RUU TPKS Bukan Solusi Kekerasan Seksual



Oleh: Hamnah B. Lin

         Dilansir dari laman Hidayatullah.com tanggal 10 Desember 2021 yang berisi, pada 9 Desember 2021, dikabarkan bahwa sebagian besar fraksi di DPR sudah menyetujui draft RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) untuk disahkan menjadi Undang-undang. Namun, banyak Organisasi Islam masih meminta DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut,sebab, masih ada beberapa hal yang kontroversial. 
         Sebagaimana kita ketahui, Majelis Ormas Islam (MOI) juga sudah secara resmi mendatangi DPR dan menyampaikan aspirasi tentang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Sebab, Permendikbud itu masih menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender. Dalam paradigma itu, yang dipersoalkan dalam kasus seksual hanyalah yang dilakukan dengan tanpa persetujuan para pelakunya. Jika dilakukan suka sama suka, maka tidak perlu dipersoalkan.
         Belum tuntas masalah Permendikbud 30 tahun 2021, kini DPR melangkah lebih jauh lagi untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR. Ternyata, RUU ini juga muatan paradigma sexual consent.
         Karena itulah, setelah mengkaji RUU TPKS, maka Majelis Ormas Islam (MOI) yang terdiri dari 13 ormas Islam menyatakan sikapnya, yang intinya meminta agar dalam penyusunan suatu UU, jangan sampai meninggalkan panduan ajaran agama. Apalagi ini menyangkut masalah moralitas seksualitas yang dalam pandangan agama dikatakan sebagai hal yang sakral.
         MOI yakin bahwa RUU yang tidak memandang zina sebagai satu tindak kriminal (pidana) pasti bertentangan dengan ajaran agama. Padahal, dalam pembukaan UUD 1945, ditegaskan, bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga dalam pasal 31 (3) disebutkan bahwa: pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.
         Sebagai perwujudannya, maka ajaran dan nilai-nilai agama seharusnya menjadi rujukan utama dalam penyusunan Undang-undang.
          Masih dari sumber yang sama, menurut Prof. Notonagoro, pakar hukum dan filsafat Pancasila dari UGM, menulis dalam bukunya, Pancasila, Secara Ilmiah Populer (Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971): “Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ke-Tuhanan atau keagamaan bagi sikap dan perbuatan anti ke-Tuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan agama.” (hlm. 73).
         Sungguh luar biasa mengherankan dan memprihatinkan. DPR yang notabene adalah wakil rakyat tapi nyatanya juga tak mampu menampung suara rakyat secara keseluruhan. Karena memang fungsi DPR sendiri sebagai pembuat hukum sudah salah sejak lahirnya. Dimana hukum yang dibuat bukan berdasar pada Al-quran dan Assunnah, melainkan dari akal dan kepentingan mereka dan orang-orang kapital disekitar mereka. Maka wajar jika Undang-Undang yang mereka lahirkan sungguh tidak adil dan banyak mendzalimi rakyat. Karena semua bukan berdasarkan syariat Islam.
          Mengenai RUU TPKS, para pegiat kesetaraan gender memanfaatkan Hari Antikekerasan terhadap Perempuan Internasional ( 25 november ) tahun ini untuk mendorong pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Bagi mereka, memiliki payung hukum untuk menjamin HAM bagi perempuan adalah solusi mengatasi kekerasan terhadap perempuan (KtP).
         Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, kasus KtP di Indonesia pada 2020 mencapai 299.911. Bahkan, selama 12 tahun terakhir, KtP meningkat 8 kali lipat (tribunnews, 26/11/2021). 
         Berdasarkan Data WHO pada 2018, 1 dari 3 perempuan berusia 15 tahun ke atas di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim, bukan pasangan, atau keduanya, setidaknya sekali dalam seumur hidup mereka.
         Atas dasar inilah para pegiat kesetaraan gender terus mengampanyekan kesetaraan sebagai solusi KtP. Menurut mereka, ketakadilan gender adalah penyebab utama terjadinya KtP. Perempuan kerap terposisikan sebagai kaum lemah yang tidak berhak melawan.
          Padahal, persoalan perempuan—terutama KtP yang terus terjadi—telah nyata hadir bersama arus kebebasan. Freedom of behavior yang menjadi landasan ide kesetaraan terbukti cacat dan tidak pernah bisa memberikan solusi. Mengapa demikian? Bagaimana pandangan Islam terkait hal tersebut?
         Kampanye 16 hari Antikekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender-Based Violence) sudah berlangsung sejak 1991. Lembaga pertama yang mengagasnya adalah Women’s Global Leadership Institute, serta Center for Women’s Global Leadership sebagai sponsornya.
         Di Indonesia, komnas Perempuan sudah terlibat sejak 2001 dalam kampanye tersebut. Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari 25 November (Hari Antikekerasan terhadap Perempuan) hingga 10 Desember (Hari HAM Internasional). Rentang waktu tersebut terpilih dalam rangka menghubungkan secara simbolis antara KtP dan HAM, serta menekankan bahwa KtP merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. 
         Namun faktanya, justru semakin tertancapnya HAM di dunia, KtP makin menggila. HAM yang Barat gaung-gaungkan nyatanya malah menjadi petaka besar bagi perempuan. Alhasil, kampanye antikekerasan yang mereka usung, lagi-lagi gagal dan menjadi kampanye kosong yang nihil solusi untuk bisa menghapus permasalahan perempuan.
         Mengapa HAM malah memicu KtP? Karena pertama, landasan ide HAM sendiri adalah sekularisme yang menyingkirkan agama dari kehidupan. Atas nama HAM, perempuan bisa berbuat sesuka hati. Perempuan bebas mengumbar auratnya dan bebas bertingkah laku tanpa batas. Bukankah tindakan seperti ini kontraproduktif dengan usaha penghapusan KtP? Bagaimanapun, pakaian minim dan tingkah laku serba bebas merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya kriminalitas. Pemicu adanya pelecehan terhadap perempuan itu sendiri.
         Dengan dalih HAM pula, para istri akan bebas menentukan hidupnya sendiri. Mau mendidik anaknya atau tidak, mau bekerja, bebas keluar rumah tanpa minta izin suami. Mau menyusui anaknya atau tidak. Memilih taat kepada suaminya yang taat atau tidak. Atas dasar HAM, anak-anak tidak boleh diajarkan atau dididik untuk berkerudung, bisa memilih untuk taat kepada oraangtuanya atau tidak.
         Kemudian, bangunan rumah tangga yang terkoyak pun dapat memicu terjadinya KDRT. Anak-anak jadi tidak betah di rumah, lalu mereka pergi berkeliaran di luar pengawasan orang tuanya. Bukankah ini pula penyebab maraknya kekerasan pada anak, termasuk perempuan? 
         Oleh karena itu, menghapus KtP bukanlah dengan memperjuangkan HAM yang justru menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Seharusnya, umat membuang konsep HAM yang lahir dari Barat ini dan memperjuangkan syariat Islam. Hal ini karena hanya syariat Islam yang mampu menghapus kekerasan, termasuk terhadap perempuan.
         Persoalan kekerasan seksual tidak akan bisa selesai selama sistem yang menguasainya adalah sistem batil. Materi dan hawa nafsu menjadi tolak ukur dalam melakukan aktivitas. Sekularisme dengan pemahaman-pemahaman turunannya seperti liberalisme dan feminisme tidak akan mengantarkan kehidupan manusia kepada keberkahan. Manusia dibuat menjadi lupa dengan identitasnnya sebagai seorang hamba, semakin jauh dari Sang Pencipta dan tidak mempedulikan aturan-aturan dari Sang Pencipta.      
         Islam memiliki aturan yang sempurna dalam menyelesaikan problematika umat. Salah satunya kasus kejahatan seksual. Kejahatan seksual dalam Islam bukan hanya kekerasan seksual yang didefinisikan pada sistem saat ini saja, tapi termasuk kegiatan seksual yang menyimpang atau menyalahi syari’at termasuk bagian dari kejahatan seksual. Salah satu faktor utama terjadinya kejahatan seksual adalah faktor dari luar yang mempengaruhi naluri seksual setiap manusia (gharizah an-nau’). 
         Dari hal inilah Islam mengatur perihal interaksi antara laki-laki dan perempuan. Konten-konten yang berbau sensual, pornoggrafi, atau mengumbar aurat akan menjadi perhatian bagi pemerintahan Islam. Selain itu Islam juga memiliki kontrol sosial di tengah-tengah masyarakat, kesadaran akan ber-amar ma’ruf nahi munkar sudah tertanam pada setiap individu. Karena ketaatannya kepada syari’at dan bagian dari konsekuensi keimanan. Sehingga fenomena saling mengingatkan antar individu adalah hal yang biasa dilakukan.
         Pelaku kejahatan seksual juga akan mendapatkan sanksi yang tidak main-main. Beratnya sanksi ini akan membuat individu lainnya berpikir dua kali jika mau melakukan kejahatan seksual. 
         Sanksi dalam Islam memiliki dua tujuan, yaitu jawabir (penghapus dosa) dan zawajir (memberikan efek jera) bagi pelaku. Aturan Islam ini jelas pernah terlaksana dan berhasil diterapkan sejak zaman Rasulullah sampai runtuhnya kekhilafahan terakhir yaitu Turki Utsmani. 
         Maka hanya Islam sajalah solusi atas permasalahan kekerasan seksual, melalui tegaknya Khilafah Islamiyah kembali ditegakkan. Karena aturan Islam mengantarkan kembali manusia kepada fitrahnya sesuai bagaimana konsep penciptaan-Nya. Dengan aturan seperti inilah semua lapisan masyarakat termasuk perempuan dan anak di dalamnya akan mendapatkan perlindungan. 
Wallahu a'lam bishawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak