Oleh: Neng Ipeh
(aktivis BMI Community Cirebon)
Belum lama ini Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Barat menyatakan Kabupaten Cirebon berkontribusi sebesar Rp4,4 triliun dalam realisasi nilai investasi hingga triwulan III/2021. Hal ini dikarenakan realisasi investasi nasional periode Januari hingga September 2021 mencapai angka Rp659,4 triliun. Dari jumlah tersebut, Jabar berkontribusi paling tinggi sebesar Rp107,2 triliun. Sementara, urutan kedua dalam kontribusi realisasi investasi nasional diduduki oleh DKI Jakarta sebesar Rp70,2 triliun. Kemudian, pada urutan ketiga yakni Provinsi Jawa Timur dengan angka Rp52,7 triliun.
Sekretaris DPMPTSP Jabar Eka Hendrawan Sastarawijaya mengatakan dari nilai tersebut, Kabupaten Cirebon berkontribusi sebesar 14,5 persen dari realisasi nilai investasi Jawa Barat. "Saya harap Kabupaten Cirebon bisa meningkatkan realisasi investasi. Apalagi, kabupaten ini masuk ke dalam Kawasan Metropolitan Rebana," katanya (bisnis.com/12/12/2021).
Oleh karena itu, pemerintah daerah kini memiliki Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Investasi. Tim tersebut dibentuk untuk menjemput investor ke Kabupaten Cirebon. Hal ini disebabkan karena Kabupaten Cirebon merupakan merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang diuntungkan karena berada di jalur darat (Tol Trans Jawa), jalur udara (BIJB Kerjati), jalur kereta api, dan jalur laut (Pelabuhan Cirebon). Sayangnya keuntungan tersebut tidak berbanding dengan kondisi iklim investasi di Kabupaten Cirebon. Banyak investor dalam negeri maupun luar negeri lebih memilih daerah lain. Salah satu alasannya sulit mendapatkan perizinan. Hal tersebut terjadi karena pelayanan di Kabupaten Cirebon belum satu pintu dan memakan waktu lama.
Padahal Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam mengemukakan, sesungguhnya pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara. Pada saat kekayaan negeri ini sudah dikuasai penanaman modal asing, maka ekonomi kita secara keseluruhan dari hulu sampai hilirnya adalah ekonomi bangsa lain. Ekonomi yang kita hitung tiada lain adalah ekonomi bangsa lain.
James Petras dalam studinya berjudul Six Myths About the Benefits of Foreign Investment The Pretensions of Neoliberalism (2006), merangkum 6 mitos tentang investasi asing:
Pertama, mitos bahwa investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru, memperluas pasar atau merangsang penelitian dan pengembangan teknologi ‘know-how‘ lokal yang baru. Kenyataannya, investasi asing lebih tertarik untuk membeli perusahaan-perusahaan BUMN kategori untung/sehat dan kemudian memprivatisasinya atau membeli perusahaan-perusahaan swasta dalam kategori yang sama, dan menguasai pasar perusahaan tersebut.
Kedua, mitos bahwa investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor, dan merangsang ekonomi lokal melalui pasar kedua (sektor keuangan) dan ketiga (sektor jasa/ pelayanan). Faktanya, investor asing lebih tertarik membeli atau menginvestasikan uangnya ke sektor-sektor pertambangan yang sangat menguntungkan dan kemudian mengekspornya dengan sedikit atau tanpa nilai tambah sama sekali.
Ketiga, mitos bahwa investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah pendapatan lokal/nasional, serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk pembiayaan impor. Faktanya, investor asing terlibat dalam penipuan pajak,penipuan dalam pembelian perusahaan-perusahaan publik, dan praktik pencucian uang dalam skala besar.
Keempat, mitos bahwa pembayaran utang adalah esensial untuk melindungi keberadaan barang-barang finansial di pasar internasional dan mengelola integritas sistem keuangan. Tetapi catatan historis menunjukkan, penambahan utang baru di bawah kondisi ekonomi yang tidak sehat hanya akan membahayakan keberadaan dan integritas sistem kekuangan domestik yang memicu kebangkrutan keuangan.
Kelima, mitos bahwa sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga tergantung pada investasi asing untuk menyediakan kebutuhan modal bagi pembangunan karena sumberdaya-sumberdaya lokal tidak tersedia atau tidak mencukupi. Temuan Petras justru menunjukkan hal sebaliknya, di mana mayoritas investasi asing itu adalah investor asing yang meminjam tabungan nasional untuk membeli perusahaan-perusahaan lokal dan membiayai investasinya. Fakta ini menunjukkan bahwa pinjaman yang dilakukan oleh investor asing untuk mengambil alih pasar lokal dan fasilitas-fasilitas produktif, telah menjadi praktik yang umum. Ini jelas menyanggah gagasan bahwa investor asing membawa ‘modal segar’ ke negara berkembang tersebut.
Keenam, para penganjur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing masuk, maka hal itu akan menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan ekonomi keseluruhan. Tak ada yang bisa dikatakan dari argumen ini kecuali menunjukkan bahwa investasi asing ternyata mengalami ketidakamanan dan ketidakstabilan akibat munculnya pesaing dari Cina yang mengandalkan buruh super murah. Dan investor asing, sangat mudah merelokasikan investasinya ke tempat-tempat yang lebih menguntungkan dan menciptakan situasi ekonomi yang sangat fluktuatif (boom and bust economy).
Tentu tak selayaknya kaum Muslim negeri ini rela menjadi bulan-bulanan neoliberalisme dan neoimperialisme baik dari asing Barat maupun asing Timur. Jalan untuk menyudahi neoliberalisme dan neoimperialisme itu hanyalah dengan kembali pada petunjuk Allah Subhanahu wata'ala, yaitu dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah naungan sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.
Tags
Opini