Oleh: Ita Mumtaz
Gelaran cara tahunan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2021 di Surakarta menjadi sorotan umat. Pasalnya, agenda yang dikenal dengan konferensi pendidikan Islam itu dibuka oleh Menag, Yaqut Cholil Qoumas dengan memberikan statemen bahwa akademisi memiliki peran penting dalam merekontekstualiasi konsep fikih untuk menyesuaikan keadaan zaman yang terus berubah (detik.com,25/10/2021).
Jika hukum berubah sesuai dengan waktu dan zaman, maka ini bisa diartikan bahwa syariat Islam yang berasal dari Sang Pencipta tidaklah sempurna dan tidak paripurna. Padahal sebagai Pencipta, Allah Maha Tahu atas segala sesuatu baik zaman dulu hingga kehidupan dunia berakhir kelak. Maka syariat yang datang untuk mengatur kehidupan umat manusia ada di dalam Al-Qur’an dan hadis. Bersumber dari sini, para ulama akan berijtihad menyikapi permasalahan baru yang muncul.
Sebenarnya permasalahan yang dihadapi manusia baik di zaman dulu maupun sekarang tetap sama. Yakni dalam rangka memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri yang mweupakan potensi manusia. Hanya saja dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pemenuhannya semakin beragam. Misalnya singkong bisa menjadi cake yang lebih lezat untuk menghilangkan rasa lapar. Air saat ini bisa dikemas agar lebih praktis, dan masih banyak lagi contoh dinamisasi pemenuhan kebutuhan manusia.
Namun ada juga contoh pemenuhan naluri yang menyimpang dari syariat, misalnya pernikahan sesama jenis. Hal seperti inilah yang patut diwaspadai agar term rekontekstualisasi tidak menjadi legitimasi untuk menelikung syariat dan hukum Islam.
Misalnya begini. Hukum berzina di dalam Islam, dari dulu hingga sekarang sama, yaitu dirajam. Hal ini terkategori bab hudud yang hukumnya sudah ditetapkan di dalam Al-Qur’an. Bisa saja dengan alasan rekontekstualisasi fikih, perbuatan maksiat yang hina dan keji ini ditetapkan tidak perlu dihukum rajam. Sehingga tidak lagi membutuhkan sebuah tatanan negara yang di sana menerapkan hukum-hukum Islam. Jika alur berpikirnya semacam itu, maka pada akhirnya hampir seluruh hukum Islam dikatakan tidak relevan lagi dengan kondisi zaman ini. Sungguh ini merupakan sebuah kemungkaran yang nyata. Bukan lagi keimanan yang berbicara, namun hawa nafsu telah memperdaya.
Sebuah kaidah syara' telah menetapkan bahwa hukum tidak berubah dengan berubahnya waktu dan tempat. Hal ini sudah cukup membantah ide ngawur rekontekstualisasi fikih. Bagi orang-orang yang beriman, maka cukuplah pendapat syar'i dari para ulama salaf menjadi pegangan untuk menyikapi berbagai macam upaya dari musuh Islam menjauhkan umatnya dari sumber hukum Islam yang orisinil, yakni Alquran dan hadits.
Jihad dan Khilafah yang merupakan bagian dari syariat-Nya yang agung saja berani mereka kriminalisasi, bahkan Khilafah dikatakan sumber bencana, nauzubillahi min dzalika.
Padahal dalil tentang wajibnya Khilafah telah bertebaran di kitab-kitab klasik para ulama. Imam an-Nawawi dalam kitab sharah shahih muslim menuliskan tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَوُجُوْبُهُ بِالشَّرْعِ لاَبِالْعَقْلِ
“Mereka (para sahabat) sepakat bahwa wajib kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajibanya itu dinyatakan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.“
Hal ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara Khilafah yang akan dipimpin oleh sang Khalifah.
Penerapan Syariat, Kunci Kebangkitan Umat
Jika umat Islam dijauhkan dari syariat, maka jelas mereka akan mengalami kemunduran. Seperti fakta yang terjadi saat ini. Betapa aturan dari Barat yang dianggap lebih modern ternyata justru menambah petaka kehidupan manusia, hampir dalam segala sisi kehidupan. Kita bisa mengaca dari para pendahulu, dengan diterapkan hukum Islam, maka kesejahteraan dan keberkahan senantiasa melingkupi kehidupan umat Islam. Hingga Barat pun terkagum dengan kemajuan peradabannya.
Karena itulah Barat tidak ingin Islam bangkit kembali menjadi negara super power sebagaimana masa kejayaannya. Berbagai upaya dilakukan agar umat ini semakin jauh dari penerapan Islam. Mereka memanfaatkan corong dari kalangan muslim sendiri untuk menggaungkan penerapan fikih ala kapitalis. Yakni penafsiran hukum Islam yang tunduk pada kepentingan mereka demi melanggengkan imperialismenya di dunia Islam.
Walhasil, seluruh komponen umat Islam harus mewaspadai dan menolak gagasan rekontekstualisasi fikih. Sebab fikih tidak butuh rekontekstualisasi, tapi harus direalisasi. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Tags
Opini