Oleh: Atik Hermawati
Kasus Novia Widyasari mencuat ke publik. Perempuan berusia 23 tahun ini bunuh diri di samping pusara ayahnya. Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo mengatakan bahwa mahasiswi Universitas Brawijaya (UB) Malang ini telah melakukan aborsi sebanyak dua kali hingga akhirnya nekat melakukan bunuh diri. Semua ini terungkap setelah pacarnya yang juga merupakan oknum polisi ditangkap. Kemudian ia dikenakan sanksi etik dan Pasal 348 KUHP tentang aborsi, dengan ancaman hukuman paling lama 5,5 tahun penjara. Namun benarkah ini semua karena kekerasan masa pacaran? Lalu dapat diselesaikan dengan RUU PPKS yang kini digencarkan?
Dilansir dari detiknews.com (05/12/2021), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa kasus di atas merupakan bentuk dating violence atau kekerasan dalam berpacaran. Dimana satu pihak akan dirugikan secara psikis dan fisik. Tersangka harus diproses hukum. Lanjutnya Bintang mengatakan KemenPPPA membuka call center bagi perempuan atau anak yang menjadi korban kekerasan.
Carut-marut Pergaulan Kapitalisme
Ya, saat ini aturan yang diterapkan ialah sekularisme yakni memisahkan Islam dari kehidupan. Semua kebijakan bersumber dari akal manusia semata, tanpa dikaitkan halal-haram dalam syariat. Mulai dari pergaulan hingga sanksi yang sama sekali tidak menjadi solusi.
Termasuk kasus di atas "hanya dipandang sebagai bentuk kekerasan masa pacaran". Padahal pacaran itu sendiri menjadi pintu lebar manusia untuk melakukan zina. Sudah bukan rahasia, pacaran menjadi trending dan negara membebaskannya. Bahkan bagi yang melarangnya dikatakan melanggar HAM. Semuanya dianggap baik-baik saja ketika dilakukan suka sama suka.
Para wanita dibiarkan bebas berpakaian di manapun. Orang yang menyuruh/memaksa menutup aurat walaupun itu orang tua akan dikenai sanksi pula. Sehingga dari berpakaian dan bergaul, masyarakat digiring ke arah liberal. Dimana hal ini lahir dari sekulerisme itu sendiri, juga merupakan salah satu pilar kebebasan dalam demokrasi yakni kebebasan berperilaku.
Selanjutnya akan dikenakan sanksi apabila ada satu pihak yang merasa dirugikan dan melaporkannya. Semuanya hanya berakhir denda dan bui, bahkan tidak sama sekali. Lagi-lagi kebanyakan, si wanita selalu dikatakan "korban". Padahal saat pacaran mereka melakukan dengan sadar, tanpa paksaan. Layanan pengaduan pun tak menjadi solusi, semua hanya menambah daftar kasus di meja tanpa disadari apa akar penyebabnya.
Semua carut-marut itu telah nyata membuat kasus kekerasan seksual selalu meningkat. Lagi-lagi solusi yang ditawarkan ialah sumber masalah baru. Permen dan RUU PPKS dinilai akan menjadi payung hukum bagi para korban. Padahal jika kita telisik berbagai kata ambigu yakni yang bermakna "dihukum apabila ada paksaan" akan semakin membuka lebar arus perzinaan, aborsi, bunuh diri, hancur nasab, dan lainnya. Peraturan yang diperjuangkan itu sejatinya akan semakin merusak tatanan sosial, menjerumuskan manusia dalam sikap liar tak beradab. Na'udzubillah.
Islam, Memanusiakan Manusia
Lain halnya apabila Islam yang menjadi dasar kehidupan termasuk dalam kenegaraan. Islam memandang kasus di atas sebagai kasus yang harus diselesaikan secara sistemik. Mulai dari aturan sosial, ketakwaan individu dan masyarakat, juga sanksi yang tegas sesuai dengan syariat.
Islam telah tegas mengharamkan zina, pacaran, pelecehan seksual, sexual consent, dan perilaku menyimpang lainnya. Pergaulan bebas diharamkan sekalipun suka sama suka. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk“ (QS Al-Isra: 32).
Pintu-pintu yang mengantarkan pada zina akan ditutup dengan aturan yang tegas dan jelas. Dalam kehidupan umum, masyarakat harus menutup aurat dan tidak berinteraksi dengan nonmahram kecuali udzur syar'i seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Tidak adanya ikhtilat (campur baur dengan beda jenis) ataupun khalwat (berduaan dengan yang belum halal). Menikah adalah hal yang dipermudah, sedangkan pacaran ialah hal yang sangat dilarang. Apalagi perilaku menyimpang lainnya seperti L98T jelas sangat dilarang.
Media pun ditujukan untuk pembinaan kepribadian masyarakat yang luhur. Semua siaran yang merusak tidak diberikan izin sekali. Kemajuan teknologi seperti internet ataupun lainnya dimanfaatkan untuk melejitkan fitrahnya manusia yakni sebagai hamba Sang Pencipta. Tidak ada kebebasan arus rusak seperti sekarang. Semua diatur untuk menyelamatkan bukan mengekang.
Sanksi yang diterapkan pun bukan berdasarkan kepentingan lingkaran oligarki. Melainkan berasal dari Dzat yang Maha Tinggi. Sanksi ini berfungsi untuk mencegah (zawajir) kejadian serupa dan juga penebus dosa (jawabir), sehingga berefek jera.
Dalam Islam, sanksi bagi pezina yang belum menikah adalah wajib mendapat dera 100 kali cambuk dan diasingkan selama setahun. Allah SWT berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur: 2). Sedangkan bagi yang sudah menikah hukumannya ialah rajam (dilempari batu sampai mati).
Adapun sanksi bagi orang yang memfasilitasi orang lain untuk berzina tetap akan terkena sanksi. Menurut pandangan Islam, sanksi bagi mereka adalah penjara lima tahun dan mencambuknya. Jika orang tersebut suami atau mahramnya, sanksi diperberat menjadi 10 tahun. (Abdurrahman al-Maliki. 2002. Sistem Sanksi dalam Islam. Hlm. 238. Pustaka Tariqul Izzah. Bogor).
Selain itu negara membina masyarakat dengan akidah Islam. Amar makruf nahi munkar menjadi kebiasaan yang mengakar. Bukan masyarakat yang individualis seperti sekarang. Semua harus terlibat untuk mewujudkan peradaban manusia yang agung.
Itulah Islam sebagai solusi atas segala permasalahan kehidupan. Semuanya hanya bisa terwujud apabila Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai Khilafah yakni warisan Rasulullah saw. dan para sahabat. Bukan dalam demokrasi ataupun yang lainnya.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini