Oleh Ummu Yusuf
Saat ini sedang ramai di perbincangkan tentang isu keagamaan. Mulai Dari isu berpindah agama (murtad) seorang tokoh nasional. Kasus penistaan agama oleh seorang artis kontroversial. Serta pernyataan dari seorang pegiat media sosial dan akademisi yang beragama Islam, mengungkapkan sikap keberagamaanya dalam video berjudul “Mengapa Saya tidak Percaya pada Syariah”
Sekularisme menjadi pangkal dari isu-isu di atas. Sekularisme adalah akidah (keyakinan dasar) yang memisahkan agama dari kehidupan.
Sekularisme menjadi dasar ideologi
kapitalisme yang melahirkan sistem demokrasi. Dalam demokrasi ada sejumlah kebebasan yang dijamin oleh undang-undang yaitu kebebasan memeluk agama, kebebasan mengutarakan pendapat, dan kebebasan dalam beprilaku.
Dalam kebebasan beragama setiap orang bebas untuk untuk memeluk suatu agama apapun. Mereka juga dibebaskan untuk beralih dari satu agama ke agama yang lain. Kebebasan berpendapat dan berperilaku juga membebaskan seseorang mengutarakan opini apapun walaupun opini tersebut bertentangan dengan syariah Islam.
Dalam surat Alal-Maidah ayat 54 Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian yang murtad (keluar) dari agama kalian, pasti Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintai Dia. Mereka bersikap lemah-lembut kepada kaum Mukmin dan bersikap keras terhadap kaum kafir".
Menurut Imam ath-Thabari rahimahullah, sesungguhnya kaum yang murtad tersebut, yakni setelah Nabi Muhammad saw. wafat, mengatakan “Terkait shalat, maka kami akan tetap salat. Adapun terkait zakat, maka demi Allah, kami tidak akan menyerahkan harta-harta kami ".Mendengar itu, Khalifah Abu Bakar ra. Berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memisahkan perkara yang telah Allah satukan (salat dan zakat). Demi Allah, andai mereka menolak untuk menyerahkan kepadaku zakat unta dan kambing yang telah Allah dan Rasul-Nya wajibkan (atas mereka), aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan mereka itu (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, 21/431).
Hukuman mati atas orang murtad ditegaskan dalam HR al-Bukhari dan an-nasai’ “Siapa saja yang mengganti agamanya, bunuhlah dia”. Hukuman mati atas orang murtad 100% keputusan Nabi saw., dan keputusan beliau berasal dari wahyu Allah Swt. Hukuman ini bukan dari hasil pemikiran manusia dan tidak berhubungan dengan politik kaum muslim.
Namun, hukuman tersebut harus dilaksanakan oleh khalifah dengan beberapa ketentuan, yaitu :
1. Penetapan hukuman mati atas orang murtad hanya diputuskan melalui pengadilan syariah
Harus ada penundaan hukan jika pelaku murtad ada harapan kembali kepada islam.
2. Selama penundaan hukuman pelaku murtad didakwahi dengan hikmah dan nasihat yang baik agar ia bertobat dan kembali kepada islam.
Ada beberapa golongan yang mempunyai pendapat bahwa siapapun bebas memeluk agama apapun dan tidak ada paksaan dalam beragama. Termasuk berganti agama dari satu agama ke agama yang lain. Pendapat tersebut diambil dari Q.S al-Baqarah : 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Memang siapapun tidak boleh dipaksa untuk beragama Islam, tapi saat seseorang sudah beragaman Islam maka dia haram untuk murtad (keluar) dari Islam.
Haram menolak syariat Islam baik seluruhnya maupun sebagian sebagaimana haram murtad dari Islam. Sehingga, hukuman yang diberikan kepada orang yang menolak syariat Islam sama dengan orang yang murtad. Mereka diperangi. Seperti yang pernah dilakukan oleh Kahlifah Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap orang-orang yang murtad dan para penolak zakat.
Kebjakan tersebut dilakukan sebagai bukti bahwa penguasa Muslim wajib menjaga akidah umat.
Saat ini kira tidak bisa berharap pada penguasa Muslim untuk membentengi akidah umat. Karena, mereka tidak akan mempedulikan jika akidah umat rusak bahkan hilang karena mereka sendiri adalah penjaga sistem sekuler.
Wallahu a'lam bishawwab