Oleh Cahaya Septi
Pelajar dan Aktivis Dakwah
Isu moderasi agama terus diangkat sebagai isu yang seolah penting. Sebagaimana isu terorisme dan isu radikalisme, moderasi beragama juga selalu ditujukan kepada kalangan muslim. Terutama mereka yang berpegang teguh pada agamanya, yang selalu berusaha terikat dengan syariatnya, bahkan yang menginginkan penerapan syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan.
Paham moderasi agama secara garis besar adalah paham keagamaan yang moderat. Moderat lawannya adalah radikal. Kedua istilah ini bukanlah istilah ilmiah, tetapi merupakan istilah politis. Karena, moderat adalah paham keagamaan (Islam) yang sesuai dengan nilai-nilai Barat yaitu sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Sebaliknya, radikal adalah paham keagamaan (Islam) yang disematkan pada kelompok-kelompok Islam yang anti Barat
Mantan Presiden AS George W. Bush pernah menyebut ideologi Islam sebagai “ideologi para ekstremis”. PM Inggris bahkan menyebut ideologi Islam sebagai Ideologi setan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menolak legitimasi Israel.
2. Memiliki pemikiran bahwa syariat adalah dasar hukum Islam.
3. Kaum muslim harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khalifah.
4. Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat
Namun, sikap keagamaan moderat adalah yang sebaliknya, yakni:
(1) Menerima legitimasi Israel.
(2) Memiliki pemikiran bahwa syariat bukanlah dasar hukum Islam.
(3) Kaum muslim tidak harus menjadi satu-kesatuan dalam naungan khilafah
(4) Mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Selanjutnya di antara sikap beragama yang dipandang moderat adalah keterbukaan terhadap pluralisme. Kaum pluralis cenderung menyamakan semua agama dan menganggap semua agama benar. Karena bersumber dari “mata air” yang sama. Maka tidak aneh jika kaum pluralis rajin mempromosikan toleransi beragama yang sering kebablasan. Wujudnya seperti ucapan selamat Natal kepada kaum Nasrani, perayaan Natal bersama, doa bersama lintas agama, salawatan di gereja, dan lain-lain.
Nabi Muhammad saw. telah memerintahkan umatnya untuk selalu waspada agar tidak tergelincir dalam kesesatan dengan mengikuti keyakinan dan perilaku para penganut agama lain. Beliau bersabda:
“Hari kiamat tak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR al-Bukhari No. 7319).
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fath al-Bari, menerangkan bahwa Hadis di atas berkaitan dengan ketergelinciran umat Islam karena mengikuti dalam masalah tata negara dan pengaturan urusan rakyat. Selain dalam dua urusan itu kaum muslim juga tidak boleh mengikuti orang kafir dalam masalah akidah dan ibadah.
Dalam persoalan akidah dan ibadah, misalnya, ada sebagian muslim yang berpendapat tentang kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani, bahkan kebolehan mengikuti perayaan Natal bersama. Padahal jelas, segala bentuk ucapan selamat dan apalagi mengikuti perayaan hari-hari besar orang kafir adalah haram.
Karena itu Imam Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafii (w. 911 H) berkata:
“Ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi salaf dari kaum muslim yang ikut serta dalam hal apa pun dari perayaan mereka.” (Haqiqat as-Sunnah wa al-Bid’ah, hlm. 125).
Banyak kaum muslim yang sudah terbiasa mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain, padahal dalam Islam tidak boleh. Allah sudah menjelaskan dalam surat al-kafirun ayat 6 bahwa “Untukmu agamamu, untukku agamaku” jadi kita sebagai umat muslim tidak seharusnya mengucapkan selamat pada hari raya agama lain, termsuk di dalamnya menggunakan atribut-atribut yang menampakkan perayaan serta simbol-simbol kekufuran. Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia digolongkan sebagai kaum tersebut.” ( HR. Abu Daud)
Wallahu a'lam bishawab