Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Keluarga)
Implementasi moderasi beragama saat ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. Moderasi beragama bahkan dijadikan salah satu program prioritas nasional Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam Renstra Kementerian Agama tahun 2020-2024, moderasi beragama dan kerukunan umat beragama juga dijadikan salah satu sasaran strategis pembangunan bidang agama yang perlu ditingkatkan. Kementerian Agama memfasilitasi modul moderasi beragama serta menjadikan misi moderasi beragama di setiap aktifitas kegiatan madrasah. (www.republika.co.id, 29/11/2021)
Tahun 2021 ini pengarusutamaan moderasi beragama sudah dilaksanakan pada berbagai aksi. Ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan, penyiapan infrastruktur, penyusunan model dan revisi buku ajar dan pengumpulan sumber belajar serta insersi moderasi beragama pada berbagai aktivitas pada pendidikan Islam.
Peran strategis Kementrian agama untuk melaksanakan program ini terkmaktub dalam Peraturan Presiden No. 18 tahun 2020, dimana Kementerian Agama RI diposisikan sebagai leading sector terkait moderasi beragama. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam secara khusus telah mengeluarkan kebijakan Nomor 7272 Tahun 2019 Tentang Pedoman Implementasi Moderasi Beragama Pada Pendidikan Islam.
Sejak Februari sampai Agustus 2021 Ditjen Pendis menyiapkan pedoman teknis implementasi moderasi beragama dalam bentuk modul. Ada empat modul moderasi beragama sudah disiapkan yaitu; 1) Modul pendidikan karakter melalui moderasi beragama. 2) Modul penguatan wawasan moderasi beragama. 3) Modul integrasi moderasi beragama pada pendidikan agama Islam. 4) Modul pengembangan dan pengelolaan kegiatan moderasi beragama bagi peserta didik.
Dalam kaca mata Islam, peran sekolah adalah tempat pembentukan generasi khairu ummah. Gelar khoiru ummah adalah gelar yang langsung didapatkan dari Allah SWT. Gelar yang akan Allah SWT sematkan manakala mereka memenuhi syarat-syaratnya, sebagaimana tercantum dalam firman Allah Al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Sehingga sekolah akan selalu bekerjasama dengan orang tua untuk memberikan ilmu dan pengetahuan, demi tercapainya tujuan tersebut. Generasi inilah yang diharapkan akan mampu membawa kembali kejayaan kaum muslimin dan tegaknya kembali institusi Khilafah. Institusi yang akan mengeluarkan manusia dari penderitaan kehidupan yang disebabkan penerapan sistem sekuler kapitalis.
Namun, karakter dan sifat-sifat mulia tersebut dewasa ini terancam dirusak dan dibelokkan dengan adanya agenda moderasi islam. Program-program untuk menunjang moderasi agama di lingkungan pendidikan pun terus bermunculan seperti, pembekalan moderasi agama perspektif fikih pada guru madrasah, program pembekalan literasi agama lintas budaya untuk guru madrasah, juga program penyusunan modul moderasi PAI di sekolah yang terus dikebut oleh Kemenag, serta program moderasi lainnya yang informasi bisa ditelusuri dalam web resmi Kemenag. (kemenag.go.id)
Kekhawatiran ini tentu tidak berlebihan, jika kita mengacu tentang makna dan maksud moderasi islam sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum (Ketua Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI) yang dimuat dalam kemenag.go.id. Menurutnya, moderasi beragama itu adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Menurutnya, moderasi agama dibutuhkan karena adanya sikap ekstrem dalam beragama. Sementara ekstrem yang dimaksud memiliki 3 patokan yakni, pertama, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang melanggar nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan, karena agama kan diturunkan untuk memuliakan manusia.
Kedua, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang melanggar kesepakatan bersama yang dimaksudkan untuk kemaslahatan; dan ketiga, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang kemudian melanggar hukum. Jadi, orang yang atas nama menjalankan ajaran agamanya tapi melanggar ketiga batasan ini, bisa disebut ekstrem dan melebihi batas.
Pernyataan pada kalimat terakhir menegaskan bahwa moderasi agama itu berbahaya. Ajaran agama dikerdilkan oleh batasan-batasan yang dibuat oleh manusia berupa harkat mulia manusia, kesepakatan bersama, dan batasan hukum.
Padahal bagi seorang Muslim, dia harus memiliki keyakinan kuat bahwa Islamlah ajaran yang benar, bahwa ajaran Islam akan mengangkat martabat manusia, ajaran Islam menyelamatkan manusia dari kejahiliyahan. Hanya dengan keimanan yang sempurnalah yang akan memberikan kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan kelak di akhirat. Meyakini akidah lain selain Islam akan berujung pada kerugian yang pasti.
Seorang Muslim juga dituntut untuk membuktikan keimanannya dengan menunjukkan ketundukan penuh pada ketentuan hukum yang sudah ditetapkan Allah dan Rasul SAW. Bahkan tidak boleh baginya ada pilihan lain. Ketaatan sempurna inilah yang sekarang dirusak paham moderasi agama dengan penyematan gelar ekstrem pada siapa pun yang sungguh-sungguh ingin menerapkan ajaran agama. Boleh jadi ketaatan masih dibiarkan selama sesuai dengan versi mereka.
Maka bisa dibayangkan, betapa generasi muslim kedepan akan semakin jauh dari gelar khoiru ummah, ketika mereka tergerus oleh paham moderasi. Bagaimana mereka akan mampu melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana ciri khas khoiru ummah yang termaktub dalam QS Ali Imron : 110 di atas, sementara mereka tidak yakin dengan ajaran agama mereka. Bagaimana mereka bisa dikatakan beriman kepada Allah, tatkala kehidupannya tidak diatur oleh aturanNya, tapi justru aturan manusia. Wallahu a’lam bi ash showab.