Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Keluarga)
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) angkat bicara mengenai kisruh pelepasan aset BUMN, Bandara International Kualanamu di Sumatera Utara. Disebutkan bahwa hal yang dilakukan adalah kerja sama strategis antara PT Angkasa Pura 2 dengan GMR Airports, asal India.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan langkah yang dilakukan adalah kerja sama konsesi selama 25 tahun. Terjadinya kerja sama tersebut dilakukukan dengan proses tender yang panjang dan terstruktur dan dipantau oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Ada bberaa diskusi mengenai Kualanamu. Jadi intinya yang kami lakukan di Kualanamu adalah mengkerjasamakan konsesi selama 25 tahun di mana Kualanamu ini dimiliki oeh AP 2 dan telah menjalankan proses tender yang sangat panjang dan terstruktur, di mana BPKP juga terlibat dalam prosesnya," kata Kartika dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (2/12/2021).
Dia menjelaskan, tujuan kerja sama tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas Kualanamu untuk bisa menjadi bandara untuk hub internasional, tidak hanya sebagai sarana penerbangan domestik.
Lebih lanjut, dia menyebutkan bahwa posisi geografis Kualanamu sangat strategis. Sementara, untuk hub internasional untuk penerbangan dari wilayah Asia selatan menuju Asia utara ataupun Australia saat ini masih bergantung pada Changi Airport di Singapura dan Kuala Lumpur International Airport (KLIA) di Malaysia.
Dengan adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan Kualanamu, diharapkan kapasitasnya bisa menjadi 44 juta penumpang per tahun, dari saat ini baru mencapai 10 juta per tahun.
"Jadi saya rasa itu deal yang sangat baik, prosesnya juga kita kawal dan kita minta BPKP mengawal juga ini bisa jadi kerja sama strategis dan setelah 25 tahun nanti kalau bandaranya sudah bagus dan meningkat kualitasnya akan kembali lagi menjadi milik AP 2," terang dia.
Untuk diketahui, GMR Airports Ltd adalah operator bandara asal India yang mengelola Delhi International Airport, Hyderabad International Airport di India, dan Bidar Airport di India. Perusahaan ini juga mengelola Mactan Cebu International Airport di Filipina.
Selain Kualanamu, perusahaan asing juga melirik sejumlah bandara di Indonesia. Bahkan, saat ini terdapat dua bandara resmi yang pengelolaannya melalui skema kemitraan strategis. Harapannya, kemitraan strategis tersebut bisa meningkatkan pengelolaan bandara, di antaranya peningkatan traffic pesawat yang lebih banyak. Misalnya, dari Inggris bisa langsung ke Indonesia (Jakarta) tanpa harus transit di Timur Tengah atau Singapura. (merdeka, 26/11/2021).
Sayangnya, skema pengelolaan bandara oleh investor swasta seperti ini legal dalam bisnis penerbangan di tanah air, apalagi untuk bandara-bandara besar. Berdasarkan catatan, investor pun pernah melirik Bandara Soetta. Saat itu ada asset manager asal Inggris yang tertarik mengelola Bandara Soetta.
Kemudian, ada Bandara Komodo, yang pada akhir Desember 2019 lalu Pemerintah Indonesia telah menetapkan konsorsium Singapura menjadi pengelola Bandara Komodo selama 25 tahun. Pemerintah pun memastikan Bandara Komodo bukan yang terakhir untuk mereka tawarkan pada asing. Target berikutnya, Bandara Sam Ratulangi di Manado dan Bandara Singkawang.
Bandara, pada dasarnya memang bagian dari fasilitas publik yang akan menopang aktivitas masyarakat di sektor transportasi udara. Namun menjadi kebijakan yang merugikan, ketika pembangunannya yang telah mengorbankan alih fungsi lahan publik harus berakhir dengan pengelolaan oleh asing. Publik mana yang hendak penguasa prioritaskan jika ternyata ada kemitraan dengan asing dalam pengelolaan fasilitas tersebut? Apakah semua rakyat dari berbagai kalangan lantas bisa menikmatinya dengan gratis? Lihat saja, yang selama ini mampu membayar tiket pesawat sekaligus menjadi penumpangnya toh kalangan ekonomi menengah ke atas. Realitas kemitraan strategis pengelolaan bandara justru menegaskan bahwa hajat publik tengah dipertaruhkan dan dipermainkan oleh kepentingan swasta asing yang pasti berorientasi keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana pola kinerja ideologi kapitalisme. Sungguh, ini adalah kezaliman hakiki yang begitu gamblang dipertontonkan di panggung kekuasaan.
Dalam Islam, fungsi penguasa adalah pengurus urusan rakyatnya. Sebagaiman sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Maka seharusnya, setiap kebijakan pembangunan apapun, harus berorientasi pada kepentingan rakyat banyak. Jika rakyat secara umum belum mampu menikmati, maka tugas penguasa dalah meningkatkan taraf hidup rakyatnya dengan berbagai macam cara. Bukan justru memfasilitasi asing atau para kapitalis dengan dalih kepentingan rakyat. Seolah mengerjakan proyek infrastruktur penting, padahal untuk asing. Seolah berkelas, padahal menyimpan motif culas. Seolah berprestasi, padahal menghisap dompet rakyat sendiri. Wallahu a’lam bi ash showab.