Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Organisasi buruh di Sumatera Utara (Sumut) mengungkapkan kecewaannya atas keputusan kenaikan UMP Sumut 2022 yang baru saja disahkan oleh Gubernur Edy Rahmayadi. Pasalnya, kenaikan UMP 2022 yang disahkan tersebut diduga tak lebih tinggi dari tarif parkir sepeda motor.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Provinsi Sumatera Utara, Willy Agus Utomo menyampaikan bahwa UMP yang diteken oleh Gubsu Edy sangatlah menyedihkan.
Sebab menurut Willy, kenaikan UMP Sumut untuk tahun 2022, jika dihitung hanya naik Rp 23 ribu atau tak lebih dari satu persen.
“Kalau hanya naiknya segitu, kenaikan tersebut lebih murah dari biaya parkir sepeda motor. Kita lihat UMP tahun 2021 hanya sebesar Rp 2.499.423 artinya kenaikan yang tidak sampai satu persen itu perhari kurang dari Rp2000, bahkan jika dihitung dengan UMK,” ujar Willy, mengutip pemberitaan Era.id, Sabtu 20 November 2021.
https://makassar.terkini.id/protes-ump-naik-tak-sampai-1-persen-buruh-sindir-gubernur-edy-rahmayadi-lebih-mahal-bayar-parkir-motor/.
Gelombang penolakan terkait penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 terus disuarakan kalangan pekerja dan buruh di berbagai wilayah. Buruh di beberapa wilayah cukup gencar menyuarakan protes terhadap rencana penetapan UMP tahun depan itu disusul rencana mogok nasional yang akan digelar 6-8 Desember 2021 mendatang.
Pekerja menuntut kenaikan UM tahun 2022 sebesar 7-10% sementara pemerintah menetapkan sebesar 1% dengan alasan pemulihan ekonomi belum maksimal.
Kenaikan ini tidak sebanding dengan angka inflasi yang lebih besar prosentasenya, mekanisme upah minimum ini jelas tidak akan mampu menyejahterakan.
Sementara di tempat lain, suara buruh pun ikut bergemuruh, diantaranya terjadi hari Senin, 29 November 2021 di depan patung kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta (liputan6.com, 29/11/2021). Aksi massa ini tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) terkait UMP (Upah Minimum Propinsi) tahun 2022.
Kementerian Ketenagakerjaan mengungkapkan, penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) naik tipis hanya 1,09% ( kompas.com, 22/11/2021). Kebijakan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Harapannya untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja atau buruh agar upahnya tidak dibayar terlalu rendah karena posisi tawar buruh yang rendah di pasar kerja.
Sayangnya, dasar perhitungan pemerintah tidak sama, sehingga kenaikan upah minimum tahun depan ada di 1,09 persen. Yaitu PP 36/2021. Peraturan pemerintah ini merupakan produk turunan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Ketenagakerjaan yang mengatur pengupahan pekerja, menggantikan dasar hukum lama, yaitu PP Nomor 78 Tahun 2015 (voaindonnesia. com 16/11/2021).
Melihat kenyataan pahit ini kita bisa menarik kesimpulan kepada siapa penguasa berpihak. Inilah ciri khas yang tidak akan pernah berubah selama ideologi kapitalisme masih menjadi dasar dalam mengatur urusan penguasa dan rakyatnya.
Penguasa akan senantiasa mengutamakan pengusaha pemilik modal. Pengusaha diberi berbagai keringanan supaya kekayaan mereka semakin berlipat ganda. Sedangkan rakyat dibiarkan peras keringat, banting tulang tanpa jaminan kesejahteraan.
Bagaimana bisa sejahtera jika landasan yang digunakan untuk menghitung upah minimum adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seorang buruh lajang dapat hidup layak secara fisik selama satu bulan. Tentu hal ini berkaitan erat dengan harga barang dan jasa sebagai sarana memenuhi kebutuhan mereka.
Perubahan nasib pekerja hanya terwujud dengan politik ekonomi Islam, penerapan sistem ekonomi Islam dan penetapan upah bisa menguntungkan baik pekerja maupun pengusaha sesuai ketentuan Syariah.
Standar upah seorang pekerja menurut Islam ditakar berdasarkan jasa atau manfaat tenaganya, bukan diukur sesuai seberapa besar tenaga yang dicurahkan.
Syech Taqiyyuddin An-Nabhani mengatakan dalam kitab al-Syakhsiyah al-Islamiyah, Vol 2, bahwa sesungguhnya asas dari penetapan upah adalah manfaat yang diberikan baik oleh barang, pekerjaan atau orang tersebut. Upah itu bagi suatu pekerjaan bukanlah nilai maupun harga dari sesuatu tersebut. Sedang bagi pekerja, upah tersebut bukanlah produk yang dihasilkannya sebagaimana ia bukanlah pemenuhan kebutuhan pokoknya. Tidak ada peran sama sekali bagi naik turunnya tingkat kebutuhan hidup bagi penetapan upah.
Artinya menentukan gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga yang yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.
Pakar ekonomi syariah Dwi Condri, Ph.D. menjelaskan definisi ketenagakerjaan dalam fikih adalah ijaratul ajir atau ijarah. Definisi syar’I ijarah menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani pada pernyataan si atas adalah akad atas suatu manfaat dengan imbalan atau upah. Dengan demikian, yang menjadi fokus dari ijarah adalah manfaat. Adanya manfaat seseorang berikan kepada orang lain itulah yang mengharuskan balasan yang berupa imbalan. Islam mengatur bahwa upah harus sepadan dengan manfaat yang pekerja berikan.
Selain itu, bukan hanya pekerja yang untung, para majikan pun akan mendulang manfaat dari produktifitas para pekerjanya karena upahnya sepadan dengan usaha yang ia lakukan. Oleh karenanya, sistem Islam terkait pengupahan akan melahirkan pekerja dengan etos kerja yang tinggi, di sisi lain majikan akan sangat memperhatikan hak pekerjanya.
Inilah sistem Islam yang begitu adil bagi seluruh manusia. Dengan sistem ini akan tercipta kesejahteraan diantara para pekerja. Islam dengan kebijakan yang sesuai fitrah manusia tak akan memberikan peluang satu pihak dengan pihak yang lain untuk mendhalimi, apalagi kedzaliman yang tersistem. Pada akhirnya, sistem ekonomi Islam akan mampu menyejahterakan semua warganya khususnya para pekerja ataupun pengusaha.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini