tetap aman menjalankan perusahaannya. Sementara itu, rakyat sebagai buruh hanya menanggung pilu akibat dampak penerapan UU tersebut.

Dalam Islam, negara bertanggung jawab menyelesaikan masalah kebutuhan rakyat dan wajib menjalankan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam merupakan kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat secara menyeluruh.

Saat rakyat tidak memiliki kemampuan bekerja, maka negaralah yang membuka lapangan pekerjaan untuk mereka. Begitu juga ketika rakyat tidak mendapat upah atau gaji sesuai pekerjaan dan kebutuhan mereka, negara pulalah yang mengaturnya dengan mekanisme yang jelas dan adil antara pekerja dan pengusaha.

Keputusannya akan seimbang, tidak memenangkan kepentingan pengusaha dan menindas rakyatnya. Sudah semestinya penguasa yang mengurusi urusan rakyat sebagaimanahadis Rasul saw:“Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, tetapi ia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tidak akan mencium bau surga.” (HR Bukhari).

Dalam menegakkan hukum, seorang kadi hanya boleh berpedoman pada syariat Islam dalam membela kebenaran dan menghukum yang bersalah secara adil tanpa melihat apakah dia berkedudukan sebagai penguasa, pejabat, atau rakyat. Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar dalam menegur Gubernur Mesir Amr bin al-Ash tatkala ia menghukum putra Khalifah yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, Ibnul Jauzi meriwayatkan bahwa Amr bin al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamar terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar).

Wallahu a'lam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak