Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengaku geram dengan pemerkosaan yang dilakuan oleh seorang guru di Bandung bernama Herry Wirawan terhadap belasan orang santrinya. Dari kejadian bejat yang berlangsung sejak 2016 itu, telah lahir 9 anak dan dua orang santri lainnya tengah mengandung.
Sahroni pun mendesak agar pelaku harus dihukum seberat-beratnya dan para korban diberikan konseling yang tentunya sangat dibutuhkan "Ini kejahatan luar biasa yang tidak masuk di akal sehat kita. Pelaku biadab ini harus dihukum seberat-beratnya atas apa yang dia lakukan. Di sisi lain, saya ingin menyoroti tentang pentingnya layanan konseling bagi para korban, mengingat para korban masih di bawah umur. Mereka pasti mengalami trauma yang luar biasa," ujar Sahroni kepada wartawan, Jumat (10/12/2021).
https://nasional.sindonews.com/read/624137/13/guru-perkosa-belasan-santri-di-bandung-dpr-tekankan-pentingnya-konseling-untuk-korban-1639105949
Akhir-akhir ini, kita semua dikejutkan dengan adanya kasus asusila oleh seorang guru yang juga pengurus Pesantren di Kota Bandung. Ia tega memerkosa 12 anak didiknya yang berusia 13—16 tahun hingga mengandung dan melahirkan. Bahkan, korban ada yang melahirkan hingga dua kali. (kompas.com, 8/12/2021).
Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), pada 1 Januari hingga 9 Desember 2021, terdapat 7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 73,7% merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ada 10.832 kasus kekerasan terhadap anak yang didominasi oleh kasus kekerasan seksual, yaitu sebanyak 59,7%.
Direktur LBH APIK Jakarta Siti Mazuma mengungkapkan, berdasarkan catatan akhir tahun (Catahu) LBH Apik Jakarta, sepanjang 2021 terdapat 1.321 aduan kasus yang masuk. Ini meningkat drastis daripada 2020 (1.178 kasus).
“Dari total pengaduan yang masuk, kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan, yakni 489 kasus. Disusul kasus kekerasan dalam rumah tangga 374 kasus, tindak pidana umum 81 kasus, kekerasan dalam pacaran 73 kasus, dan kekerasan seksual dewasa 66 kasus,” ungkap Zuma. (kompas.com, 11/12/2021).
Negeri ini memang sudah sangat darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak. Wajar saja jika banyak pihak berusaha menyelesaikan permasalahan ini secara cepat. Beberapa pihak mengusulkan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku, termasuk kebiri agar sipelaku jera. Sedangkan yang lain berusaha keras mendorong pengesahan segera Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TP-KS).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga meminta semua pihak mendukung dan mengawal pengesahan RUU TP-KS. Menurutnya, upaya KPPPA terkait kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tidak akan mencapai hasil optimal tanpa adanya payung hukum.
Bintang berharap semua pihak bersinergi dan semangat mewujudkan perlindungan menyeluruh dan sistematik, serta menciptakan lingkungan aman bagi perempuan dan anak Indonesia. (kompas.com, 11/12/2021).
Saat ini, makin banyak pihak mengupayakan agar RUU TP-KS segera sah menjadi UU agar kekerasan terhadap perempuan segera berakhir. Mereka berpendapat maraknya kekerasan di negeri ini terjadi karena adanya diskriminasi terhadap perempuan.
Padahal, realitasnya, kekerasan tidak hanya menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki. Pandangan bahwa kekerasan terkait gender adalah pandangan yang sangat salah dan keliru. Terlebih lagi, pembuat aturan ini adalah manusia yang notabene memiliki kelemahan dan keterbatasan. Walhasil, alih-alih bisa menyelesaikan masalah, justru akan memunculkan permasalahan baru.
Kita akan buktikan dengan mencermati makna kekerasan seksual yang terdapat dalam Bab I dan Pasal 1 RUU TP-KS ini: Setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.
