Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Kota Nganjuk berhasil menjadi juara pertama dalam kategori edukasi masyarakat dalam pencegahan stunting dalam ajang inovasi cegah stunting BKKBN Tingkat Nasional
Menurut data, pencegahan stunting di Kabupaten Nganjuk terus menunjukkan penurunan angka yang baik. Dimuali dari tahun 2018, angka stunting sebesar 18,3 persen. Untuk tahun 2019 sebesar 11,48 persen. Dan tahun 2020 sebesar 11,2 persen. Adapun di tahun 2021, hingga bulan ini, angka stunting telah menurun hingga pada kisaran 9,6 persen.
- Sumardji merupakan sosok di balik menterengnya prestasi Ceting E Abah Kolel yang berhasil menyabet juara pertama. Ia menjelaskan, Ceting E Abah Kolel merupakan inovasi baru yang dimulai dari desa yang dipimpin. Program tersebut memanfaatkan bank sampah, pekarangan dan kolam lele.
"Tujuan utamanya yaitu mengedukasi masyarakat dengan menanamkan kesadaran pada warga untuk memanfaatkan tanah pekarangan. Seperti tanam sayur mayur, buah buahan dengan kolam pemeliharaan lele skala rumah tangga, sampah dikelola dengan benar untuk menghindari penyakit akibat sampah," terang Sumardji.
Tujuan selanjutnya yaitu untuk nilai ekonomi. Misalnya sampah non organik yang dijual melalui bank sampah. Dan organik menjadi kompos untuk makanan lele. "Alhamdulillah telah ditiru beberapa desa lain dan mampu menurunkan stunting, angka kurus, gizi buruk, bahkan obesitas," tambahnya.
(nganjukkab.go.id, 25 November 2021)
Permasalahan gizi buruk di Indonesia tetap menjadi PR besar bagi pemerintah. Diperparah dengan pandemi yang berlangsung selama setahun lebih, kondisi kesehatan generasi masih memprihatinkan. Hal itu disampaikan oleh Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono.
Di antara faktor yang menyebabkan anak-anak mengalami gizi buruk hingga stunting antara lain:
Pertama, ekonomi. Persoalan ekonomi menjadi faktor utama yang banyak dialami masyarakat. Pekerjaan dan penghasilan yang tak mencukupi, serta tingginya harga bahan makanan membuat orang tua kesulitan mencukupi kebutuhan gizi anak. Alhasil, kasus gizi buruk dan stunting tidak akan selesai jika masalah ekonomi belum dituntaskan. Sebab, taraf hidup yang rendah seperti kemiskinan berkelindan bersama tidak terpenuhinya hak anak dalam mendapatkan gizi dan nutrisi yang baik.
Kedua, sanitasi. Hal ini juga banyak menimpa pada keluarga yang sulit mengakses tempat tinggal, lingkungan dan air bersih. Akibat persoalan ekonomi tadi, minimnya kualitas papan berdampak pula kualitas pangan mereka. Sanitasi yang buruk akan mencemari bahan makanan yang akan disajikan.
Ketiga, pendidikan. Pendidikan yang rendah akan menurunkan tingkat literasi gizi yang dibutuhkan orang tua dalam mengasuh anaknya. Ketidaktahuan orang tua terhadap pentingnya pemberian gizi pada anak cenderung menganggap gizi bukanlah hal penting. Di sistem serba kapitalis, pendidikan menjadi barang yang sulit dijangkau. Hanya sebagian kecil masyarakat yang dapat mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi.
Keempat, perilaku orang tua. Banyak orang tua berpikir bahwa mereka mengetahui segalanya sehingga tidak menyadari dan memahami bahwa mereka masih membutuhkan bimbingan dan arahan para ahli medis dalam mengatasi gizi dan masalah kesehatan lainnya.
Semua faktor tadi sebenarnya tersimpul dalam dua faktor, yaitu problem ekonomi dan pendidikan. Ibarat rantai masalah yang tidak akan pernah habis dibabat. Sebab, faktor penyebab rendahnya ekonomi dan pendidikan adalah penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan kesenjangan sosial, tidak terjaminnya kebutuhan dasar, dan abainya pemerintah dalam mengatur urusan hulu hingga hilir.
Islam Solusi Tuntas Permasalahan Gizi
Kondisi gizi buruk saat ini susah dituntaskan, karena solusi yang ditawarkan belum menyentuh akar permasalahan yang ada. Sebagaimana program yang dicanangkan pada peringatan HGN tahun inipun belum menyentuh substansi akar permasalahan dari gizi buruk itu sendiri. Kita lihat program yang diberikan adalah bagaimana mewujudkan Gizi seimbang untuk ibu dan balita dan bagaimana pengetahuan makanan apa yang sangat diperlukan untuk mereka.
Hal ini memang perlu diberikan agar masyarakat faham. Namun, apalah arti pengetahuan ini jika sebagian mereka yang berada pada kondisi gizi buruk nyatanya adalah mereka yang kesulitan untuk mendapatkan makanan, dikarenakan kondisi perekonomian yang terpuruk? Maka, permasalahan gizi buruk ini tidak bisa jika dikembalikan kepada keluarga dan masyarakat saja dengan memberikan kesadaran mereka akan pentingnya menjaga kecukupan gizi terutama pada 1000 hari pertama kehidupan, namun perlu ada upaya serius dari negara untuk menangani permasalahan ini.
Bukan hal yang aneh sebenarnya ketika negara menyerahkan urusan masyarakat justru kepada individu ketika sistem yang dipakai adalah sistem kapitalisme. Kapitalisme menempatkan pemerintah sebagai fasilatator saja terhadap segala permasalahan yang ada di masyarakat. Berbeda dengan Islam, dimana negara memiliki kewajiban untuk bisa menjamin kebutuhan pokok masing-masing individu di dalam negaranya, individu per individu.
Tidak boleh pengukuran kesejahteraan hanya dirata-rata saja dalam masyarakat. Kebutuhan pokok tersebut meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan yang harus dijamin oleh negara. Pemimpin dalam Islam harus benar-benar memastikan masing-masing individu dalam masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok tersebut. Inilah prioritas utama yang diperhatikan negara, selain juga menjamin setiap kepala keluarga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Dalam Islam, pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT. Nabi saw. bersabda : “Seorang iman (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian hanya sistem Islam yang mampu memberikan pelayanan sebaik baiknya kepada rakyat, salah satu diantaranya memberikan asupan gizi yang cukup bagi rakyatnya sebagai kebutuhan pokok yang harus terpenuhi. Karena itu semua merupakan tanggung jawab negara.
Oleh karena itu, jika kita ingin menyelamatkan generasi dari bahaya gizi buruk dan mendapatkan keberkahan hidup. Maka solusi yang sangat rasional untuk permasalahan gizi di Indonesia adalah campakkan sistem kapitalisme dan terapkan Islam secara menyeluruh. Allahu a'lam bi shawab.