Moderasi Tasawuf dan Internalisasi Kearifan Lokal



Penulis : Iyas dan Meri


Dalam buku Akhlak Tasawuf  karya Abuddin Nata dijelaskan, makna tasawuf secara kata saja memiliki banyak arti,  tasawuf pada intinya adalah upaya untuk melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia. Hal itu dilakukan agar tercermin akhlak yang mulia dan senantiasa pelakunya dekat dengan Allah SWT.  (republika.co.id/11/12/2021)

Saat ini muncul ide baru yaitu moderasi tasawuf atau tasawuf transformatif. Ide moderasi tasawuf muncul berawal dari arus radikalisme yang dianggap membahayakan bangsa dan kearifan lokal bangsa. Radikalisme yang dianggap membahayakan yakni memperjuangkan khilafah islamiyah, menilai segala sesuatu dari halal-haram, dalam berperilaku sering kali menyalah-nyalahkan, mengkafir-kafirkan bahkan membunuh yang lain dan tidak sesuai dengan ideologi pancasila serta kearifan lokal atau adat istiadat bangsa. 

Atas dasar ini, gagasan moderasi dianggap mampu untuk melakukan perubahan atau mencegah arus tersebut. Sikap mental yang adil dan moderat serta berimbang dianggap sebagai kunci untuk mengelola keragaman dalam membangun bangsa dan negara, dan bahwa setiap warga Indonesisa memiliki hak dan kewajiban untuk hidup tenteram. 

Moderasi tasawuf ini mulai diterapkan di beberapa Universitas di Indonesia, salah satunya adalah Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon yang telah membuka jurusan baru yakni Tasawuf dan Histografi. Pengambilan jurusan ini diharapkan mampu menelaah tasawuf, mengkaji sejarah Cirebon dan kekayaan lainnya. Dikarenakan banyak naskah yang menggunakan bahasa lain, maka untuk mengkajinya diharapkan akan ditambahkan mata kuliah bahasa asing, khususnya bahasa yang terkait naskah-naskah yang ada di cirebon contohnya bahasa arab, bahasa jawa dan bahasa Persia. (https://info.syekhnurjati.ac.id/12/12/2021)

Pada faktanya, radikalisme saat ini disematkan hanya untuk menyudutkan satu agama yaitu Islam, padahal terdapat berbagai agama yang dianut oleh bangsa ini, sementara terminologi radikalisme seolah menyasar kepada muslim semata. Tentu framing semacam ini tidak dapat dibenarkan. Sebab, penggambaran pelaku-pelaku radikalisme ini seperti mengarah kepada sosok muslim yang justru berusaha mempertimbangkan perbuatan baik benar hanya kepada pandangan Syariat Islam. 

Dalam hal ini pun, Islam sendiri telah menerangkan dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat ke-208 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” Perintah ini telah jelas, bahwa islam yang diambil oleh seorang muslim haruslah bersifat menyeluruh, bukan hanya setengah-setengah, apalagi memilah milih sesuai keinginan manusia.

Dengan demikian, moderasi tasawuf yang menilai radikalisme membahayakan bagi bangsa dan kearifan lokal ini, perlu meninjau kembali makna radikalisme yang dimaksud dan kepada siapa sebenarnya istilah ini digunakan dalam praktiknya. Apabila yang dimaksud adalah sosok muslim yang sedang berusaha menerapkan islam secara keseluruhan dalam hidupnya, tentu hal ini tidak dapat dikatakan membahayakan, baik bagi keberagaman bangsa maupun kearifan lokal. 

Dalam hal keberagaman, Allah SWT memberikan gambarannya dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 22 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Sehingga tidak benar adanya apabila terdapat tuduhan bahwa muslim yang hendak menerapkan islam secara keseluruhan ini bersikap intoleransi dan mengabaikan perbedaan.

Mengenai kearifan lokal, hal ini dapat dipandang sebagai adat/kebiasaan dimana Islam memperbolehkannya selama tidak terdapat aktivitas yang dilarang oleh Syariat Islam. Ibnu Taimiyyah pernah berkata “Adat adalah kebiasaan manusia dalam urusan dunia mereka yang mereka butuhkan. Hukum asal kebiasaan ini adalah tidak ada larangan kecuali jika Allah melarangnya.” (Majmu’atul Fatawa, 29: 16-17). 

Tentu sudah selayaknya bagi manusia menyerahkan segala aktivitasnya berdasarkan keputusan Allah SWT. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 48 yang artinya “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah.” Wallahu’alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak