Moderasi Bertopeng Toleransi



(Oleh : Rantika Nur Asyifa)

Staf Khusus Menteri Agama (Stafsus Menag) Bidang Toleransi, Terorisme, Radikalisme, dan Pesantren Nuruzzaman membantah kabar Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Selatan (Kanwil Kemenag Sulsel) telah mencabut edaran tentang pemasangan spanduk ucapan Natal dan Tahun Baru.

"Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Selatan tidak pernah mencabut surat edaran pemasangan spanduk ucapan Natal dan tahun baru," ujar Nuruzzaman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (18/12).

Pasalnya, Kemenag adalah instansi vertikal dan juga menjadi representasi dari negara. "Kementerian Agama adalah kementerian semua agama, bukan hanya kementerian satu agama. Kementerian Agama berkewajiban mengayomi, melayani, dan menjaga seluruh agama, termasuk merawat kerukunan umat beragama," ucap Nuruzzaman.

Ketua GP Ansor itu memastikan negara, dalam hal ini Kemenag, termasuk Kanwil Kemenag Sulsel, berkewajiban melayani semua agama. Sebelumnya, beredar imbauan agar semua satuan kerja (satker) di Kanwil Kemenag Sulsel untuk memasang ucapan selamat Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.

"Dalam rangka menyambut Hari Raya Natal tahun 2021 dan Tahun Baru 2022, dengan ini diimbau kepada Saudara untuk memasang spanduk ucapan Selamat Natal tahun 2021 dan Tahun Baru 2022 pada satker masing-masing," kata surat edaran yang diteken Kepala Kanwil Kemenag Sulsel, Khaeroni, (Republika.co.id, 18/12/2021).

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis menyebut mengucapkan selamat Natal itu boleh. Namun hal tersebut hanya dalam konteks saling menghormati dan toleransi antar umat beragama. Pendapat tersebut ia sampaikan di laman twitter pribadinya, Jumat (17/12/2021).

“Mengucapkan selamat Natal itu boleh dalam kontek saling menghormati dan toleransi,” ucapnya.

Mantan Ketua Ikatan Pelajar NU Jepara itu kemudian mengaitkan perbedaan keduanya dalam konteks ucapan Natal. Menurutnya, tidak ada korelasi antara orang yang mengucapkan Natal disebut moderat sedangkan yang tidak mengucapkannya disebut radikal.

“Dalam kaitannya dengan ucapan Natal, itu dikembalikan kepada pribadi masing-masing mengingat hal itu tidak boleh dipaksakan, dalam hal mengucapkannya atau tidak mengucapkannya. Dengan demikian, tidak ada kaitannya jika mengucapkannya disebut moderat sementara jika tidak mengucapkannya disebut radikal atau intoleran,” jelasnya, (Fajar.co.id, 19/12/2021).

Edaran spanduk ucapan natal bagi semua jajaran kemenag sulsel menuai protes masyarakat namun dianggap harus tetap dilanjutkan untuk menegaskan sikap pemerintah terhadap isu ucapan natal. Bahkan MUI dan parpol Islam pun nampak mendukung kebijakan ini dengan menyatakan tidak ada larangan tegas dari syariat utk mengucapkan selamat.

Ini menegaskan makin masifnya kebijakan pro moderasi beragama dan membuktikan bahwa program moderasi ini nyata mendorong muslim meremehkan urusan prinsip agama bahkan yang berkaitan akidah.

Imam Muslim meriwatkan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah Kami atasnya, maka amal itu tertolak."

Inilah bahayanya, moderasi beragama akan melepaskan keterikatan umat pada syariat.

Aktivis Muslimah Arini Retnaningsih mengungkapkan bahaya Islam moderat.
"Islam moderat adalah orang yang mau menerima pluralisme, yaitu merelatifkan kebenaran agama,” ujarnya dalam program Muslimah Bicara – Eps. 60, Moderasi Beragama dalam Kritisi, Sabtu (11/12/2021) di YouTube Muslimah Media Center (MMC)

Oleh karena itu, kaum Muslim tidak boleh terjebak dengan konsep moderasi beragama. Bukankah kita telah merasakan beragam kerusakan yang tiada henti akibat masih bercokolnya pemikiran dan sistem rusak- buah dari sekularisme? Maka tidak ada jalan lain untuk mengakhiri hegemoni orang-orang barat selain dengan menerapkan kembali kehidupan Islam.


Wallahu a’lam bisshawab []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak