Permendag Peloggaran Masuknya Miras, Megancam Generasi

Oleh: Hamsia (komunitas peduli mayarakat)

Untuk meningkatkan perekonomian bangsa yang semakin terpuruk selama masa pandemi Covid-19, pemerintah baru-baru ini membuat kebijakan yang sangat meresahkan berbagai kalangan masyarakat. Kebijakan ini berkaitan dengan ijin masuknya bagi wisatawan asing yag akan berkunjung ke Indonesia. Dengan membolehkan setiap wisatawan asing membawa minol (minuman beralkohol) yang semula diperbolehkan di bawah 1000 ml (Permendag pasal 27 tahun 2014).

Untuk menarik minat wiasatawan asing yang akan berkunjung ke Indonesia, pemerintah kembali merevisi Permendag perubahan pada pasal 27 tahun 2014 menjadi Permendag No. 20 tahun 2021 tentang pelonggaran masuknya miras yang dibawa turis (wisatawan) bahwa minol bawaan asing boleh 2500 ml.

Permendag No. 20 yang direvisi pemerintah tentang aturan pelonggaran bawaan miras bagi turis asing, ini mendapat kritikan keras dari MUI. Melalui Cholil Nafis MUI berpendapat perubahan pada pasal 27 Permendag 2014 menjadi Permendag No. 20 tahun 2021 ini tentu sangat merugikan anak bangsa dan juga pendapatan negara. lebih lanjut beliau menyatakan pelonggaran peredaran minol (minuman beralkohol) tidak hanya berdampak pada kerugian pendapatan negara.

Dengan adanya pelonggaran keluar masuk bawaan miras turis asing ke Indonesia, ini jelas sangat merusak perilaku anak bangsa. Karena dengan semakin banyaknya jumlah beredarnya miras yang dibawawisatwan asing ke Indonesia dan semakin seringnya berinteraksi dengan anak bangsa ini tentunya sangat berbahaya. Beliau berharap pemerintah memikirkan kepentingan wisatawan asing agar datang ke Indonesia (m.kumparan.com, 06/11/2021).
 

Akar Masalah

Sejatinya, pelegalan miras merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem yang berasaskan sekuler ini telah nyata memalinkan aturan Tuhan dalam mengatur manusia. Sehingga halal-haram tidak lagi menjadi rambu-rambu dalam melakukan perbuatan. Selain itu, kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai asasnya. Sehingga, wajar kebebasan dalam sistem ini sangat dijunjung tinggi. 

Tak heran pula konsep ekonomi di dalam sistem ini pun adalah sistem ekonomi liberalis. Sistem ekonomi yang memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada individu/para pemilik modal untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mempertimbangkan kerugian orang lain, atau pun halal-haram.

Kebijakan pemerintah saat ini senantiasa cenderung berpihak pada asing termasuk pada wisatawan mancanegara atau wisman. Kebijakan ini bukan lahir begitu saja, melainkan ada sebuah paradigma yang mendasari kebijakan tersebut. Paradigma ini adalah sekularisme kapitalis, sebuah paham transnasional Barat yang mengajarkan kepada manusia yang memisahkan agama dari kehidupan.

Sehingga, miras dalam pandangan ekonomi kapitalis adalah suatu barang yang memiliki nilai guna. Sebab masih ada orang yang menggunakannya. Atas dasar inilah, kapitalisme tidak segan-segan untuk mengahalalkan segala cara agar bisa memproduksi miras untuk memenuhi permintaan konsumen.  

Di sisi lain, sistem ini manusia bisa membuat aturan sendiri, tidak peduli halal-haram dan bebas berbuat apapun demi memuaskan hasratnya, terutama keuntungan ekonomi. Maka dari paradigma inilah lahir kebijakan seperti Permendag RI No. 20 tahun 2021. Sehingga fakta yang dihadapi adalah miras tetap diizinkan beredar meski dengan embel-embel dibatasi dan diawasi. 

Maka tak heran, jika persoalan miras memang sulit untuk dihilangkan dalam sistem yang tidak melarang adanya produksi minuman yang merusak tersebut. Sebab miras mempunyai payung hukum, sebagaimana pada Perpres Nomor 74 tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol.

