Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat)
Di penghujung tahun 2021, narasi moderasi kian masif disuarakan. Berbagai cara telah dilakukan, seperti mengubah kurikulum rasa moderasi, membelokkan makna Khilafah dan Jihad serta upaya rekontekstualisasi fiqqih. Bahkan, menggaungkan toleransi tanpa batas.
Cara yang digunakan tak lagi sembunyi-sembunyi. Seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, Kemenag melalui surat edarannya menghimbau agar semua satuan kerja (satker) di Kanwil Kemenag memasang spanduk ucapan Natal dan tahun baru (Nataru) dan membantah aturan tersebut dicabut (republika.co.id 19/12). Mereka berdalih, Kementerian Agama adalah kementerian semua agama, bukan satu agama. Maka wajib mengayomi, melayani dan menjaga seluruh agama, termasuk merawat kerukunan umat beragama.
Toleransi salah satu isu yang terus digaungkan, khususnya di bulan Desember. Mengucapkan selamat, memfasilitasi dan ikut menghadiri perayaan selalu dikaitkan dengan sikap dan bukti toleransi. Kaum Muslim dikatakan toleransi jika mengikuti kegiatan tersebut.
Sangat disayangkan, beberapa tokoh mendukung toleransi yang salah kaprah ini. Mengutip dari fajar.co.id (17/12) bahwasanya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis mengatakan, boleh mengucapkan selamat Natal dalam konteks saling menghormati dan toleransi umat beragama.
Konsep toleransi dari tahun ke tahun semakin kebablasan. Banyak umat Muslim yang mengikuti semua aktivitas perayaan Natal. Tidak sekadar memberi ucapan selamat, tetapi juga menghadiri perayaannya dan memakai atribut Natal. Semua terjadi akibat sebagian tokoh yang membolehkan untuk ikut merayakan demi menjaga persaudaraan umat beragama.
Selain itu, dimunculkan ide pluralisme yang memandang semua agama sama. Bertujuan menghilangkan perbedaan dari aspek teologi. Semangat pluralisme juga terus dikobarkan untuk melenyapkan radikalisme agama versi Barat dan menanamkan nilai-nilai demokrasi. Nampak jelas, konsep toleransi yang diarahkan saat ini bukan berasal dari Islam. Sebab, bertentangan dengan syari'atnya.
Sementara, kaum Muslim yang menolak akan dikatakan "intoleransi". Sedangkan, istilah intoleransi merupakan upaya kaum liberal mendiskreditkan ajaran Islam. Sekaligus, tuduhan keji untuk kelompok atau umat Islam yang berusaha menerapkan Islam secara total.
Alhasil, racun pemikiran pluralisme membuat umat Muslim mengikuti arahan mereka. Ditambah stigma buruk intoleransi menjauhkan umat dari ajaran Islam sebenarnya. Maka tak heran, semakin biasa melihat pemandangan umat Muslim berbondong-bondong merayakan agama lain. Kebobrokan umat terjadi akibat sistem demokrasi yang melanggengkan paham liberalisme sekularisme.
Padahal, Islam sangat jelas memberikan batasan toleransi. Allah berfirman dalam surat Al-Kafirun, Lakum diinukum waliyadiin ‘untukmu agamamu dan untukku agamaku’. Menghormati agama bukan berati memoderasi agama atau menyamakan agama. Sebab, itu mengaburkan ajaran yang telah Allah tetapkan.
Dampaknya, umat Islam memahami ajaran agamanya setengah-setengah dan menerapkan sesuai keinginan mereka. Syari'at tidak dipahami secara utuh, umat akan menyesuaikan hukum dengan keadaan. Perilaku ini akan melahirkan budaya permisif -serba membolehkan, yang menuhankan ide kebebasan sekuler. Inilah strategi Barat, berupaya menyusupkan pemikiran moderat pada kaum Muslim untuk menjauhkan identitasnya. Barat juga menghembuskan isu-isu radikal, fundamental, ekstrimisme untuk memecah belah kaum Muslim.
Dalam sistem kapitalisme, negara tidak mampu melindungi umat dari paham sekuler. Bahkan, negara menjadi fasilitator kaum liberal untuk menyebarkan pemikiran sesat mereka. Kebijakan atau upaya yang mereka lakukan hanya melaksanakan program yang telah ditentukan Barat. Seperti SKB 3 Menteri terkait cabut aturan pakaian agama atau surat edaran pemasangan spanduk Nataru. Kebijakan ini menegaskan bahwa nilai-nilai moderasi diterapkan di setiap aspek.
Stigma buruk terorisme dan radikal menambah ketakutan umat terhadap hukum-hukum Islam. Wajar jika umat semakin jauh dari nilai-nilai Islam bahkan membenci syari'atnya.
Nampak jelas, sumber masalah berasal dari sistem kapitalisme yang menumbuh suburkan ide moderat. Merusak akidah umat dan melanggengkan kekufuran. Menghalangi umat untuk menerapkan Islam secara menyeluruh.
Oleh karena itu, umat harus kembali pada Islam. Mencegah logika sesat atau fitnah yang dilontarkan kaum liberal. Menerapkan Islam baik secara pemikiran dan aturan dalam seluruh aspek kehidupan bagi individu, masyarakat bahkan negara.
Sangat penting bagi masyarakat mengkaji Islam secara sempurna. Hanya mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam dan menerapkan syari'atnya tanpa tebang pilih. Menghidupkan kembali peran negara sebagai pelindung umat, mencegah pemikiran sesat beredar di tengah masyarakat. Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin memiliki konsep khas terhadap pemikiran dan nilai-nilainya merujuk pada sumber shahih yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Jauh sebelum tuduhan keji dilontarkan oleh Barat, Islam adalah agama paling toleran. Menghargai perbedaan suku, agama maupun ras. Islam juga menghormati teologi yang berbeda tanpa mencampuradukkan ajarannya. Negara menjamin hak setiap warga negara dalam menjalankan ibadahnya sesuai yang dianut.
Sejarah peradaban Islam mencatat keharmonisan hidup antar umat beragama terjalin dengan baik. Seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold, pernah menuliskan hubungan yang harmonis antara kaum Muslim, Yahudi di Spanyol dan Palestina yang menikmati keadilan dan hidup berdampingan secara damai di Andalusia. Ini menjelaskan umat Islam bukan umat yang anti-toleran seperti tuduhan Barat.
Waallahu a'lam bis shawwab.
Tags
Opini