Dari definisi di atas, sesungguhnya kita bisa menyimpulkan bahwa yang akan terkena hukum adalah jika mengandung ancaman atau paksaan. Artinya, jika dilakukan atas suka sama suka tanpa paksaan atau ancaman, tidak akan terjaring kasus ini. Akibatnya, tidak dapat mempersoalkan hubungan seks di luar pernikahan dan justru melegitimasi pihak mana pun yang ingin melakukan seks di luar pernikahan dengan persetujuan. Ini sama saja melegitimasi perzinaan yang secara tidak langsung membuka gerbang pergaulan bebas semakin lebar.
Pasal 8 ayat (2) menyebutkan, "Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan." Berdasarkan pasal ini, seorang istri bisa sesuka hati memilih melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk berhubungan suami istri, dapat terkategori pemerkosaan. Berdasarkan pasal ini pula, istri bisa memidanakan suaminya. Padahal, Islam mengajarkan pada kita, jika seorang istri menolak ajakan suaminya ke tempat tidur, malaikat akan melaknatnya sampai pagi (subuh).
Bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika RUU ini disahkan? Akan banyak terjadi penyimpangan terhadap hukum syara. Pernikahan bukan lagi kehidupan yang menenteramkan bagi pasangan suami istri, tetapi akan menumbuhsuburkan perselisihan.
Tampak jelas RUU TP-KS tidak akan menyolusi masalah kekerasan seksual terhadap perempuan, melainkan malah memunculkan berbagai permasalahan baru. Sangat nyata bahwa RUU TP-KS bukan solusi bagi permasalahan kekerasan terhadap perempuan.
Oleh karena itu, berharap menyelesaikan masalah kekerasan ini dengan RUU TP-KS hanyalah harapan palsu. Hanya saja, tidak berarti kita lantas berdiam diri. Kita harus berupaya keras menghilangkan keburukan yang menimpa umat. Yang harus kita lakukan adalah terlebih dahulu mencari akar masalahnya agar kemudian dapat menyelesaikannya dengan tuntas.
Jika kita mau mencermati, maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan sesungguhnya karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik dalam negara, masyarakat, maupun keluarga. Hal ini karena minimnya pemahaman tentang kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga, serta tidak berlakunya aturan Islam di tengah-tengah umat.
Ini semua karena umat Islam sedang berada dalam cengkeraman sistem sekuler kapitalisme yang mengakibatkan kaum muslimin kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya.
Selanjutnya, posisi Islam yang seharusnya menjadi acuan atau landasan berpikir dan bertingkah laku, tergantikan oleh pemikiran sekuler kapitalistik yang selalu mengandalkan hawa nafsu. Oleh sebab itu, tidak aneh jika yang kini mendominasi umat adalah corak kehidupan sekuler kapitalistik. Corak kehidupan ini membuat kaum muslimin tidak mampu menyelesaikan tuntas segala permasalahan di tengah-tengah mereka.
Kalau saja kaum muslimin mau menengok dan memahami Islam, sebenarnya Islam telah memberikan jawaban tuntas terhadap permasalahan apa pun, termasuk permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Kita tinggal mengikuti segala yang telah diwahyukan Allah sebagai pencipta sekaligus pengatur serta menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai teladan dalam kehidupan.
Berbeda dengan sistem kapitalisme sekuler, Islam memiliki aturan baku yang sangat terperinci dan sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan. Sistem Islam memiliki aturan yang lahir dari Yang Maha Mengetahui makhluk ciptaan-Nya sehingga seluruh persoalan makhluk-Nya—dalam kondisi apa pun—dapat terselesaikan dengan memuaskan tanpa merugikan pihak mana pun.
Ini karena aturan Islam sesuai fitrah manusia dan memuaskan akal sehingga akan menenteramkan jiwa. Dapat dipastikan, dengan menerapkan aturan-aturan Allah, manusia akan mendapatkan kebahagiaan dan terhindar dari berbagai malapetaka.
