Upah Buruh Rendah Membuat Gerah




Oleh : Rindoe Arrayah

             Hingga saat ini nasib buruh tiada pernah mengalami perubahan menuju kebaikan dari sisi upah yang didapatkan. Hal inilah yang memicu maraknya aksi buruh di berbagai kota. Mereka menuntut kenaikan upah agar sesuai standar layak kehidupan. Fenomena ini mencerminkan lemahnya kemampuan ekonomi negara dalam menyejahterakan rakyatnya.

Rencananya, aksi ini akan melibatkan ribuan buruh dengan melakukan aksi mogok nasional menuntut kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) minimal 10 persen pada Rabu (8/12/21). Ada tiga lokasi yang menjadi sasaran aksi protes, yaitu istana, Mahkamah Konstitusi, dan kantor Balai Kota DKI Jakarta. Sebelumnya telah dilakukan aksi serupa di berbagai kota masing-masing. Semua bertujuan agar para kepala daerah (gubernur) mencabut SK Upah Minimum Propinsi yang hanya naik 1,09 persen. Sementara aksi mogok nasional menuntut agar Presiden mencabut SK tersebut dan mengeluarkan Keppres yang menetapkan kenaikan upah sebesar 10-15 persen (Suara.com, 7/12/21).

Tuntutan yang diinginkan para buruh tersebut berkaitan dengan penolakan terhadap isi UU Ciptakerja yang telah disahkan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2021. Meskipun UU ini telah dinyatakan cacat secara formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun tetap dinyatakan berlaku dengan syarat harus direvisi dalam dua tahun. Semenjak disahkan, telah banyak aksi protes menentang isi UU tersebut. UU yang ditetapkan untuk menciptakan lapangan kerja dan kemudahan investasi asing ini telah menuai banyak kritik karena mengurangi hak-hak pekerja (Tempo, 29/11/21).

Dari awal kemunculannya, UU Ciptaker ini menuai kontroversi karena memuat pasal-pasal yang mengutamakan para kapitalis/pengusaha dalam menciptakan lapangan kerja. Akan tetapi, adanya berbagai kemudahan tersebut justru merugikan para buruh dalam memperoleh kelayakan upah, pesangon, bahkan cuti. Hal inilah yang menjadi pemicu aksi protes yang merata di berbagai kota.

Dengan digulirkannya tawaran kepada asing untuk berinvestasi menampakkan ketidakmampuan negara dalam membangun perekonomian. Dalih untuk membantu pembangunan negeri menjadi faktor utamanya. Pemerintah beranggapan adanya investasi asing akan memperbanyak lapangan kerja bagi rakyat. Sehingga diharapkan akan berangsur tercipta kesejahteraan.

Adanya kebijakan di atas menjadikan investasi asing memang menjadi lebih mudah. Terbukti semakin banyak perusahaan asing yang berdiri. Namun sayangnya  dengan adanya investasi tersebut banyak yang terikat dengan perjanjian boleh masuknya tenaga kerja dari negara asing. Sehingga, porsi tenaga dalam negeri pun berkurang. Bahkan, terdapat perbedaan upah antara tenaga asing dengan dalam negeri. Hal ini terbukti dengan banjirnya TKA dari China selama pandemi, sebagai pekerja dari proyek bersama China-Indonesia.

Investasi yang dilakukan pihak asing (swasta), menjadi bukti lepasnya peran negara dalam mencipta lapangan kerja. Negara hanya bertindak sebagai pembuat aturan yang mengatur pelaksanaan kerja. Sementara pencipta dan pelaksana kerja dilakukan oleh swasta/asing. Sehingga, wajar selaku pencipta lapangan kerja, asing/swasta tidak mau dirugikan dengan pemberian hak-hak buruh yang menurut mereka berat. Negara pun tidak kuasa untuk melanggar perjanjian diplomatik, karena lemahnya ekonomi negara. Negara sudah tidak mempunyai modal untuk membangun fasilitas bagi rakyat. Upaya bermitra dengan swasta/asing pun menjadi pilihan.

Jika dicermati lebih mendalam, adanya investasi asing bisa terkategori penjajahan di bidang perekonomian. Adanya pihak asing yang berinvestasi di dalam negeri akan membuat kemiskinan struktural tampak nyata. Rakyat kecil hanya diperas menjadi tenaga kerja murah, sementara keuntungan melimpah di tangan pengusaha dan penguasa. Inilah salah satu ciri sistem Kapitalisme yang bercokol di negiri ini. Setiap kebijakan yang ditetapkan lebih mementingkan kepentingan para pengusaha. Adanya kesenjangam ekonomi sengaja tercipta agar lebih menguatkan posisi para pemodal/pengusah.

Berbeda halnya dengan risalah Islam yang memberikan aturan secara manusiawi dan menenteramkan hati karena aturannya bersumber dari wahyu Illahi dalam rangka menciptakan keadilan bagi semua golongan, baik kaya maupun miskin.

Dalam sistem Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan primer rakyatnya. Berupa kebutuhan asasi/penting bagi kehidupan. Hal itu meliputi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Agar terpenuhi kebutuhan tersebut, negara haruslah menjamin terciptanya lapangan kerja bagi para lelaki sebagai penanggung nafkah. Jika nafkah terpenuhi secara ma’ruf, maka akan tercukupi semua kebutuhan.

Bagi para investor asing, pemerintah akan berusaha menutup celah untuk ikut campur (berinvestasi) dalam pembangunan negara. Keterlibatan asing hanya sebagai tenaga ahli jika dibutuhkan dan bersifat sementara. Negara akan mengolah kekayaan alam secara mandiri dengan membuka lapangan kerja bagi seluruh rakyatnya. Sehingga pendapatan yang diperoleh akan masuk kas negara.

Negara tidak akan pernah kekurangan dana manakala mengurusi rakyat maupun membangun negara karena banyak kantong yang bisa dijadikan sebagai sumber penggalian dana, seperti dari jizyah (semacam pajak bagi kafir dhimmi), fa'i (harta rampasan perang), kharaj (pajak tanah penaklukan), dan harta negara lainnya.

Telah nyata kerusakan yang  didapatkan ketika sistem Kapitalisme yang merupakan aturan buatan manusia diterapkan di muka bumi ini. Oleh karenanya, saatnya untuk kembali dalam pangkuan sistem kehidupan yang berlandaskan pada syari’at-Nya.

Wallahu'alam bishawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak