Oleh : Amallia Fitriani
Kabar PNS atau ASN akan digantikan robot sebenarnya telah mencuat pada 2019, yaitu ketika Presiden Jokowi menyampaikan robot lebih cepat bekerja dibandingkan ASN eselon III dan IV. (Republik.co.id, 0112/2021). Sejak pernyataan itu, wacana digitalisasi manusia terus bergulir hingga kini.
Dilansir dari Finance.detik.com, Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Satya Pratama mengatakan bahwa PNS akan digantikan robot, agar jumlah PNS tidak lagi gemuk dengan mengurangi secara bertahap, sehingga kedepannya pemerintah dengan teknologi digital bisa meningkatkan pelayanan kepada publik (28/11/2021).
Pemerintah menganggap beban negara amat besar karena harus mengeluarkan dana ratusan triliun setiap tahunnya untuk membayar PNS. Nominal belanja negara mencapai 15%. Berdasarkan APBN 2022, belanja pegawai tahun depan bisa mencapai Rp400 triliun, meliputi pembayaran gaji dan tunjangan, serta pemenuhan kebutuhan utama birokrasi. (CNBC Indonesia, 29/11/2021).
Oleh sebab itu, beban jumlah PNS yang “gemuk” menjadi alasan pemerintah untuk “merampingkannya”. Pemerintah mengklaim, menggantikan PNS dengan robot merupakan solusi untuk memperbaiki perekonomian nasional. Tidak heran, upaya efisiensi atas belanja pegawai pun terus pemerintah lakukan.
Langkah ini justru bukan menjadi solusi memperbaiki perekonomian nasiaonal justru akan menambah beban baru bagi negara pasalnya dengan langkah ini akan membuat resah, cemas dan keputusasaan terutama bagi kaum pria atau bapak-bapak sebagai kepala rumah tangga, yang tentunya akan kehilangan pekerjaannya sebagai sumber nafkah bagi keluarganya dan sudah pasti angka pengangguran akan semakin bertambah.
Kebijakan ini makin menunjukkan kepada publik bahwa negeri ini miskin solusi. Restrukturisasi pada tubuh PNS hanya akan menambah masalah baru karena pemerintah terlihat mengambil kebijakan yang bersandar pada tren global dan ingin dinilai modern.
Ilusi Kemajuan Bangsa
Tidak salah memang, jika ingin menjadi negara yang maju dengan teknologinya. Namun, kemajuan bangsa semestinya tidak hanya diukur dengan sekedar pencapaian fisik dan kemajuan teknologi yang digunakan. Seharusnya kemajuan teknologi tersebut digunakan sebagi alat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya serta meninggikan peradaban.
Pertanyaannya akankah persoalan kesejahteraan rakyat terjawab dengan memangkas jumlah pekerja dan menggantikannya dengan mesin atau robot?
Sistem demokrasi kapitalistik makin memperlihatkan kemajuan bangsa yang hanya sekedar ilusi semata. Kemajuan teknologi dan kehadiran berbagai produk digitalisasi malah membawa masalah baru di tengah rakyat. Pada satu sisi berupaya setara dengan negara maju yang andal dalam menggunakan teknologi, pada sisi lain malah mengabaikan kebutuhan rakyat akan lapangan pekerjaan. Bukankah majunya suatu bangsa terlihat dari meningkatnya kualitas kehidupan, baik dari sisi perlindungan, kesejahteraan, maupun kecerdasan?
Oleh sebab itu, sudah seharusnya parameter tersebut tidak bersandar pada tren global, melainkan pada terjaminnya pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat. Inilah pentingnya memahami dengan benar tujuan bernegara. Negara akan berupaya meningkatkan teknologi dengan tidak merugikan rakyatnya sendiri. Hal ini karena sejatinya tujuan bernegara adalah menyejahterakan setiap individu masyarakat, termasuk menciptakan ketenangan dan kestabilan untuk meninggikan peradaban.
Inilah hasil dari realitas pemerintahan dengan sistem demokrasi kakapitalis. Pemerintahan dijalankan dengan orientasi materi atau keuntungan tetapi bukan untuk kesejahteraan rakyat akan tetapi keuntungan bagi para kapitalis.
Teknologi Dalam Islam
Islam bukan hanya sekedar agama, tapi Islam juga sebuah Ideologi. Datang dengan seperangkat peraturan yang komoerhensif dan sempurna, Islam tidak pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern. Namun, justru Islam sangat mendukung kemajuan umatnya untuk melakukan penelitian dan bereksperimen dalam bidang apapun termasuk dalam bidang teknologi selama tidak mengandung nilai-nilai tertentu yang bertentangan dengan Islam.
Sejarah mencatat, di era keemasan Islam, para cendekiawan Muslim telah mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersifat teknologi sebagai berikut: ilmu jenis-jenis bangunan, ilmu optik, ilmu pembakaran cermin, ilmu tentang pusat gravitasi, ilmu pengukuran dan pemetaan, ilmu tentang sungai dan kanal, ilmu jembatan, ilmu tentang mesin kerek, ilmu tentang mesin-mesin militer serta ilmu pencarian sumber air tersembunyi (Republika.co.id, 19/08/2019).
Kemajuan tersebut tetap menjadikan hukum Syara sebagai tolak ukur dalam pemanfaatan Iptek bagaimanapun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Bagi islam, teknologi merupakan bagian dari ayat-ayat allah yang perlu kita gali dan kita cari kebenarannya, seperti dalam ayat alquran dibawah ini:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-si. Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali-Imran: 190-191).
Dalam sistem Islam kaffah negara menjamin lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya, khususnya bagi setiap rakyat yang wajib bekerja dan menafkahi keluarganya (laki-laki). Setiap orang yang memiliki status kewarganegaraan di negara Islam (khilafah) dan memenuhi kualifikasi, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun non muslim boleh menjadi pegawai pemerintahan di departemen, jawatan atau unit-unit yang ada.
Jelas hanya di tangan Islam, kemajuan teknologi tercipta, bersamaan dengan lahirnya peradaban manusia yang gemilang. Bukan dengan menjadikan saingan antara manusia dengan teknologi sebagaimana sistem saat ini. Semua ini akan terwujud jika sistem Islam diterapkan, sebuah sistem sempurna yang berasal dari Allah Maha Pencipta
Wallahu a’lam bishawabh
Tags
Opini