Oleh: Tri S, S.Si
Kata moderasi, tentulah bukan hal baru yang terdengar ditelinga. Terlebih, sudah semakin banyak program, kegiatan, maupun informasi yang sejalan dengan moderasi beragama. Di Indonesia, moderasi beragama tampaknya semakin gencar dikampanyekan. Beberapa waktu lalu misalnya, Kementrian Agama melaksanakan kegiatan pengkaderan pemuda Indonesia duta moderasi beragama. Dilansir dari www.kemenag.go.id. Pengkaderan ini dikemas dalam kegiatan bertajuk Pelatihan Mentoring Motivator Muda Moderasi Beragama yang berlangsung di Yogyakarta, 6-9 Oktober 2021. Giat ini diikuti 50 siswa Madrasah Aliyah (MA) atau setingkat SMA, negeri maupun swasta, dari 34 provinsi. Mereka adalah peserta yang terpilih dari 751 peserta seleksi tahap pertama, dan 100 peserta seleksi tahap berikutnya.
Selain itu, pada September 2021 dikutip dari www.republika.id, Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mengungkapkan pada malam peluncuran Aksi Moderasi Beragama yang diselenggarakan Kementerian Agama (Kemenag) secara daring dan luring. Anggaran moderasi beragama lintas direktorat jenderal tahun ini mencapai Rp 3,2 triliun. Menurut dia, sebelumnya anggaran moderasi beragama lintas direktorat jenderal itu hanya Rp 400 miliar. “Tahun ini baru saya ketuk (sahkan) dengan Pak Menteri (Agama) itu sebesar Rp 3,2 triliun,".
Melihat fakta di atas, tentu membuat kita bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menjadi alasan moderasi beragama begitu diarus deraskan di tengah-tengah masyarakat? mengingat di negeri ini mayoritas Muslim. Jika sebelumnya radikalisme, kini berganti casing menjadi moderasi beragama. Tampaknya perang pemikiran terus dibentuk di masyarakat. Mengajak untuk moderasi beragama dengan dalih menjaga kesatuan dan rasa toleransi. Sebagai bentuk keseriusannya, pada 22 September lalu, bersama dengan Mendikbudristek dan Ketua Komisi VIII DPR RI, Menteri Agama telah merilis modul Moderasi Beragama. Modul ini berisi sembilan nilai moderasi beragama yang selanjutnya akan dijadikan pedoman bagi guru mata pelajaran PAI. Adapun sembilan nilai moderasi beragama yang dimaksud adalah tawassuth (ditengah-tengah), i’tidal (tegak lurus), tasamuh (toleran), syura (musyawarah), ishlah (perbaikan), qudwah (kepeloporan) muwathanah (cinta tanah air), la’unf (anti kekerasan), i’tiraf (ramah budaya).
Yang menjadi fokus utama dari program ini adalah ajaran Islam. Tujuan utamanya pun umat Islam. Ajaran Islam yang sudah paripurna kembali diotak-atik agar sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Tampaknya kampanye moderasi beragama adalah usaha agar Islam tidak tampil sebagai kekuatan nyata dalam memberikan solusi bagi semua permasalahan umat. Justru sebaliknya menganggap bahwa ajaran Islam adalah sumber dari segala konflik yang ada. Seribu cara dilakukan untuk menghalangi kebangkitan Islam. Menyadari bahwa perang fisik bukan lagi cara ampuh, maka perang pemikiran menjadi jawabannya. Umat muslim terus disuguhkan dengan pemikiran-pemikiran yang berujung pada Islamophobia. Moderasi beragama bak senjata baru yang bertopengkan toleransi. Menganggungkan moderasi beragama sebagai program ampuh menjaga kesatuan. Padahal di situlah ditabur dan ditanamkan nilai-nilai toleransi berbasis sekulerisme, pluralisme atas nama moderasi. Moderasi beragama tentu tak lepas dari peran asing. Demi menjaga eksistensi mereka, tentulah berbagai cara harus dilakukan.
Sebagai umat Islam sudah seharusnya kita harus menyikapi ini dengan serius, moderasi beragama tidak bisa dianggap biasa. Narasi ini menyasar hal-hal yang sangat prinsip dalam Islam, selain itu juga terdapat sisi politis untuk melanggengkan hegemoni asing dan menyingkirkan Islam. Ajaran Islam yang paripurna tidak perlu lagi diubah. Dengan demikian Moderasi Beragama bukan jawaban dari masalah yang ada hari ini. Justru akan menimbulkan masalah baru. Umat muslim harus sadar bahwa kemuliaan sejati dan solusi tuntas ada pada Islam. Maka sudah saatnya kita kembali kepada Islam yang sebenarnya, menerapkannya dalam kehidupan dalam naungan Daulah Islam.