Oleh: Yuke Octavianty
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Aksi massa buruh terus berkelanjutan. Salah satu diantaranya terjadi hari Senin, 29 November 2021 di depan patung kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta (liputan6.com, 29/11/2021). Aksi massa ini tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) terkait UMP (Upah Minimum Propinsi) tahun 2022.
Kementerian Ketenagakerjaan mengungkapkan penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) naik tipis hanya 1,09% ( kompas.com, 22/11/2021). Kebijakan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Harapannya untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja atau buruh agar upahnya tidak dibayar terlalu rendah karena posisi tawar buruh yang rendah di pasar kerja.
Di lapang, sejumlah serikat pekerja di berbagai daerah, ada yang mendesak agar UMR tahun depan naik signifikan atau 10% dibanding tahun lalu (bisnis.com, 28/10/2021). Penetapan ini berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) selama pandemi mengalami peningkatan, baik untuk pembelian masker, vitamin, maupun handsanitizer. Namun, kebijakan yang ditetapkan jauh dari harapan para pekerja. Inilah yang memantik emosi buruh. Bagaimana bisa hidup layak, di tengah kehidupan yang makin sesak?
Direktur Utama PT Gunanusa Eramandiri, Ivan Cokro, menilai apabila kenaikan upah minimum melebihi ketentuan yang diberikan pemerintah, maka dikhawatirkan akan berdampak pada inflasi (CNNIndonesia.com, 23/11/2021). Dampak ini, lanjutnya, sangat berakibat pada naiknya harga produk sehingga dapat menurunkan daya beli masyarakat. Dan tentunya ini merusak pasar para pengusaha. Secara sederhana, pemasukan yang mengalir ke kantong pengusaha akan berkurang.
Inilah lingkaran kapitalisme. Setiap sudutnya pasti menimbulkan kecacatan dalam masyarakat. Sistem ekonomi kapitalis hanya bersandar pada keuntungan para pengusaha, yaitu para pemilik modal. Tanpa mempedulikan nasib para pekerja.
Masalah mendasar pengupahan dalam sistem kapitalisme adalah penetapan upah minimum yang tak memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi pekerja. Upah minimum suatu daerah didasarkan pada produktivitas dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berjalan sesuai dengan tingkat inflasi nasional. Sehingga penetapannya hanya sebatas pada kebutuhan minimal pekerja. Jadi, secara kasat mata pun tampak, tak mungkin diperoleh sejahtera saat ditetapkan metode demikian.
Sangat berbeda dengan syariat Islam yang mengatur upah pekerja secara adil dan bijaksana. Syariat Islam menetapkan penetapan upah pekerja berdasarkan pada jasa dan manfaat yang diberikan oleh pekerja.
Sabda Nabi SAW dari Ibnu Umar ra., yang artinya,
"Berikanlah upah kepada buruh (pekerja) sebelum kering keringatnya."
(HR. Ibnu Majah, Tabrani, dan Hakim)
Demikian juga soal upah dan jaminan kehidupan layak bagi karyawan. Nabi SAW. bersabda, "Siapa yang mempunyai pekerja, hendaklah ia mencarikan istri (untuknya). Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal." (HR. Abu Daud).
Hadits ini mengisyaratkan bahwa kebutuhan para pekerja harus optimal dipenuhi oleh si pemilik pekerjaan (pengusaha). Bukan hanya sebatas kebutuhan minimal dalam kehidupannya.
Omong kosong rasanya kapitalisme dapat memenuhi kesejahteraan pekerja. Karena di dalamnya penuh dengan aturan yang rusak dan tak adil. Islam-lah satu-satunya sistem yang dapat memberikan keadilan yang haq kepada para pekerja. Dalam bingkai syariat dan wadah Khilafah manhaj kenabian, yang sesuai dengan teladan Rasulullah SAW.
Wallahu a'lam bisshowwab.
Tags
Opini