Penulis :Siti Fatimah
(Pemerhati Sosial dan Generasi)
Sungguh tragis nasib seorang mahasiswi NW yang menenggak racun di samping makam ayahandanya sehingga ia harus kehilangan nyawa. Peristiwa ini membuat masyarakat menaruh iba serta simpati terhadap kisah hidup gadis asal Mojokerto ini. Usut punya usut keputusan untuk mengakhiri hidup ternyata akibat depresi yang berkepanjangan. Kekasih yang merupakan anggota keposilian tega menghamili dan memaksanya untuk melakukan aborsi hingga dua kali. Merasa tertekan dan hancur masa depannya, ia memutuskan untuk melakukan bunuh diri.
Dilansir dari news.detik.com , Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) menyebutkan bahwa peristiwa yang menimpa NW termasuk dalam tindakan kekerasan dalam berpacaran. Kekerasan ini telah melanggar HAM karena dapat menimbulkan penderitaan baik secara fisik, psikis maupun seksual.
Sanksi pidana bagi pelaku aborsi diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi : "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," papar Bintang Puspayoga (news.detik.com, 05/12/2021)
Tak hanya NW yang mengalami nasib tragis. Masih banyak kasus-kasus lain yang tak kalah mirisnya. Kasus wanita hamil berinisial N yang dimutilasi di daerahTangerang diduga akibat hamil di luar nikah. Kekasihnya dengan tega memotong-motong tubuh berbadan dua tersebut karena tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya menghamili N.
Pun begitu dengan hubungan asmara SAN, gadis berusia 23 yang memiliki pacar ADS yang masih berumur 18 tahun. Hubungan mereka tidak direstui kedua orang tua dengan alasan usia yang terpaut jauh. SAN terlanjur hamil. ADS yang merasa tertekan karena sering disuruh untuk mengambil barang, akhirnya membunuh SAN yang tengah hamil 8 bulan.
Melihat kenyataan yang begitu mirisnya akibat pergaulan bebas dalam sistem sekuler ini seharusnya negara hadir untuk mengatasinya. Membuka call center dan anjuran bagi para korban untuk segera melapor bukanlah sebuah solusi, apa lagi hukum di negeri ini seakan bisa dibeli.
Dengan menetapkan hukuman bagi tersangka tidaklah cukup, negara seharusnya memperbaiki tata pergaulan dan menghapus nilai-nilai liberal. Kebebasan dalam bertingkah laku justru akan menghasilkan malapetaka. Kasus-kasus pembunuhan ataupun bunuh diri akibat pergaulan bebas jangan dijadikan alasan untuk mendukung Permen dan RUU PKS yang justru hanya akan memicu kian bertambahnya korban kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kekerasan dalam berpacaran atau dating violence merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh peraturan semacam Permendikbud No.30 tahun 2021 yang seakan melegalkan perzinahan dalam kampus. Walhasil tak sedikit mahasiswi yang disinyalir melakukan aborsi akibat legalitas tersebut. Bahkan banyak terjadi kasus pembunuhan ataupun bunuh diri karena menghindar dari tanggung jawab.
Dalam pandangan Islam tidak ada istilah kekerasan dalam berpacaran karena sesungguhnya berpacaran merupakan jalan menuju kemaksiatan. Islam dengan tegas melarang aktivitas tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
(QS. Al-Isra' 17: Ayat 32)
Islam sangat memuliakan perempuan. Kehormatan perempuan wajib dijaga salah satunya dengan melarang aktivitas pacaran. Selain itu perempuan wajib menutup aurat untuk melindungi dirinya dari pandangan laki-laki non mahram juga untuk menjaga pandangan kaum laki-laki dari godaan syahwat.
Selain itu perempuan dalam Islam senantiasa mendapatkan nafkah dari suami bila ia telah menikah dan dari orang tuanya bila ia masih lajang. Janda mendapatkan nafkah dari orang tua ataupun saudara/kerabat laki-laki sehingga seorang perempuan tidak diharuskan untuk bekerja menjadi tulang punggung keluarga.
Dengan demikian tak ada alasan baginya untuk mencari nafkah di luar rumah apa lagi dengan pekerjaannya tersebut berpotensi besar melanggar hukum syara'. Perempuan tidak dilarang untuk bekerja. Namun, harus memperhatikan syarat-syarat tertentu dan tidak boleh mengabaikan tugas utama sebagai seorang ibu bila ia sudah menikah dan harus mendapatkan persetujuan/izin dari suaminya.
Sungguh berat bagi mereka yang telah melanggar hukum syariat islam. Perzinahan akan dihukum dera dan pengasingan bagi mereka yang masih lajang dan hukuman dera serta rajam bagi mereka yang telah menikah. Sementara pembunuhan hukumnya qisas, membayar diyat 100 ekor unta diantaranya 40 ekor betina yang sedang bunting apabila keluarga korban memaafkan. Jera ? Sudah pasti. Justru hal inilah yang menjadikan orang untuk berfikir seribu kali sebelum melakukan perbuatan yang melanggar hukum syariat.
Perlu diketahui bahwa aturan-aturan tersebut sesungguhnya merupakan suatu bentuk penjagaan kehormatan terhadap kaum perempuan. Salah besar bila kaum liberal menyatakan bahwa aturan Islam mengekang kebebasan. Justru dengan kebebasan yang mereka agungkan itu akan mendatangkan malapetaka. Kehormatan perempuan tercoreng bahkan ternodai karena kebebasan pergaulan yang mereka gaungkan.
Solusi atas masalah dating violance ataupun kekerasan lain terhadap perempuan adalah penerapan aturan Islam secara kaffah melalui institusi negara Khilafah. Hanya negara yang mampu mengeluarkan regulasi terhadap sistem pergaulan sosial yang sehat di masyarakat. Dan hanya Islam yang mampu memberikan penjagaannya yang kompleks terhadap kaum perempuan. Justru kaum sekuler liberal yang hanya menjanjikan kesetaraan dan kehormatan semu. Mereka membungkus racun, melapisinya dengan madu dan gula. Manis sesaat, deritanya membawa petaka.
Wallahu a'lam bish showab.[]