Tarif Listrik Naik 2022, Kado Pahit Kebijakan Kapitalistik







Oleh : Ummu Aimar

Pemerintah berencana akan menaikan tarif listrik untuk 13 golongan pelanggan non subsidi pada 2020 mendatang dengan skema adjustment.
Menanggapi hal tersebut, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto mengatakan, rencana mengenai tarif adjustment ini memang sudah lama didengungkan.
"Adjustment atau penyesuaian tarif ini biasanya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kurs dollar, inflasi dan juga harga minyak dunia," kata Agus saat dihubungi Tribunnews, Jumat (3/12/2021 https://www.tribunnews.com)

Rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif listrik pada 2022 tampaknya akan menjadi kado pahit bagi rakyat indonesia. Rakyat dibuat tetap menerima kebijakan kapitalistik. Tidak ada yang gratis ketika hidup di bawah penerapan ideologi kapitalisme. Untuk sekadar menikmati aliran listrik saja harus berbayar. 

Di tengah pandemi Corona yang masih setia membelenggu berikut kebijakan dari pemerintah yang tumpang tindih ditambah rakyat yang mulai gemetar akan bayang-bayang sejahtera di kehidupan hari selanjutnya, ternyata kesukaran demi kesukaran tak putus-putusnya menghampiri rakyat. Seperti halnya kenaikan tagihan listrik  justru melonjak, mencekik lebih kuat di tengah pandemi.

Kenaikan tarif listrik pasti berdampak pada masyarakat. Kebijakan menaikkan listrik sepertinya sudah menjadi tabiat yang tidak bisa hilang. Mau listrik naik pada golongan subsidi atau nonsubsidi, tetap saja membebani masyarakat. 

Dengan kata lain, negara tidak ubahnya pedagang yang sedang menjual dagangannya, yakni listrik kepada rakyatnya sendiri. Rakyat seperti pembeli yang “mengemis” subsidi dan pelayanan listrik. Ada harga, ada rupa. Ada layanan listrik, Tetap kita harus membayarnya.

Begitulah watak penguasa kapitalis. Padahal, listrik adalah salah satu sumber energi milik rakyat. Mestinya rakyat dapat menikmatinya secara murah, bahkan gratis. Negara masih berhitung dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, dan Negara tidak mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara justru melakukan proyek pembangunan 35.000 megawatt dengan menggandeng para investor hingga memaksa PLN berutang. Akibat ambisi tersebut, utang PLN membengkak sebesar Rp649,2 triliun. Padahal, yang dibutuhkan sejatinya bukan pembangkit megawatt, tetapi pembangunan sarana transmisi dan distribusi listrik, serta pemerataan elektrifikasi hingga pelosok desa. 

Mengutip esdm.go.id (27/7/2021), Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengemukakan cadangan batu bara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton. Dengan rata-rata produksi batu bara sebesar 600 juta ton per tahun, umur cadangan batu bara masih 65 tahun dengan asumsi tidak ada temuan cadangan baru. Selain cadangan batu bara, masih ada juga sumber daya batu bara yang tercatat sebesar 143,7 miliar ton. 

Dengan keberlimpahan ini, bahan bakar pembangkit listrik ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap warga. Kecukupan ini akan terwujud manakala kekayaan alam yang menguasai hajat publik ini terkelola dengan pandangan syariat Islam. Sayangnya, liberalisasi sumber energi dan layanan listrik menihilkan peran negara sebagai penanggung jawab utama. Dalam Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum.

Dengan demikian, pengelolaan sumber pembangkit listrik, yaitu batu bara, serta layanan listrik dalam hal ini PLN haruslah berada di tangan negara. Individu atau swasta tidak boleh mengelolanya dengan alasan apa pun. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, dalam sistem islam bisa menempuh beberapa kebijakan :

Pertama , membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai.

Kedua, melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri.

Ketiga, mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah.

Keempat, mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan,  kesehatan, keamanan, sandang, pangan, dan papan. 

Dengan pengelolaan listrik berdasarkan syariat Islam, rakyat dapat merasakan kekayaan alam yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam kehidupan sehari-hari. Di negara Khilafah, listrik murah bukan hal yang utopia.

Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut. Selain itu, batu bara yang merupakan bahan pembangkit listrik termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangat besar. Terhadap barang tambang yang depositnya banyak, haram hukumnya dikelola oleh individu atau swasta.

Maka negara harus bertindak sebagai pelayan rakyat. Tanggung jawab negara adalah memberi segala amunisi secara ikhlas untuk rakyat, baik di kala normal maupun di tengah wabah. Tanggung jawab penuh diberikan.

Karna islam adalah agama sempurna. Bisa mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya terkait politik. Politik dalam Islam merujuk pada pengurusan terhadap urusan umat. Perihal polemik meningkatnya tagihan listrik tentunya tak dijumpai dalam Islam karena pengurusan pemenuhannya dalam Islam disikapi dengan cara yang elegan, yaitu cara yang berkontribusi untuk kesejahteraan rakyatnya. Dalam Islam, hajat hidup rakyat berikut kebutuhan listrik merupakan tanggung jawab penguasa. 


Wallahu alam bi ash-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak