Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan digantikan dengan robot kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Hal ini dilakukan dalam rangka percepatan reformasi birokrasi di era kemajuan teknologi yang sedang berlangsung saat ini.
"Jadi (PNS digantikan robot), ke depannya pemerintah akan menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan pelayanan kepada publik. Jumlah PNS tidak akan gemuk dan akan dikurangi secara bertahap," kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum Dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Satya Pratama kepada detikcom, Minggu (28/11/2021).
Dengan digantikan robot, maka jumlah PNS akan lebih dirampingkan. Jika dilihat dari buku statistik ASN per Juni 2021, jumlah pegawai abdi negara memang mengalami penurunan sejak tahun 2016 silam.
"Jumlah PNS berstatus aktif per 30 Juni 2021 adalah 4.081.824 atau mengalami penurunan 3,33 % dibandingkan dengan 31 Desember 2020. Jumlah PNS terus mengalami penurunan sejak tahun 2016," tulis buku tersebut.
Secara rinci, pada 2015 jumlah PNS tercatat sebanyak 4.593.604 orang. Kemudian turun menjadi 4.374.341 di 2016 dan turun lagi menjadi 4.289.396 di 2017.
Lalu di 2018 jumlah PNS kembali turun menjadi 4.185.503 orang dan naik tipis menjadi 4.189.121 di 2019. Meski begitu, di 2020 jumlah PNS aktif kembali turun jadi 4.168.118 orang.
Kemudian pada 2021 per Juni jumlahnya menjadi 4.081.824 orang yang terdiri dari PNS bekerja pada instansi pemerintah pusat sebanyak 949.050 (23%) dan PNS yang bekerja pada instansi pemerintah daerah berjumlah 3.132.774 (77%).
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5830844/pertanda-nyata-mau-diganti-robot-jumlah-pns-berkurang-terus-tiap-tahun.
Kabar PNS atau ASN akan digantikan robot sebenarnya telah mencuat pada 2019, yaitu ketika Presiden Jokowi menyampaikan robot lebih cepat bekerja dibandingkan ASN eselon III dan IV. Sejak pernyataan itu, wacana digitalisasi manusia terus bergulir hingga kini.
Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Zudan Arif Fakrulloh makin menguatkan wacana itu dengan menyatakan bahwa digitalisasi akan memacu semangat para ASN menjadi pegawai yang berkualitas. Apalagi, hal tersebut adalah bentuk investasi sekaligus efisiensi. Pejabat terkait menilai bahwa menggantikan manusia dengan mesin adalah suatu hal yang biasa karena mengikuti perkembangan zaman, seperti halnya mesin yang sudah menggantikan pegawai penjaga tol. Memungkinkan pula bagi CCTV untuk menggantikan peran petugas patroli dan pengawas jalan.
Ada anggapan bahwa menggantikan posisi PNS di beberapa pekerjaan repetitif—yang bersifat administratif dan rutinitas—terlebih merampingkan jumlah PNS merupakan efisiensi dan upaya menghemat anggaran negara untuk menggaji PNS. Namun, benarkah ?
Merampingkan jumlah PNS, akan pula mampu memperbaiki perekonomian nasional?
Pemerintah menganggap beban negara amat besar karena harus mengeluarkan dana ratusan triliun setiap tahunnya untuk membayar PNS.
Nominal belanja negara mencapai 15%. Berdasarkan APBN 2022, belanja pegawai tahun depan bisa mencapai Rp400 triliun, meliputi pembayaran gaji dan tunjangan, serta pemenuhan kebutuhan utama birokrasi. (CNBC Indonesia, 29/11/2021).
Tercatat bahwa nominal belanja pegawai setara dengan pembayaran utang beserta bunga yang harus pemerintah bayar. Oleh sebab itu, beban jumlah PNS yang “gemuk” menjadi alasan pemerintah untuk “merampingkannya”.
Pemerintah mengklaim, menggantikan PNS dengan robot merupakan solusi untuk memperbaiki perekonomian nasional. Tidak heran, upaya efisiensi atas belanja pegawai pun terus pemerintah lakukan. Nyatanya, membengkaknya belanja anggaran negara bukan hanya karena menggaji PNS, melainkan untuk membiayai infrastruktur. Belum lagi untuk membiayai gaya hidup anggota dewan.
Alasannya ingin mengikuti perkembangan zaman, faktanya malah menambah angka pengangguran. Sejak 2016, penurunan jumlah PNS terus bergulir hingga kini. Jumlah penurunan ini tentu memengaruhi ketersediaan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Per Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran sebanyak 9,1 juta orang. Kebijakan ini makin menunjukkan kepada publik bahwa negeri ini miskin solusi. Restrukturisasi pada tubuh PNS hanya akan menambah masalah baru karena pemerintah mengambil kebijakan yang bersandar pada tren global dan ingin dinilai modern.
Pemerintah sibuk mengikuti perkembangan zaman dan melakukan berbagai pencapaian fisik dan kemajuan teknologi. Namun, hal tersebut tidak memberi pengaruh besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Akankah persoalan kesejahteraan rakyat terjawab dengan memangkas jumlah pekerja dan menggantikannya dengan mesin atau robot?
Sistem demokrasi kapitalistik makin memperlihatkan kemajuan bangsa yang semu. Kemajuan teknologi dan kehadiran berbagai produk digitalisasi malah membawa masalah baru di tengah rakyat. Pada satu sisi berupaya setara dengan negara maju yang andal dalam menggunakan teknologi, pada sisi lain malah mengabaikan kebutuhan rakyat akan lapangan pekerjaan. Bukankah majunya suatu bangsa terlihat dari meningkatnya kualitas kehidupan, baik dari sisi perlindungan, kesejahteraan, maupun kecerdasan?
Oleh sebab itu, sudah seharusnya parameter tersebut tidak bersandar pada tren global, melainkan pada terjaminnya pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat. Inilah pentingnya memahami dengan benar tujuan bernegara. Negara akan berupaya meningkatkan teknologi dengan tidak merugikan rakyatnya sendiri. Hal ini karena sejatinya tujuan bernegara adalah menyejahterakan setiap individu masyarakat, termasuk menciptakan ketenangan dan kestabilan untuk meninggikan peradaban.
Kita harus memahami, ada parameter untuk mengukur suatu peradaban. Salah satunya, peradaban itu mampu memberikan keamanan dan keadilan; tercapainya kesejahteraan, baik sandang, pangan, papan, dan kesehatan; serta terpenuhinya aspek pendidikan. Dalam Islam, parameter ini meluas sesuai dengan maqashid syariah. Di antaranya adalah melindungi dan meningkatkan taraf hidup rakyat, serta memajukan sains teknologi melebihi capaian peradaban maju mana pun. Kemudian, mampu berkontribusi positif dan signifikan di kancah dunia.
Keunggulan peradaban Islam juga tidak terbantahkan. Peradaban Islam terbukti mampu bertahan terhadap dinamika zaman selama 1.300 tahun lamanya, tidak berusia pendek atau di bawah kendali negara lain. Hal itu dapat tercapai karena sistem pemerintahan dan sistem ekonomi Islam tidak sekadar akomodatif (menoleransi kemajuan), tetapi bersifat promotif (mendorong kemajuan).
Di samping itu, ekonomi tidak dikuasai oleh para kapitalis yang cenderung mendorong penemuan bernilai komersial semata. Seluruh penemuan dalam Islam dipandang datang dari Allah Swt. dan manusia menggunakannya untuk mendekat kepada-Nya. Artinya, teknologi bukan memperburuk dan memunculkan masalah baru, melainkan untuk memudahkan kehidupan rakyat.
Oleh karenanya, jika umat merindukan adanya peradaban yang tinggi, maju, dan menyejahterakan rakyat, pilihan itu bukan pada demokrasi kapitalistik, melainkan hanya ada dalam Islam, yaitu saat sistem Islam tegak dengan keridaan umat dan pembelaan ahlul quwwah. Saat itulah seluruh hukum Islam dapat terterapkan secara kaffah.
Umat akan kembali merasakan harmoni kemajuan peradaban Islam. Digitalisasi benar-benar akan mampu mendorong kesejahteraan, bukan sebaliknya, menjadi alasan untuk mengurangi pekerja sehingga menambah jumlah pengangguran. Ingatlah, wahai para pemimpin yang saat ini mengemban amanah mengurusi urusan umat, Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, siapa yang mengurusi satu perkara umatku, lalu ia menyulitkan umat, persulitlah ia; dan siapa yang mengurusi perkara umatku, lalu ia memudahkannya, permudahlah ia.” (HR Muslim).
Sudah seharusnya, hadist ini menjadi jalan kesadaran akan pentingnya seorang pemimpin memerintah (mengurus) umat dengan aturan Islam.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini