Penulis : Ike Marliana
(Pemerhati Sosial dan Generasi)
Dikutip dari porosnews.com (4/12) Sabtu sekitar pukul 15.00 WIB, Gunung Semeru erupsi mengeluarkan semburan awan panas yang mengakibatkan warga sekitar panik berlarian menghindari awan panas tersebut. Tampak anak kecil yang berlarian dalam suasana sekitar yang sudah cukup gelap tertutupi oleh awan panas dari erupsi gunung tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah tidak ada peringatan sebelumnya? Apakah tidak diberlakukan early warning system? Pada saat darurat seperti ini early warning system sangat penting dan diperlukan untuk menunjang mitigasi bencana demi keselamatan warga sekitar.
Fatmata Juliasyah atau biasa disapa Fati, Manager Advokasi dan Kampanye DPN KAWALI, menyampaikan tidak adanya peringatan atau early warning system pada bencana alam ini menandakan kegagalan sistem mitigasi bencana.
“Dalam hal ini BMKG yang memiliki peranan untuk menyampaikan informasi dan peringatan dini kepada instansi, pihak terkait, dan masyarakat berkenaan dengan bencana akibat faktor geofisika pun dapat dikatakan gagal menjalani perananannya. Kegagalan sistem mitigasi bencana ini harus mendapat perhatian dari pemerintah pusat karena ini menyangkut nyawa dan keselamatan masyarakat,” ungkap Fati dalam rilisnya yang diterima Redaksi, 5 Desember 2021 pukul 3 dini hari.
Sementara itu Wigyo, Ketua DPW KAWALI Jawa-timur, menyampaikan Early warning system harus selalu aktif dan tersedia di setiap daerah yang rawan bencana seperti di desa sekitar gunung berapi, sebagai sensor yang dipasang di dekat seismometer yang akan berbunyi sebagai informasi bahwa ada peningkatan aktivitas/pergerakan besar gunung berapi.
“Namun pada kejadian erupsi Gunung Semeru ini diketahui bahwa tidak ada peringatan/pemberitahuan dini sebelumnya, maka sangat bahaya sekali bagi masyarakat sekitar. Sedangkan penjelasan dari Kepala Badan Geologi Kementrian ESDM Eko lelono menyebutkan bahwa pada sekitar pukul 13.30 WIB terekam getaran banjir pada seismograf, tetapi tidak ada peringatan dini sampai sekitar pukul 15.00 WIB ketika masyarakat berhamburan panik saat erupsi terjadi,” ungkap Wigyo
Ketua DPD KAWALI Jawa-Timur.
Dalam kasus meletusnya gunung semeru ini sangat nampak negeri ini belum memiliki alarm pertama menghadapi bencana alam. Padahal keaktifan gunung merapi ini sudah terdeteksi lama. Tentu alarm ini perlu sebagai upaya antisipasi agar tidak banyak timbul korban serta meminimalkan dampak kerugian. Inilah yang disebut dengan mitigasi bencana yakni segala upaya untuk mengurangi risiko bencana. Upaya mitigasi bencana berbasis teknologi tidak bisa dilakukan tanpa dukungan penguasa. Butuh sistem yang mendukung perkembangannya, ketersediaan dana, dan tenaga menjadi modal pokoknya.
Dalam Islam mitigasi bencana menjadi tanggungjawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinan yakni sebagai pengurus(ra'in) dan penjaga (junnah) umat yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Oleh karenanya penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana.
Pada tempat rawan bencana harus ada kebijakan yang lebih khusus. Yakni tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga manajemen kebencanaan yang lebih sistemis dan terpadu seperti sistem peringatan dini, sistem logistik kedaruratan serta sistem kesehatan. Pemerintah harus menerapkan kebijakan tata ruang, tata wilayah, dan pembangunan infrastruktur yang berbasis kelestarian dan ketahanan lingkungan. Untuk mewujudkan semua hal itu tentu butuh sistem keuangan yang kuat. Jangan sampai persoalan dana terus- menerus menjadi alasan bagi aktor negara asing maupun lembaga non negara untuk membangun pengaruh politik melalui tawaran utang dan bantuan yang terjadi sekarang.
Hanya sistem kepemimpinan Islam yang bisa kita harapkan mampu menyelesaikan problem kebencanaan dengan solusi yang mendasar dan tuntas. Mulai dari fondasi negara dan kepemimpinan yang lurus yaitu dengan penerapan syariat Islam kaffah.
Wallahu a'lam bish showab.