Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Keluarga)
Seperti diketahui, Reuni Alumni 212 pada 2 Desember 2021 rencananya digelar di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha. Namun peserta aksi tak dapat mendekat akibat polisi menyekat sejumlah akses jalan menuju kawasan tersebut. Alhasil, massa aksi pun terpecah dan tertahan di titik-titik penyekatan. Misalnya di titik penyekatan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, tepatnya di simpang Wisma Mandiri. Selain itu, ratusan massa Reuni 212 tertahan dan melakukan orasi di kawasan Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. (www.tempo.co, 4/12/2021)
Meski pada faktanya, agenda reuni pada tahun ini tidak seperti pada tahun – tahun sebelumnya, namun aksi 212 adalah aksi yang khas bagi kaum muslimin. Hal ini tercermin dari adanya persamaan nada yang disuarakan oleh semua peserta aksi (meski berasal dari latar belakang yang berbeda), yakni bela islam, bela al-qur’an, bela ulama, dan bela bendera tauhid. Dari sini juga mencerminkan suasana nyata dari ukhuwah islamiyah, semua datang bukan karena latar belakangnya, namun karena persamaan tujuan dan saling meniadakan perbedaan yang disandang. Kita bisa melihat, aksi ini senantiasa dihadiri berbagai lapisan umat yang datang dari berbagai ormas Islam, lintas gerakan, kelompok, jemaah partai politik, termasuk juga lintas profesi. Ada pejabat tinggi, birokrat, bahkan artis tak terkecuali.
Yang tak kalah kasnya adalah tentang cermin akhlak Islam. Hal ini tampak pada ketertiban yang menonjol selama aksi. Berjalan dengan damai, bersih, dan mandiri. Sangat berbeda dengan aksi lain pada umumnya, yang tidak sedikit mengakibatkan rusuh, keonaran atau paling tidak meninggalkan sampah yang berserakan di sekitar tempat aksi.
Aksi 212 memang bukan segalanya, tetapi menjadi bagian dari representasi semangat yang sudah ada sejak lama dan sulit dihentikan. Ini bisa terjadi karena ada kekuatan pemikiran yang menyebabkan kaum muslim yakin bahwa hukum Allah itu benar dan menjadi solusi atas segala-galanya. Hal ini tercermin sebagaimana tema aksi, yaitu ‘Mencari Solusi untuk Negeri Ini’. Ibarat panas di dalam bara, Reuni 212 memiliki energi perlawanan terhadap penindasan, kezaliman, oligarki, dan kapitalisme. Karenanya, pemikiran yang hadir untuk menyelesaikan persoalan ini adalah dengan persatuan umat sehingga energi persatuan pun hadir di sana dan akan bangkit manakala kekuatan Islam muncul di permukaan. Sehingga walaupun tampaknya memudar, tetapi energi 212 tidak melemah. Justru membuncah makin kuat. Hanya saja, karena banyak represi, tekanan, dan penangkapan yang terjadi sebelumnya, akhirnya banyak yang berhitung bagaimana bersikap untuk saat ini.
Sungguh dengan kacamata Islam, kita akan melihat bahwa di balik beragam persoalan ini ada kapitalisme dan liberalisme sebagai penyebab. Dan Islam punya konsep terdepan dan menyeluruh dalam menyelesaikan persoalan umat, sementara motor penggeraknya adalah ulama dan aktivis Islam.
Oleh karena itu, ketika aksi 212 telah bergulir menuju puncak pergerakan, yakni menjadikannya sebagai rujukan politik bagi umat, tentu hal ini akan menjadi moment yang menakutkan bagi kapitalisme global, karena Islam bisa menjadi pengganti. Maka arti penting perjuangan pemikiran dan perjuangan politik ada di sini, meski harus menghadapi berbagai tantangan semangat harus terus dipertahankan. Wallahu a’lam bi ash showab.