Sistem Islam adalah sistem kehidupan yang unik. Dalam Islam, Negara bertanggung jawab menerapkan aturan Islam secara utuh untuk mengatur seluruh urusan umat. Umat akan mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan merata. Ini semua hanya bisa terlaksana jika aturan Islam diterapkan secara keseluruhan dalam sebuah institusi Negara, yaitu Daulah Khilafah Islamiah yang menjadikan akidah dan syariat Islam sebagai landasannya.
Selain itu, Negara akan mencegah masuknya segala komoditas yang berpotensi melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslimin.
Dengan menerapkan tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara, umat manusia akan tercegah dari perbuatan maksiat, termasuk pelecehan dan kekerasan seksual.
Islam telah menetapkan bahwa "terjaganya kehormatan perempuan" bukan hanya tanggung jawab keluarganya. Masyarakat dan negara pun memiliki andil besar. Oleh karenanya, upaya mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan niscaya jika ketiga pilar tersebut ditegakan.
Pilar pertama, ketakwaan individu dan keluarga. Bekal ketakwaan akan mendorong seseorang untuk senantiasa terikat aturan Islam secara keseluruhan. Demikian pula keluarga, wajib menerapkan aturan di dalamnya, seperti memisahkan tempat tidur anak sejak usia tujuh tahun, membiasakan menutup aurat dan tidak mengumbar aurat, tidak berkhalwat, dan sebagainya. Aturan ini akan membentengi individu umat dari bermaksiat. Berbekal ketakwaan pula, seseorang akan tercegah dari bermaksiat.
Pilar kedua, kontrol masyarakat. Ini akan menguatkan yang telah diupayakan individu dan keluarga. Kontrol ini sangat diperlukan untuk mencegah menjamurnya berbagai rangsangan di lingkungan masyarakat. Jika masyarakat senantiasa beramar makruf nahi mungkar, tidak memfasilitasi dan menjauhi sikap permisif atas semua bentuk kemungkaran, tindakan asusila, pornoaksi, dan pornografi; niscaya rangsangan dapat diminimalisasi.
Pilar ketiga, peran negara. Islam mewajibkan negara menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai kemungkinan berbuat dosa. Negara menjaga agama dan moral, serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya, seperti pornoaksi atau pornografi, minuman keras, narkoba, dan sebagainya.
Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi perempuan dan mengatasi persoalan kekerasan terhadap perempuan ini secara sempurna. Rasulullah saw. bersabda terkait tanggung jawab pemimpin negara, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Dalam hadis lainnya, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Di samping itu, Negara adalah pelaksana utama penerapan syariat Islam. Oleh karenaya, negara berwenang memberikan sanksi tegas bagi pelaku tindak kejahatan seksual.
Negara akan menerapkan aturan sosial yang bersih sekaligus menginternalisasi pemahaman melalui aktivitas dakwah dan pendidikan sehingga setiap anggota masyarakat memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki.
Pada akhirnya, secara otomatis semua ini akan menghindarkan rakyatnya melakukan berbagai tindakan kemaksiatan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan.
Sangat nyata, maraknya kekerasan di negeri ini tidak akan bisa terselesaikan dengan pengesahan RUU TP-KS. Selain aturan ini lahir dari buah pikir manusia yang lemah dan terbatas, aturan ini lahir dari sistem sekuler kapitalistik yang tidak memiliki standar baku. Jika kita berharap masalah kekerasan terhadap perempuan ini selesai dengan RUU TP-KS, ini merupakan harapan semu.
Dengan demikian, sudah seharusnya kita sebagai muslim menyandarkan penyelesaian yang menimpa kita seluruhnya kepada aturan Islam semata, aturan yang datang dari Al-Khalik Al-Mudabbir, termasuk soal kekerasan terhadap perempuan.
Syariat Islam akan melindungi perempuan, bahkan siapa pun dari segala bentuk kekerasan. Dengan tiga pilar penegakan hukum Islam tersebut, aturan Islam dapat terwujud secara nyata dan sempurna.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini