Oleh: Sri Widiastuti
(Muslimah Karawang)
Kesehatan hingga saat ini adalah hal yang penting dalam kehidupan masyarakat. Ketika sedang sakit diharapkan bisa mendapatkan fasilitas yang memadai dan maksimal tanpa ada persyaratan yang membuat masyarakat risau.
Namun tidak dengan kondisi saat ini, pelayanan kesehatan yang didapat masyarakat masih tidak sesuai yang diharapkan. Karena saat ini masyarakat diwajibkan ikut program kesehatan pemerintah yaitu BPJS, dengan berbagai aturan dan persyaratan. Masyarakat pun diwajibkan membayar iuran tersebut sesuai kelas layanan yang diinginkan.
Masyarakat akan dilayani sesuai kapasitas kemampuannya.
Dalam wacana terbaru ini BPJS akan menghapuskan pelayanan kelas Rawat Inap(KRI). Tidak akan ada lagi kelas 1,2,3 untuk peserta. Nantinya akan dilebur menjadi satu yaitu kelas standar.
Muttaqien selaku Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menuturkan adanya rencana pembentukan satu kelas rawat inap tersebut untuk menerapkan prinsip ekuitas sesuai dengan amanah Undang-undang, mereka pun masih merumuskan nya.
Kelas rawat inap yang disampaikan oleh DJSN yaitu kelas rawat inap PBI yang isinya maksimum 6 tempat tidur dan kelas rawat inap non-PBI yang isinya maksimum 4 tempat tidur (merdeka.com, 8/12/2021).
Dengan adanya perubahan aturan tersebut tentu akan membuat masyarakat semakin sulit mendapatkan fasilitas layanan kesehatan yang memadai. Pasalnya masyarakat akan dikenakan iuran yang lebih tinggi dari tarif biasanya. Jauh dari kata gratis dalam pelayanan kesehatan saat ini.
Ini bisa memunculkan ladang bisnis baru di masyarakat untuk membuka lembaga asuransi yang berbasis pada kesehatan. Banyaknya masyarakat yang ingin mendapat fasilitas optimal ketika berobat. Ini pun hanya untuk masyarakat yang berduit. Masyarakat biasa tentu akan berobat dengan fasilitas seadanya.
Sejatinya, permasalahan terkait BPJS sangat banyak. Mulai dari premi bulanan yang setiap tahun naik, ada aturan-aturan baru yang diterapkan bagi masyarakat, khusus nya yang ikut menjadi anggota BPJS. Kemudian, banyak pelayanan yang justru menuai kritik.
Dalam program ini sejatinya negara ingin melepaskan tanggung jawabnya, dalam pelayanan umum berupa kesehatan. Faktanya, masyarakat tidak mendapat fasilitas kesehatan secara cuma-cuma. Jika pun demikian, hanya untuk pengobatan-pengobatan penyakit standar, bukan penyakit kronis.
Kondisi itu tentu berbeda, dimana ketika hukum Islam diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Ketika islam kaffah tegak sempurna dalam sebuah institusi, masyarakat tidak kesulitan untuk mendapatkan fasilitas layanan kesehatan secara gratis dan maksimal.
Negara akan memberi pelayanan yang optimal kepada masyarakat tanpa melihat suku dan kelas dalam kehidupan.
Secara historis, hal ini telah dibuktikan. Ketika islam ada dan berkuasa selama 13 abad. Tak ada pelayanan kesehatan yang dibebankan pada masyarakat.
Negara pun membangun rumah sakit di
setiap kota serta membangun rumah sakit keliling beserta dengan segala fasilitas yang dibutuhkan. Negara juga berperan mencetak para tenaga medis profesional dan mumpuni. Selain itu, layanan kesehatan dibantu oleh banyak tenaga ahli serta ditunjang dengan laboratorium yang memadai.
Biaya-biaya pun ditanggung sepenuhnya oleh negara. Tentu tanpa membebani masyarakat sedikit pun. Biaya tersebut berasal dari kas negara (kas negara) dan hasil pengelolaan SDA dalam negeri.
Jikapun ada masyarakat yang kelebihan harta ingin membantu, maka masuk pada pendanaan wakaf.
Sudah pasti kesehatan dan kesejahteraan masyarakat terjamin. Maka solusi dari semua masalah saat ini hanya kembali pada Syariat Islam yang ditegakkan di tengah-tengah masyarakat oleh institusi negara.
Wallahu a'lam bishowab
Tags
Opini