Islam solusinya

Oleh karena itu, selama sistem sekuler diadopsi dan diterapkan sementara syariat Islam dicampakkan masyarakat akan terus terancam dengan miras dan mudaratnya. Sehingga penolakan yang dilakukan tidak boleh dicukupkan pada pelonggaran kuantitas miras tapi harus juga menolak masuknya miras berapapun jumlahnya dan juga harus menentang produksi-distribusi miras dengan apapun karena bertentangan syariat. 

Dan lebih dari itu, kaum muslimin harus merobohkan paradigma sekuler kapitalis yang saat ini dijadikan sebagai sistem kehidupan dan asas kebijakan penguasa kemudian menggatikannya dengan paradigma shahih yaitu Islam sebagai asas bernegara, bermasyarakat, maupun individu dalam naungan sistem khilafah. 

Pasalnya, hanya dengan Islam beserta institusi negaranya yang disebut khilafah inilah hukum syariat akan diterapkan secara kaffah tidak diotak atik bahkan diabaikan keberadaannya. 

Dalam Islam, khamr jelas keharamannya dalam surah al-Maidah [5]: 90. Syaikh Ali ash-Shabuni dalam Tafsir Ayat al-Ahkan min al-Quran mengatakan “Tak pernah disebutkan sebab keharaman sesuatu melainkan dengan singkat. Namun, pengharaman khamr disebut secara terang-terangan dan rinci. 

Allah swt menyebut khamr dan judi bisa memunculkan permusuhan dan kebencian di antara orang beriman, memalinkan mukmin dari mengingat Allah, melalikan salat. Allah juga menyifati khamr dan judi dengan rijs[un]/kotor, perbuatan setan dan sebagainya. 

Semua ini mengisyaratkan dampak buruk miras. Miras tidak hanya merusak pribadi peminumnya, miras juga berpotensi menciptakan kerusakan bagi orang lain. Mereka yang tertutup akalnya oleh miras, berpotensi melakukan beragam kejahatan, bermusuhan dengan saudaranya, mencuri, merampok, membunuh, memperkosa, dan kejahatan lainnya. 

Pantas jika Nabi saw menyebut khamr sebagai ummul khabaits (iduk dari segala kejahatan) “Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, sudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabarani). 

Islam juga melarang total semua hal yang terkait dengan khamr mulai dari pabrik dan produsen miras, distributor, penjual, hingga konsumen. Rasulullah saw bersebda “Rasulullah saw telah melaknat terkait khamr sepuluh golongan: pemerasnya; yang minta diperaskan; peminumnya; pengantarnya; yang minta diantarkan khamr; penuangnya; penjualnya; yang menikmati harganya; pembelinya; dan yang minta dibelikan.” (HR at-Tirmidzi). 

Islam menetapkan sanksi hukuman bagi orang yang meminum miras berupa cambukan 40 kali atau 80 kali. Ali bi Abi Thalib ra, menuturkan “Rasulullah saw mencambuk (peminum khamr) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR Muslim)

Untuk pihak selain peminum khamr sanksinya berupa sanksi tazir. Bentuk dan kadar sanksi diserahkan pada Khalifah atau qadi sesuai ketentuan syariat. Sanksi itu harus memberikan efek jera produsen dan pengedar khamr akan dijatuhi sanksi yang lebih keras dari peminum khamr. Pasalnya, mereka menimbulkan bahaya lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat. 

Inilah ketentuan syariat Islam yang akan diterapkan khilafah. Khilafah tidak akan mengambil kebijakan mengahalalkan susuatu yang jelas diharamkan Allah sekalipun itu mendatangkan manfaat materil. Khilafah memberi sanksi pada siapapun yang melanggar. Sistem sanksi yang tegas inilah berfungsi sebagai zawajir yakni mencegah orang lain berbuat pelanggaran serupa. Dan jawabir yakni penebus dosa manusia di akhirat kelak. 

Namun, fugsi ini hanya akan terwujud jika khilafahlah yang melakukannya. Selain itu, khilafah tidak akan mengemis-ngemis wisatawan mancanegara (wisman) untuk mendapatkan defisa negara. khilafah memiliki mekanisme sistem ekonomi, yang berbasis Baitul Mal sebagai sumber keuangan negara. inilah sistem yang akan menjaga kaum muslimin dari khamr secara total dan seharusnya diperjuangkan. Wallahu alam bisshawwab    













Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak