Kekerasan Masa Pacaran, Butuh Solusi Sistemik



Oleh : Sri Mariana,S.Pd
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)

Pembahasan kekerasan dalam pacaran (KDP) belakangan ramai diperbincangkan. KDP alias dating violence merupakan istilah yang menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan yang berpacaran, tetapi si laki-laki cenderung berperilaku kasar, agresif, dan selalu membatasi. 
Istilah dating violence ini awalnya muncul dari  feminis. Tujuannya untuk memunculkan sensitivitas gender. Kaum laki-laki tidak boleh mendominasi perempuan. harus setara.

Dengan sendirinya, istilah ini merujuk pada aktivitas mencegah terjadinya penguasaan laki-laki atas perempuan. Nah, dalam konteks pacaran, laki-laki tidak boleh membatasi pasangannya.
Seperti kasus viral mengenai kematian tragis seorang mahasiswa Universitas Brawijaya berinisial NWS menguak kembali pembahasan dating violence. 

Aktivis feminis pun seolah mendapatkan momentum. Maklum, kematian NWS yang dramatis membuat mak-mak se-Indonesia panas. Meski fakta sebenarnya belum sepenuhnya terkuak, berita kadung bergulir ke mana-mana. 
Kini, kekerasan dalam berpacaran tengah menjadi buah bibir di masyarakat. Tidak ketinggalan, para pejabat negara pun memberi perhatian. Kasus bunuh diri Novia Widyasari dengan menenggak racun ditengarai akibat ia depresi karena sang kekasih, Bripda Randy Bagus, memaksanya melakukan aborsi. (detik.com).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menganggap hal ini termasuk dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence.
 (news.detik.com, 5/12/2021). 

Ia menilai setiap bentuk kekerasan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, pemerintah melalui Kemen PPPA mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut dan membuka layanan pengaduan dari masyarakat yang mengalami kekerasan, terutama perempuan. 

Pertanyaannya, apakah mengakhiri kekerasan terhadap perempuan (KtP) cukup dengan menghukum pelakunya, sementara nilai-nilai liberal dalam sistem kapitalistik masih terterapkan dalam tatanan pergaulan?

Meski demikian, kasus ini sebenarnya bukan pertama kali. Beberapa kasus juga pernah mengemuka. Kasus NWS ini sedikit berbeda karena pas dengan momen Permendikbudristek No.30 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi baru disahkan. Di sisi lain, aktivis feminis lagi getol-getolnya menyerukan pengesahan RUU TPKS.

Jadi klop. Sayangnya, tawaran solusi para feminis jauh dari solutif. Logikanya bahkan jauh dari nalar. Sebab mereka menyuguhkan solusi berdasarkan sudut pandang liberal. Menurut mereka, individu wajib memperoleh kebebasan, termasuk bergaul bebas. Perempuan tidak boleh dilarang bergaul karena hal itu bermakna membatasi.

Menurut aktivis feminis, kekerasan seksual terjadi karena tidak adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Jika kesetaraan terwujud, tidak akan ada laki-laki yang menindas dan bahkan melecehkan perempuan. Sesederhana itukah solusinya?

Ternyata, masalah kian rumit. Upaya penghapusan kekerasan seksual dengan membiarkan sistem pergaulan yang bebas, terlebih menuntut agar perempuan dan laki-laki setara, ibarat memadamkan kebakaran bukan pada sumber apinya. Mari kita telaah bersama.

Feminis berdalih bahwa pelecehan terhadap perempuan akan selesai jika perempuan memiliki akses di ranah publik sebagaimana laki-laki. Kondisi ini telah mendorong kaum perempuan ramai-ramai berkiprah di luar rumah tanpa batasan. Mereka pun turut bekerja dan menanggung ekonomi keluarga. Di sinilah masalah itu berawal.

Fakta menunjukkan bahwa pelecehan seksual justru kerap terjadi di ranah publik. Lapangan kerja yang sebagian besar mengeksploitasi sisi keperempuanan dengan mensyaratkan berpenampilan menarik dan syarat fisik lainnya, justru menjadi pemantik munculnya pelecehan seksual. Logika feminis memang sudah salah sejak awal.

Menurut mereka, pelecehan seksual di tempat kerja terjadi karena perempuan belum setara dengan laki-laki. Adapun fakta bahwa tempat kerja mensyaratkan penampilan menarik, itu bukan masalah. Bahkan, setiap perempuan boleh-boleh saja menonjolkan sisi sensualitas mereka.

Toh, menurut mereka, “My body is mine.” “Bukan tubuh gue yang salah, tetapi mata lu yang liar.” Mempertontonkan tubuh sah-sah saja, toh setiap manusia terjamin bebas bertingkah laku. Jadi sekali lagi, menurut mereka, jangan salahkan perempuan jika berpenampilan menarik.
Maksiat itu akan berhenti jika pintunya ditutup. Pelecehan seksual itu jelas kemaksiatan. Syariat Islam tidak hanya memberlakukan sanksi kepada pelaku tetapi juga memiliki aturan yang bersifat preventif. Syariat Islam berupaya semaksimal mungkin menutup pintu masuk terjadinya pelecehan seksual. Apa saja aturan itu?

Pertama, Islam memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluan. Islam memerintahkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar’i berupa jilbab (gamis) dan kerudung (khimar). Tidak boleh bagi seorang perempuan mengumbar aurat di hadapan nonmahram.

Kedua, Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat/berdua-duaan. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali bersepi-sepi dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad). Aktivitas pacaran tidak lepas dari khalwat. Dengan sendirinya, dating violence itu tidak akan ada dalam Islam. Karena pacaran haram.

Ketiga, Allah melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seksual laki-laki. Ini  kontras dengan logika feminis yang membebaskan perempuan untuk berpenampilan sesuka hatinya. Islam jelas memahami bahwa pelecehan seksual kerap terjadi karena penampilan yang menonjolkan sisi tertentu dari tubuh perempuan.

Bukan sekadar masalah tubuh ini adalah milik kita, bukan. Lebih jauh lagi, ini tentang menjaga interaksi lawan jenis dan menjaga sehatnya sistem sosial di masyarakat. Tubuh  kita milik Allah. Wajib mengikuti aturan Allah, bukan mengikuti logika bebas ala liberalis.

Keempat, untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, negara wajib hadir untuk mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media. Coba deh perhatikan tayangan-tayangan yang ada, miskin edukasi dan full konten negatif. Apalagi di media sosial, begitu mudah mengakses situs-situs porno yang menayangkan adegan tidak senonoh.

Teror tayangan ini berdampak pada pelampiasan naluri melalui pemerkosaan, pelecehan seksual, dan sejenisnya. Alhasil, begitu kesempatan ada, langsung dilampiaskan. Mudah saja kita menemukan pasangan yang melakukan hubungan layaknya suami istri, meski belum terikat dalam pernikahan yang sah. 

Islam sesungguhnya memuliakan perempuan dengan aturan di atas, bukan mengekang seperti persepsi pejuang kesetaraan. Islam kaffah, melindungi dan memuliakan perempuan. Ketika syariat Islam jadi tuntunan, dating violence tidak bakal terjadi. Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak