Tasyabuh Bil Kuffar dalam Balutan Narasi Toleransi

Oleh : Bunda Kayyisa Al Mahira


Saat Desember menjelang dan tahun baru masehi datang,  ucapan Natal dan perayaan tahun baru kembali menuai polemik. Pro dan kontra pun berkembang di tengah masyarakat apakah boleh atau tidak mengucapkan selamat Natal dan ikut merayakan tahun baru masehi. Bahkan jika tidak mengucapkan selamat Natal dan ikut perayaan tahun baru masehi dicap fanatik dan intoleransi. 

Dalam mensikapi hal ini maka umat Islam harus waspada jangan sampai terjerembab ke dalam lubang kemaksiatan. Maka yang harus dilakukan adalah mencari tahu bagaimana pandangan Islam atau hukum syara terkait dengan mengucapkan selamat Natal dan ikut perayaan tahun baru masehi. 

Pertama, terkait dengan ucapan selamat natal, yang harus dipahami adalah makna perayaan hari Natal.  Maknanya tentu harus dirujuk pada tuntunan agama Kristen dan kaum Kristiani. Di dalam Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2019 dinyatakan, “Dengan penuh sukacita, kita merayakan pesta kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Damai, yang datang untuk ‘merubuhkan tembok pemisah, yakni perseteruan (EF 2:14)’ yang memecah-belah umat manusia...” 

Dengan demikian ucapan selamat Natal mengandung bermakna harapan kesejahteraan dan keberuntungan untuk kaum Kristiani dengan kelahiran Tuhan Yesus Kristus; ikut bergembira dan senang atas kelahiran Tuhan Yesus Kristus; juga pengakuan dan keridhaan terhadap kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Hal ini bertentangan dengan Firman Allah SWT telah berfirman " Mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak." Sungguh kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar " (TQS Maryam [19]: 88-89).

"Sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah seorang dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Lalu mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang " (TQS al-Maidah [5]: 73-74).

Hari Raya Natal, sesuai ayat di atas, jelas merupakan hari raya keyakinan kufur dan perayaan kekafiran.  Dari sini jelas bahwa ucapan Selamat Natal adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim. Ucapan Selamat Natal juga termasuk syiar agama mereka. Jika kita turut mengucapkannya, berarti kita menyerupai mereka. Padahal Rasul saw. tegas melarang yang demikian sebagaimana Sabdanya " Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka " (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Keharaman mengucapkan Selamat Natal telah menjadi ijmak (disepakati) para ulama. Bahkan para ulama menyatakan, orang yang mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir layak dijatuhi hukuman ta’zîr. Imam Kamaluddin ad-Damiri (w. 808 H) di An-Najmu al-Wahhâj fî Syarhi al-Minhâj mengatakan, “Dijatuhi sanksi ta’zîr orang yang menyamai kaum kafir dalam hari raya mereka...dan orang yang berkata kepada dzimmi, ‘Ya Haj,’ juga orang yang memberikan selamat hari raya.” 

Kedua,  terkait dengan perayaan tahun baru Masehi,  ini bukan hari raya umat Islam, melainkan hari raya kaum kafir, khususnya kaum Nashrani. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582. Penetapan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752. (www.en.wikipedia.org; www.history.com)

Bentuk perayaannya di Barat bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja (church servives), maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga (family time), dan lain-lain. (www.en.wikipedia.org).

Berdasarkan fakta hukum tersebut, haram hukumnya seorang muslim ikut-ikutan merayakan tahun baru Masehi. Dalil keharamannya ada dua pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim). Dalil umum yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah SWT yang artinya " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104).
( eramuslim. com 30/12/2021)

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan Allah SWT telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karena orang Yahudi menggumamkan kata ‘ru’uunah’ (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW seakan-akan mereka mengucapkan ‘raa’ina’ (perhatikanlah kami). (Tafsir Ibnu Katsir, 1/149).

Alhasil mengucapkan selamat Natal dan ikut perayaan tahun baru Masehi bagi seorang muslim berdasarkan Al Qur'an dan hadist hukumnya haram. Namun kaum muslimin tetap diperintahkan untuk menghormati hari raya agama lain tanpa harus mengucapkan selamat apalagi ikut merayakannya. Senantiasa berbuat baik kepada mereka sepanjang tidak bertentangan dengan hukum syariah, inilah toleransi sejati. 

WalLâhu a’lam Bishowwab. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak