Oleh : Masitah
(Pegiat Opini Muslimah)
Kumparan.com - Perusahaan asal India, GMR Airport Consortium, memenangkan tender pengelolaan Bandara Kualanamu di Deli Serdang, Sumatera Utara. GMR akan ikut mengelola bandara ini selama 25 tahun melalui kemitraan strategis (strategic partnership) dengan PT Angkasa Pura II. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam pernyataannya yang dikutip di Jakarta, Jumat, menyebutkan negara untung dari aksi yang dilakukan oleh anak usaha PT Angkasa Pura II tersebut. Angkasa Pura II mendapatkan dua keuntungan, yaitu dana sebesar Rp 1,58 triliun dari GMR serta ada pembangunan dan pengembangan Kualanamu sebesar Rp 56 triliun dengan tahap pertama sebesar Rp 3 triliun, dikutip dari Antara, Jumat (26/11).
Masuknya GMR sebagai pemegang saham di joint venture company (JVCo) yakni PT Angkasa Pura Aviasi, membuat Angkasa Pura II tidak perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 58 triliun untuk pengembangan Bandara Kualanamu, karena proyek pembangunan bandara justru ditanggung oleh mitra. Dana sebesar Rp 1,58 triliun bisa dipakai oleh Angkasa Pura II untuk pengembangan dan pembangunan bandara baru di Indonesia. Angkasa Pura II dengan GMR membentuk perusahaan patungan bernama PT Angkasa Pura Aviasi untuk mengelola Bandara Internasional Kualanamu. Angkasa Pura II sebagai pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 saham di Angkasa Pura Aviasi, sedangkan GMR memegang 49 persen saham. Kerja sama ini akan mengelola Kualanamu selama 25 tahun dan semua biaya pembangunan ditanggung dengan sistem build of take (BOT). Setelah 25 tahun, aset itu akan dikembalikan kepada Angkasa Pura II.
Kapitalisme, Suburkan Komersialisasi Layanan Publik.
Pengembangan infrastuktur seperti Bandara memang sangat dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Pesawat merupakan salah satu transportasi yang paling sangat diincar saat ini. Karena, Pesawat memberikan kecepatan perjalan sampai tujuan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga harus ada upaya pemberian kualitas terminal baik dari sisi pembangunan terminal, perbaikan dan sebagainya. Untuk memastikan keamanan dan keselamatan saat take off maupun landing dan fasilitas lainnya.
Sayangnya, logika kapitalisme selalu menempatkan adanya urusan publik kepada pihak swasta dalam mengelola pembangunan yang ada. Mengatasnamakan investasi yang memberikan kesempatan bagi asing untuk turut serta dalam menanamkan modalnya. Hal ini tentu tidak akan memberikan keuntungan bagi publik. Selayaknya perdagangan, jelas korporasi swasta ingin mendapatkan keuntungan setelah dana di kucurkan. Skema ini otomatis akan membawa pada komersialisasi layanan publik.
Dampak yang ditimbulkan sangatlah jelas, yaitu tidak semua masyarakat bisa menikmati layanan tersebut dengan harga terjangkau dan gratis. Pelayanan akan disesuaikan dengan budget yang dikeluarkan oleh konsumen. Selain itu, tidak mungkin pula jika ke depannya akan terjadi akuisisi infrastruktur strategis. Track record ini sudah sering terjadi berulang kali.
Pandangan kapitalisme lainnya menjadikan sumber pemasukan berpusat pada utang dan pajak. Tentu ini tidak akan menjadi pondasi yang kokoh jika digunakan untuk pembiayaan infrastruktur. Bukannya untung negara justru akan buntung, akibat dari penambahan jumlah utang yang semakin menumpuk. Selain itu, penarikan pajak akan semakin menyulitkan masyarakat terutama saat berada di tempat umum yang notabenenya saat ini bahkan makan di warung makan sudah dikenai pajak.
Pembangunan infrastruktur menjadi keharusan bagi negara. Sebagai salah satu kewajiban negara dalam memberikan fasilitas yang memadai bagi masyarakatnya. Mirisnya, dalam paradigma kapitalisme pembangunan infrastruktur malah menjadi pintu masuknya penguasaan asing terhadap urusan negara. Menjadi kesempatan empuk bagi asing untuk memperkuat kekuasaannya.
Di saat yang sama kapitalisme juga melegalkan adanya kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu atau swasta. Akhirnya hampir seluruh kekayaan negeri ini yang bersifat umum dikuasai oleh individu maupun swasta. Secara tidak langsung, ini menjadi penjajahan gaya baru. Inilah yang seharusnya disadari oleh umat saat ini. Padahal jika kekayaan alam dikelola dengan baik dan benar, negara tidak perlu menggandeng swasta dan menunggu selama 25 tahun hingga bandara itu jadi milik nasional. Negara juga akan memiliki jaminan kesejahteraan dan kecukupan bagi masyarakatnya dalam memenuhi kebutuhannya dan pembangunan negara.
Konsep Pembangunan Dalam Khilafah
Sangat berbeda sekali jika umat diatur dalam sistem Khilafah. Mindset Khilafah memandang layanan publik merupakan prasarana kemaslahatan umat. Sehingga konsep pembangunannya tidak berpusat pada sentra ekonomi, tetapi menyebar merata di setiap pemukiman warga. Maka pembangunan tidak akan terjadi ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Seperti saat ini yang hanya berfokus pada pembangunan perkotaan dan mengabaikan pedesaan. Layanan publik dalam khilafah termasuk bagian jaminan dalam negara. Sehingga tidak akan terjadi komersialisasi dalam layanan publik dan masyarakat bisa menikmati layanan tersebut dengan harga terjangkau dan murah.
Prinsip infrastruktur strategis dalam Islam diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara tidak boleh diberikan pada swasta.
Kedua, perencanaan wilayah yang baik dengan mengurangi kebutuhan transportasi. Mewujudkan layanan publik secara gratis, Islam memiliki sumber dana yang khas. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan Khilafah menjadikan pembiayaan infrastruktur berasal dari baitul mal, yaitu dari pos kepemilikan umum. Dana pos ini berasal dari pengelolaan kekayaan alam secara mandiri.
Dana dari pos ini akan sangat cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur mulai dari gedung, fasilitas layanan, alat transportasi, penelitian-penelitian tata kota, dan lainnya. Hal tersebut bisa dilihat dari manajemen fisik jalan saat diperhatikan sejak tahun 950. Jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran serta malamnya diterangi dengan lampu minyak. 200 tahun kemudian, yakni 1185 Paris memutuskan sebagai Kota pertama Eropa yang meniru Cordoba. Abbas Ibnu Firnas dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara. Abad ke-19 Khilafah Utsmaniyah konsisten mengembangkan infrastruktur ini. Masih banyak bukti lainnya bagaimana Khilafah mengembangkan pembangunan infrastrukturnya. Bukan untuk keuntungan semata, melainkan untuk kesejahteraan bersama.
Dengan penerapan Khilafah, jaminan pembangunan ekonomi yang berkah, adil dan sejahtera akan meminimalisir kesenjangan ekonomi yang merugikan masyarakat. Khilafah sebagai institusi penerapan islam akan menyediakan infrastruktur transportasi yang aman, memadai dengan teknologi terkini tanpa campur tangan korporasi. Wallahualam
Tags
Opini