Kaum Ibu Terjerat Arus Moderasi

 


Oleh Citra Salsabila

(Pegiat Literasi)


Wajahnya yang ramah, hati yang lembut, dan sikap yang sopan menjadi senjata para ibu dalam mengasuh anak-anaknya. Kasih sayangnya sepanjang masa, tak lekang oleh waktu, apalagi zaman. Pendidikannya begitu membekas, walau harus melawan rasa lelah dalam dirinya. Itulah kekuatan perempuan yang telah menjadi seorang ibu. 


Namun, sangat disayangkan hari ini banyak para ibu yang disibukkan dengan berbagai kegiatan di luar, dan melupakan tanggung jawabnya dalam mendidik anak. Sehingga, tak heran tergeruslah fitrahnya sedikit demi sedikit. 


Tentu hal tersebut pasti ada penyebabnya. Salah satunya, tuntutan kebutuhan yang serba mahal. Tak cukup, jika hanya mengandalkan suami saja. Selain itu, adanya pemikiran bahwa kaum ibu selalu terbelakang dalam beberapa aktivitas. Maka, perlulah adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 


Pemikiran Kesetaraan Gender


Adanya pemikiran kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak tiba-tiba muncul. Tetapi bagian dari rencana orang-orang Barat. Selain itu pula, pemikiran ini pun tak terlepas dari opini moderasi terhadap kaum ibu. Mengapa demikian? 


Sebab, arus moderasi itu merupakan program prioritas Kementrian Agama tahun 2020-2024. Tertulis pula dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Artinya, arus ini akan semakin gencar dilakukan bagaikan cendawan yang subur di musim hujan. 


Moderasi sendiri berarti sikap jalan tengah dalam membangun ketenangan dan keharmonisan di tengah masyarakat yang beragam. Dimana pertama kali diaruskan oleh Rand Corporation, lembaga thinthank Amerika Serikat, dari tahun 2004 sebagai bentuk melawan Islam fundamentalis. Akhirnya, tahun 2007, Rand Corporation memberikan arahan bahwa moderasi terhadap umat Islam akan menjadi moderat bagi penganutnya. 


Tentu ini menjadikan Muslim yang moderat sebagai kunci penyebaran budaya demokrasi. Maksudnya mendukung demokrasi dan pengakuan internasional atas hak asasi manusia, kesetaraan gender dan kebebasan beribadah, menghargai keberagaman, menerima sumber hukum nonsektarian, menentang terorisme dan semua bentuk kekerasan. Hasilnya, banyak perempuan, terutama kaum ibu yang terjerat didalam pemikiran tersebut. Karena dianggap tak bertentangan dengan aturan Islam. 


Dukungan pun muncul dari beberapa kalangan terkait moderasi ini. Seperti Allisa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, menekankan pentingnya peran perempuan dalam kesuksesan konsep moderasi beragama. Karena perannya yang banyak tentu akan menghambat kinerjanya, sehingga semuanya harus seimbang, mulai dari menjadi seorang ibu, pendidik di rumah bagi anak-anaknya, hingga pekerja di kantoran. Sehingga, dapat mewujudkan kesetaraan gender dengan mudah. (stahnmpukuturan.ac.id, 31/10/2021). 


Didukung pula oleh Oman Fathurahman selaku Ketua Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI, yang menyatakan pentingnya moderasi dalam berbangsa dan bernegara, karena akan menciptakan kerukunan. Ditambah orang moderat adalah orang bukan dangkal keimanannya, tetapi orang yang saleh, berpegang teguh pada nilai moral dan esensi ajaran agama, serta memiliki sikap cinta tanah air, toleran, anti kekerasan, dan ramah terhadap keragaman budaya lokal. (kemenag.co.id, 18/12/2021). 


Itulah yang terjadi. Mirisnya kaum ibu yang harus melawan fitrahnya. Satu sisi mereka bergelut dengan aktivitas yang sama dengan laki-laki demi mempertahankan haknya. Dimana haknya antara lain hak sipil, budaya, ekonomi, politik dan sosial, termasuk hak untuk mengembangkan diri. Akibatnya, banyak kaum ibu yang rela mengejar karirnya hingga larut malam bahkan sampai ke negeri orang, hanya demi mengharumkan nama keluarga. Atau bahkan demi dikatakan sebagai ibu teladan bagi anak-anaknya. 


Satu sisi lain pun dilema, karena hakikatnya kaum ibu ini pun membutuhkan penjagaan dan perlindungan dari suami atau walinya. Sehingga adanya kebebasan berperilaku yang diusung Barat tidak menjamin adanya kebahagiaan. Karena tetap tidak menyelsaikan persoalan, malahan akan menambah persoalan lainnya. 


Seperti, ketika bekerja hingga malam tanpa ditemani suaminya, banyak yang diperkosa atau dibegal, yang akhirnya meregang nyawa. Atau ketika sang anak menunggu kedatangan ibunya, tetapi tak kunjung pula, karena lebih mengutamakan pekerjaan atau bisnis daripada menemani anak tidur. Terluka hati sang anak kala itu. Astagfirullah. 


Lantas, bagaimanakah solusinya? Haruskah tetap bersikukuh mempertahankan ide moderasi ini? Jawabannya, tidak. Tinggalkan ide tersebut. Kembalilah pada fitrah seorang perempuan, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik generasi. 


Islamlah Solusinya


Islam sangat memuliakan perempuan. Sangat dijaga kehormatannya dan diberikan tugas sesuai dengan fitrahnya. Kehadirannya bukan untuk menandingi kaum lelaki dalam hal segala aspek. Tetapi untuk menemaninya dalam menjalankan perintah Allah Swt. 


Dimana kaum ibu kala itu, saat aturan Islam diterapkan, memiliki keyakinan kuat bahwa anak adalah amanah dari Allah dan akan mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak. Yakni hari saat semua amal perbuatan manusia, baik dan buruk akan ditampakkan, dihisab, lalu diberi balasan setimpal. Sehingga berhasil melahirkan generasi yang rabani, mengerti tentang arti dan hakikat hidup, makna kebahagiaan hakiki, dan semangat pengabdian pada Islam. 


Berbeda dengan zaman sekarang. Dimana aturan Islam dilecehkan, diganti dengan aturan sekuler kapitalistik yang menjauhkan dari nilai-nilai Islam. Maka, banyak kaum ibu yang terkecoh dengan ide-ide yang Barat. Ya, salah satunya setuju dengan ide kesetaraan gender (feminisme) yang dalilnya dapat mengangkat derajat perempuan. 


Padahal faktanya, semakin terpuruklah perempuan saat ini. Kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga, ketidakadilan hak menjadi permasalahan yang tak pernah tuntas. Begitulah hukum buatan manusia, tidak menyelesaikan persoalan. 


Maka, kembalilah pada aturan Islam, agama yang memiliki aturan begitu sempurna. Menempatkan sosok ibu dalam posisi yang sangat tinggi dan tidak kalah penting dari peran kaum lelaki/ayah. Bahkan, fungsinya bukan hanya melahirkan anak semata, tetapi berperan sebagai "arsitek" generasi pemimpin masa depan. 


Oleh karenanya, Islam juga menuntut agar kaum perempuan benar-benar menjalankan fungsi keibuan ini dengan sebaik-baiknya, di samping mereka pun sebagai bagian dari masyarakat. Ini karena tugas utama perempuan adalah sebagai ummun wa rabbat al-bayt (ibu dan pengatur rumah suaminya). 


Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak