Oleh Ummu Fatiha
Kaum buruh kembali berunjuk rasa. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, tuntutan penyesuaian upah minimum baik provinsi ataupun kota menjadi agenda utama.
Pada tahun ini buruh menuntut persentase penyesuaian yang lebih besar dikarenakan hantaman pandemi Covid-19 yang membuat kehidupan ekonomi kaum buruh semakin berat. Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diketok oleh pemerintah dinilai tidak didasarkan pada formula Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2021 sehingga tidak sesuai dengan harapan buruh yang menginginkan kenaikan upah berkisar antara 7-10%.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Obon Tabroni menilai kenaikan upah minimum provinsi 2022 sangat rendah bila dibandingkan dengan nilai inflansi. Bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup individu masyarakat. Obon menilai pemerintah pusat telah melakukan intervensi dalam penetapan upah minimum 2022. Padahal kewenangan ini mestinya ada pada gubernur, berdasaran rekomendasi Dewan Pengupahan yang bersifat tripartit. Yakni penentuan pengupahan melalui perundingan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Rendahnya kenaikan upah buruh diduga karena telah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang memungkinkan dihilangkannya upah minimum kota dan pemberian upah hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). Meskipun beberapa waktu yang lalu MK menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional (batal secara hukum) namun memungkinkan bisa tetap berlaku dengan syarat ada perbaikan. Artinya, permasalahan buruh dan tuntutan atas hak-hak mereka sulit terpenuhi jika negara masih bersikukuh dengan aturan inkonstitusional.
Sekalipun upah dinaikkan, kesejahteraan buruh tidak akan pernah tercapai karena sistem yang diterapkan tidak adil dan tidak didesain untuk memenuhi hak pekerja.
Ada dua pola pengupahan yang diterapkan pada sistem ekonomi saat ini. Pertama, pengupahan didasarkan kepada nilai harga barang yang dihasilkan oleh pekerja. Kedua, sistem upah yang didasarkan pada nilai kebutuhan dasar pekerja. Selama kedua pola tadi diterapkan, niscaya problematika upah akan terus terjadi. Hal ini karena kekeliruan dasar penetapan besaran upah.
Penetapan upah tidak bisa didasarkan pada nilai harga barang, karena harga dapat berubah-ubah akibat perubahan keseimbangan permintaan dan penawaran komoditas tersebut. Jika terjadi penuruhan harga, penghasilan pekerja akan ikut turun, dan bisa jadi akan merugikan pekerja. Sebaliknya, ketika terjadi kenaikan harga, penghasilan pekerja menjadi semakin besar, hal ini tentu akan merugikan pemberi kerja.
Upah pekerja juga tidak didasarkan pada nilai kebutuhan dasar pekerja. Bila pemenuhan kebutuhan pokok dibebankan kepada pemberi kerja maka merupakan bentuk kezaliman karena sejatinya jaminan pemenuhan kebutuhan pokok ada pada negara. Jika nilai manfaat pekerjaan lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan hidup pekerja maka upah yang berdasarkan jumlah kebutuhan hidup tersebut akan merugikan pemberi kerja. Sebaliknya, apabila manfaat jasa pekerja lebih besar dibanding kebutuhannya, hal ini merugikan pekerja.
Aturan Islam menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat berupa pangan, sandang, perumahan merupakan tanggung jawab negara. Hal ini menunjukkan kebutuhan primer harus dapat diperoleh setiap individu yang menjadi warga negara. Islam menetapkan bahwa kebutuhan pokok paling urama diperoleh melalui usahanya sendiri, bila tidak mampu maka melalui ahli warisnya, bila keduanya tidak mampu maka negara akan memberikan santunan.
Islam telah mengatur bahwa penetapan besaran upah merujuk pada nilai manfaat jasa dari pekerja, tidak dilihat apakah upah itu mencukupi atau melebihi kebutuhan. Hal ini menyebabkan upah pekerja antar sektor dan antar profesi akan bervariasi. Besaran upah disepakati antara pihak pekerja dan pemberi kerja. Bila terjadi perbedaan pendapat maka Islam menetapkan bahwa perlu merujuk pada pendapat ahli ketenagakerjaan.
Upah berdasarkan manfaat jasa pekerja disepakati antara pekerja dan pemberi kerja dalam batas waktu tertentu. Keduanya dapat melakukan negosiasi untuk merubah upah pada kontrak baru berikutnya. Hal ini memungkinkan terjadinya kenaikan upah bagi pekerja. Jika terjadi perselisihan maka ditetapkan upah yang sepadan (ajrul mitsl) berdasarkan upah pekerja lain yang ditetapkan para ahli.
Allah Rasulullah bersabda dalam hadits qudsi, “Tiga golongan yang akan menjadi musuh Ku di hari kiamat. Siapa yang menjadi musuh-Ku, Aku akan memusuhi dia. Pertama, seorang yang berjanji setia kepada-Ku, namun mengkhianatinya. Kedua, seorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasilnya. Ketiga, seorang yang mempekerjakan seseorang, lalu setelah pekerjaan itu selesai, orang tersebut tidak memberi upah orang tersebut.” (HR al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Aturan Islam terkait perburuhan ini telah dijalankan selama berabad-abad dan tidak menimbulkan permasalahan antara pemberi kerja dan pekerja. Adanya jaminan kebutuhan pokok dari negara akan meringankan pemberi kerja, karena mereka tidak perlu menanggung semua kebutuhan pokok buruh yang dimasukan dalam perhitungan upah, di sisi lain pekerja pun akan lebih tenang karena adanya jaminan dari negara tersebut.
Nabi saw. bersabda :
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban” (HR. Bukhari)
Islam telah menjadikan negara benar-benar hadir dalam proses ekonomi. Bukan hanya sebagai regulator akan tetapi menjadi penjamin keberlangsungan proses ekonomi. Begitulah keindahan sistem kehidupan Islam, yang tentu aturan tersebut memerlukan wadah negara yang baik, atau institusi yang menerapkan syariah Islam secara paripurna (kafah).
Wallahu a'lam bi shawwab