Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia hingga akhir kuartal ketiga tahun ini mencapai US$ 423,1 miliar atau sekitar Rp 6.008 triliun, naik 3,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ULN antara lain didorong oleh utang luar negeri pemerintah yang bertambah seiring penerbitan global bonds, termasuk Sustainable Development Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta euro.
Berdasarkan data BI, Utang luar negeri pemerintah per akhir kuartal III mencapai US$ 205,5 miliar, tumbuh 4,1% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kuartal II sebesar 4,3%. Sementara utang swasta hanya tumbuh 0,2% secara tahunan, setelah pada periode sebelumnya mengalami kontraksi 0,3%.
https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/6191dd0c3c8e7/utang-luar-negeri-ri-tembus-rp-6000-t-didorong-pinjaman-pemerintah
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono menyampaikan posisi tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 2 persen. Menurutnya, perkembangan tersebut didorong oleh peningkatan ULN sektor publik senilai US$ 205,5 miliar, dan sektor swasta senilai US$ 208,5 miliar.
Soal ULN swasta, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai peningkatan 0,2 persen secara tahunan tersebut menandakan geliat ekonomi sektor swasta dari dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19.
Sebelumnya, ULN mengalami kontraksi pada kuartal II 2021 sebesar 0,3 persen (yoy).
BI mencatat pertumbuhan tersebut disebabkan oleh pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan, sebesar 1,0 persen.
"Tandanya ini swasta sudah mulai menyerap sumber pendanaan dari luar. Kenapa mereka senang [menyerap dana dari] luar negeri? Karena tingkat bunganya lebih rendah dari yang ada di dalam [negeri]," kata Tauhid kepada Bisnis, Selasa, 16 November 2021.
Selain tingkat bunga, Tauhid menilai risiko nilai tukar atau perbedaan kenaikan suku bunga antar negara menjadi salah satu alasan bagi swasta untuk menggunakan pembiayaan dari ULN.
Apalagi, dengan adanya risiko normalisasi kebijakan moneter global, Tauhid menilai swasta akan lebih memilih untuk menggunakan ULN dengan mata uang asing dibandingkan dengan mata uang rupiah. "Tetapi, kalau mereka pinjamnya dalam bentuk rupiah, dan terkonversi, otomatis utang mereka tambah besar," kata Tauhid.
Kenaikan ULN swasta ini juga, tambah Tauhid, menunjukkan pemulihan dari skema finansial untuk memperbaiki kinerja swasta selama krisis akibat pandemi Covid-19. Seiring dengan prospek pemulihan ekonomi ke depannya, Tauhid memperkirakan ULN swasta berpotensi meningkat.
"Artinya ketika pertumbuhan ekonomi naik biasanya, pemulihan naik, dan swasta juga butuh sumber pendanaan. Kredit dalam negeri saja sudah kembali bergerak naik ya. Tahun depan juga diperkirakan 5-6 persen," katanya.
Selain ULN pemerintah dan swasta, BI turut melaporkan posisi ULN bank sentral pada kuartal III 2021, yang meningkat US$ 6,3 miliar pada kuartal II 2021. Posisi ULN bank sentral menjadi US$ 9,1 miliar sebab adanya alokasi Special Drawing Rights (SDR).
Pada Agustus 2021, IMF mendistribusikan tambahan alokasi SDR secara proporsional kepada seluruh negara anggota, termasuk Indonesia, yang ditujukan untuk mendukung ketahanan dan stabilitas ekonomi global dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.
Kendati demikian, pengamat ekonomi Islam Ustazah Nida Sa’adah, S.E., M.E.I., Ak. pun menilainya bahwa berbagai jebakan utang luar negeri apa pun bentuknya sangat membahayakan. Ia menyatakan utang suatu negara terhadap pihak lain, berbeda kedudukannya dengan utang-piutang antar warga. “Belum lagi, jika utang negara tersebut sangat besar dan harus dibayar terus-menerus bunganya sebelum pokoknya dilunasi.
Secara hukum, ini adalah dosa besar dan membahayakan umat manusia, khususnya kaum muslimin,”terangnya.
Ia mengutip dari Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam bahwa utang luar negeri untuk pendanaan proyek adalah cara paling berbahaya terhadap eksistensi negeri Islam. “Utang merupakan jalan menjajah suatu negara.
Utang tidak menghasilkan apa-apa kecuali bertambahnya kemiskinan pada negara yang berutang. Walaupun utang tersebut digunakan untuk pembiayaan produktif, maka cara pembiayaan demikian adalah berbahaya,” urainya.
Pada utang jangka pendek, ia menyatakan dampaknya adalah kekacauan moneter. “Ketika jatuh tempo masa pelunasan, mata uang negara yang berhutang akan ‘diserang’ sehingga anjlok dan gagal melunasi,” sebutnya. Sedangkan utang jangka panjang, ia menambahkan, negara donor bersikap toleran saat pelunasan, hingga menumpuk, dan APBN pun menjadi kacau.
“Akibatnya, harus dilunasi dengan berbagai aset negara dan harus menerima didikte oleh negara/lembaga pemberi utang,” kritiknya.
Ia menilai ada kesalahan cara pandang negeri ini dan berbagai negeri lainnya, ketika utang bukan lagi sebagai financial bridging untuk memenuhi liquidity mismatch (kekurangan likuiditas –terj.). “Namun, telah menjadi alat fiskal untuk menstimulasi perekonomian. Atau dengan bahasa mudahnya, negara butuh dana untuk membangun dan menggerakkan roda ekonomi. Namun, karena tidak punya dana ,akhirnya berutang,” cetusnya.
Karenanya, ia menyatakan, butuh revolusi politik dan ekonomi untuk memiliki sistem keuangan yang kokoh. “Hanya saja, sistem keuangan yang kokoh akan terbangun jika negara memiliki sistem politik yang kuat, yang tidak mau didikte negara lain. Negara (Daulah) Islam yang dibangun Rasulullah saw. memiliki itu semua dengan sistem keuangannya disebut Baitulmal,” tuturnya.
Ia menyampaikan, ada tiga pemasukan utama pendapatan Baitulmal. “Pertama, dari pos fai, kharaj, jizyah, dan seterusnya. Kedua, dari hasil pengelolaan aset kepemilikan umum, seperti barang tambang, dan seterusnya. Ketiga, dari zakat mal seperti zakat ternak, pertanian, perniagaan, emas, dan perak,” ujarnya. Ia mengemukakan, tiga pos ini mengalirkan harta Baitulmal karena bertumpu pada sektor produktif. “Harta Baitulmal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi.
Rakyat pun tidak terbebani karena Negara Khilafah tidak menerapkan sistem pungutan pajak di berbagai sektor. Pembangunan infrastuktur sangat megah dan modern tanpa berutang sepeser pun dengan negara luar. Neraca keuangan negara tidak pernah defisit. Tidak ada problem kemiskinan massal dalam sejarah Negara Khilafah,” ulasnya.
Ia pun membandingkan, berbeda dengan negara demokrasi yang kemiskinan massalnya menjadi problem laten tak terpecahkan. “Oleh karena itu, sebetulnya secara keimanan dan logika ilmiah, kita membutuhkan sistem keuangan Islam, Baitul Mal, yang ada dalam sistem politik Khilafah Islam untuk membangun negara mandiri dan masyarakat makmur,” tegasnya.
Sementara itu, aktivis muslimah Ustazah Ratu Erma Rachmayanti menyoroti kebijakan kerjasama pemerintah tersebut yang dinilai buntu, karena tidak memahami keutuhan sistem Islam. “Ini adalah kritik terhadap kebijakan kerjasama pemerintah yang buntu. Kalau melihat keutuhan atau kelengkapan sistem Islam dan fikih Islam, maka yang buntu itu adalah pemikiran mereka yang tidak paham keutuhan dan kelengkapan sistem Islam dalam mengatur persoalan masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, kerjasama akibat ketidaktahuan terhadap sistem Islam ini akan mengakibatkan masalah. “Ironinya, justru beberapa ulama memiliki pandangan bahwa Islamlah yang mempunyai masalah, yang mengalami kebuntuan pada saat menghadapi problem masyarakat kekinian. Fikih Islam dituding tidak bisa menyelesaikan masalah hari ini, tanpa ada yang menyinggung sebab utama dari persoalan tersebut,” ungkapnya.
Ia menyatakan, memang ada realita dengan berbagai pemicu, tetapi penyelesaiannya seharusnya tidak seperti itu karena Islam memiliki sistem ekonomi yang sangat luas dan lengkap.
“Kebuntuan akibat ketidaktahuan tentang Islam, akhirnya menjadikan mereka memandang persoalan pengelolaan keuangan atau dana dalam Islam hanyalah zakat, infak, dan sedekah,” cetusnya.
Padahal, ia melanjutkan, sistem ekonomi Islam memiliki pengaturan terhadap pemasukan dan pengeluaran suatu negara. “Terlihat bahwa pos pemasukan negara yang paling besar jumlahnya adalah dari pengelolaan harta milik umum, dari sumber daya alam yang dikelola oleh negara, dari harta rampasan perang, dan harta milik negara. Sedangkan, zakat, infak, dan sedekah hanya salah satu bagian saja dari pos pemasukan.
Pemasukan lainnya justru lebih besar. Inilah yang seharusnya digunakan untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat agar tidak miskin, dan lainnya,” tegasnya. Jadi, ia mengingatkan, sekali lagi kebuntuan itu ada pada akal-akal mereka yang tidak memahami Islam secara utuh. “Bukan pada hukum Islam, yang sampai harus diutak-atik,” pungkasnya.
Maka sudah saatnya negeri ini seharusnya berupaya untuk bisa melepaskan diri dari berbagai bentuk jebakan utang yang membahayakan serta memiskinkan masyarakat.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini