Oleh Imas Sukirno
Pada 1 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, dalam konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Presiden Jokowi mengklaim dalam pidatonya bahwa Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan krisis iklim, dari keberhasilan menekan kebakaran hutan hingga turunnya deforestasi. Deforestasi turun menjadi 115 ribu hektar pada 2020.
Di sisi lain, Husin Shahab selaku Ketua Cyber Indonesia melakukan pelaporan terhadap Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dan Kiki Taufik ke Polda Metro Jaya atas kritikannya terhadap pidato Presiden Jokowi mengenai deforestasi tersebut (Selasa, 9/11/21).
Husin melaporkan Leonard Simanjuntak dan Kiki Taufik atas dugaan penyebaran berita bohong sebagaimana pasal 14 & 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atas dugaan ujaran kebencian atas nama antar golongan (SARA) sesuai dengan pasal 28 (2) UU ITE Nomor 11 Tahun 2008. Laporan tersebut tertuang dalam nomor LP/B/5623/XI/2021/SPKT/Polda Metro Jaya. Ada beberapa poin –poin yang dikritisi oleh greenpeace dalam pidato presiden tersebut. Beberapa diantaranya, greenpeace memberikan fakta bahwa laju deforestasi di Indonesia justru meningkat.
Penelitian Greenpeace Indonesia terbaru mengungkapkan bahwa hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di 7 propinsi prioritas restorasi gambut, berada pada level kritis yang disebabkan penggunaan lahan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit skala besar. Hal ini disebabkan lahan gambut yang dieksploitasi oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan gambut.
Pemerintah seharusnya mengevaluasi kebijakan sebelumnya dengan bertindak tegas mencabut izin usaha yang anti rugi pemulihan lingkungan. Laju investasi yang lebih diutamakan pemerintah menyebabkan masifnya pembangunan kawasan industri di kawasan pesisir yang akan mengorbankan dan merusak ekosistem mangrove yang setengahnya sudah dalam kondisi rusak. Serta akan menghambat laju pertumbuhan mangrove yang sedang dalam rehabilitasi.
Tanggapan-tangggapan tersebut merupakan hasil analisa Greenpeace Indonesia. Namun dianggap menyesatkan oleh Husin, karena data yang disampaikan tidak sesuai fakta. Sementara itu Grreenomics Indonesia mengungkapkan hal yang sebaliknya. Bahwa data tentang penurunan deforestasi didapatkan melalui data satelit dan hasil verifikator internasional. Data tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk melihat acuan penurunan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Perbedaan Pandangan Dianggap Serang Pemerintah
Pelaporan yang dilakukan terhadap sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini patut dipertanyakan. Kritikan yang semestinya ditanggapi oleh pemerintah sebagai bahan evaluasi ini justru malah dianggap sebagai serangan terhadap Pemerintah. Mengeluarkan pendapat bukanlah tindakan krimial. Namun pada faktanya banyak sekali pasal-pasal karet yang dipergunakan untuk menjerat pihak masyarakat.
Semisal yang dilakukan oleh Lembaga Greenpeace Indonesia atas tanggapannya terhadap pidato presiden Jokowi tersebut. Hal semacam ini seharusnya tidak mengandung sanksi untuk dipidana. Tak senada dengan permintaan Presiden Jokowi kepada masyarakat agar aktif dalam menyampaikan kritik pada pemerintah. Tak sedikit mayarakat yang menyampaikan kritik justru berujung masuk bui.
Banyak sekali produk Undang-Undang yang mengarah kepada nuansa antikritik. Produk-produk hukum kemudian dijadikan pemerintah sebagai senjata untuk menjerat masyarakat yang kritis terhadap pemerintah. Bahkan banyak diantaranya yang ditangkap, dibubarkan badan hukumnya, dan dipenjarakan tanpa melalui prosedur hukum.
Tidak aneh jika kejadian tersebut dianggap kontras dan hanya bermuka dua. Pandangan-pandangan yang berbeda ini dianggap Pemerintah sebagai penyakit yang benar-benar harus dihilangkan. Terlihat sangat jelas oleh respon Pemerintah ketika menghadapi pandangan yang tidak sejalan. Hal ini menjadi dilema yang dialami oleh masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Apalagi momen-momen seperti ini sudah terekam jejaknya selama ini.
Hal yang semacam ini merupakan dampak dari sistem demokrasi yang memunculkan tirani mayoritas dan minoritas. Karena dalam sistem demokrasi kapitalis kekuasaan dijadikan sebagai alat untuk kepentingan individu atau kelompok saja. Demokrasi yang notabene memberikan kebebasan berpendapat justru dalam penerapannya membungkam masyarakat dalam berpendapat.
Dibalik Otak Atik Data dan Klaim Keberhasilan
Berbagai usaha yang dilakukan pemerintah ini hanyalah untuk mencetak citra positif terhadap keberhasilan kinerja Pemerintahan semata. Sederetan angka dalam data-data yang disampaikan oleh Pemerintah senantiasa dilakukan untuk mengklaim keberhasilan kinerja mereka. Masyarakat pun tahu fakta yang sebenarnya dilapangan. Kenyataan yang ada tidak bisa membohongi publik. Padahal, penebangan secara masif masih terus dilakukan.
Ditambah lagi industri-industri perkebunan yang semakin membludak masih terus terjadi. Seperti halnya yang diungkapkan dalam pernyataan greenpeace tersebut diatas.
Hasil kebijakan-kebijakan Pemerintah yang justru menguntungkan dan mendukung para pengusaha industri maupun perkebunan tersebut tidak akan luput dari deforestasi itu sendiri. Hutan-hutan akan terus digunduli demi tercapainya proyek-proyek para elit tersebut.
Ditambah lagi definisi dari deforestasi dari tiap-tiap lembaga yang berbeda, mengakibatkan angka deforestasi selalu tidak sama. Masihkah rakyat percaya? Walaupun Pemerintah telah memberikan data-data yang diotak atik sedemikian rupa. Inilah akibat dari sistem demokrasi, yang mana kebijakan yang diambil hanya untuk memaksimalkan produksi dan memperkaya para elit semata, bukan untuk meriayah rakyatnya.
Dengan azas sekulernya, tidak ada hak Allah dalam mengatur kehidupan di masyarakat. Akhirnya kebijakan yang diambil sebatas untuk kepentingan yang berdasarkan pada hawa nafsu semata. Mereka rela melakukan berbagai cara untuk mencapai kepentingan tersebut. Termasuk manipulasi data yang ada. Agar mendapat kesan yang baik dimata masyarakat.
Kebijakan Islam Memberikan Solusi Nyata Bagi Perbaikan Ummat
Berbeda halnya dengan Islam, fungsi dari sistem pemerintahan Islam adalah meriayah (mengurusi) umat (rakyat). Bukan hanya mencari citra positif semata. Segala kebijakan yang diambil akan ditimbang berdasarkan hukum syara’. Para pejabat yang bertugas akan melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Karena yang diharapkan hanya ridha Allah semata. Sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil benar-benar untuk kemaslahatan ummat.
Dan hal inilah yang dibutuhkan oleh ummat yang sebenarnya. Islam yang rahmatan lil ‘alamin sangat memperhatikan penyelamatan dan pemeliharaan lingkungan serta melarang untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Penekanan larangan merusak dan mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan pemeliharaannya juga dinyatakan dalam Alquran Surat Ar-Rum (30): 41-42 berikut ini:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum 41-42)
Maka akibat dari sistem kufur ini, senantiasa mendorong manusia untuk bersikap serakah. Yang menyebabkan kerusakan dalam setiap aspek kehidupan. Salah satunya adalah lingkungan. Sebaliknya, dalam islam, fokusnya adalah bagaimana pendistribusian kekayaan, bukan hanya produksi. Memastikan setiap orang (bukan hanya segelintir orang) tercukupi kebutuhan primernya. Allah menegaskan dalam firmanNya.
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُم
“… agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu… “ (QS. Al Hasyr 7)
فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ
“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj 7)
Tags
Opini