Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Dalam rangka menyambut hari raya natal tahun 2021, Kementerian Agama menghimbau kepada satuan kerja dibawahnya untuk memasang spanduk ucapan selamat dan tahun baru atas nama toleransi. Namun hal tersebut menuai banyak kontra dari masyarakat.
Seperti yang dilansir oleh Republika.co.id :
Staf Khusus Menteri Agama (Stafsus Menag) Bidang Toleransi, Terorisme, Radikalisme, dan Pesantren Nuruzzaman membantah kabar Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Selatan (Kanwil Kemenag Sulsel) telah mencabut edaran tentang pemasangan spanduk ucapan Natal dan Tahun Baru.
"Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Selatan tidak pernah mencabut surat edaran pemasangan spanduk ucapan Natal dan tahun baru," ujar Nuruzzaman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (18/12).
Nuruzzaman membenarkan Kanwil Kemenag Sulsel telah menerbitkan edaran tentang pemasangan spanduk ucapan Natal dan Tahun Baru. Dia, mengakui ada permintaan agar Kanwil Kemenag Sulsel mencabut surat edaran tersebut. Namun, hal itu tidak jadi dilakukan sebab Kemenag adalah instansi vertikal dan juga menjadi representasi dari negara.
"Kementrian Agama adalah kementerian semua agama, bukan hanya kementerian satu agama. Kementerian Agama berkewajiban mengayomi, melayani, dan menjaga seluruh agama, termasuk merawat kerukunan umat beragama,"ujarnya.
https://www.republika.co.id/berita/r4axep484/stafsus-menag-bidang-radikalisme-bantah-kemenag-sulsel-cabut-edaran-natal
Sementara ketua MUI bidang dakwah dan ukhuwah KH.Cholil Nafis, menyebut mengucapkan selamat natal itu boleh selama hanya sekedar dalam konteks menghormati dan toleransi antar umat beragama.
"Menurut Cholil yang tidak boleh dilakukan adalah mengikuti upacara atau rangkaian kegiatan perayaan tersebut," imbuhnya.
Oleh karena itu, meski sebagian besar masyarakat menolak kebijakan memasang spanduk ucapan selamat natal di seluruh satuan kerja Kementerian Agama, namun kebijakan ini harus tetap dilanjutkan untuk menegaskan sikap pemerintah terhadap isu ucapan natal. Bahkan MUI dan parpol Islam pun nampak mendukung kebijakan ini dengan menyatakan bahwa tidak ada larangan tegas dari syariat.
Betapa hal in menegaskan makin masifnya kebijakan pro moderasi beragama. Terbukti program moderasi beragama nyata mendorong kaum muslim meremehkan urusan prinsip agama bahkan yang berkaitan dengan akidah. Paham moderasi agama secara garis besar adalah paham keagamaan yang moderat. Moderat sering dilawankan dengan radikal, kedua istilah ini bukanlah istilah yang ilmiah tetapi cenderung istilah politis.
Kedua istilah ini, memiliki motif politik tertentu. Motif politik dibalik ini mengungkapkan yang bohong, menzahirkan yang palsu, serta menyembunyikan yang hakikat. Moderat sejatinya adalah paham keagamaan (Islam) yang sesuai dengan selera Barat. Sesuai nilai-nilai Barat yang notabennya sekuler yakni memisahkan agama dari kehidupan.
Sebaliknya, radikal adalah paham keagamaan (Islam) yang dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam yang anti Barat. Mereka adalah pihak yang menolak keras sekulerisme. Mereka yang menghendaki penerapan syariah Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Di antara sikap beragama yang dipandang moderat adalah keterbukaan terhadap pluralisme.
Pluralisme adalah paham yang cenderung menyamakan semua agama. Semua agama dianggap benar oleh para pengusung pluralisme ini. Sebabnya kata mereka, semua agama sama-sama bersumber dari "mata air" yang sama. Sama-sama berasal dari Tuhan.
Jadi tidak aneh, jika kaum pluralis termasuk pemerintah negeri ini rajin mempromosikan toleransi beragama yang sering kebablasan. Seperti Ucapan Selamat Natal pada kaum Nasrani, Perayaan Natal Bersama, Doa Bersama Lintas Agama, Shalawtan di Gereja, dll. Semua itu tentu telah melanggar batas akidah seorang muslim, mencampuradukan antara yang haq dan yang batil, semua itu bisa membuat seorang muslim murtad (keluar) dari Islam.
Nabi Muhammad Saw memerintahkan kepada umatnya untuk selalu waspada agar tak tergelincir dalam kesesatan dengan mengikuti keyakinan dan perilaku agama lain.
Rasulullah Saw Bersabda ;"Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan andai mereka masuk lubang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka. Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nasranikah mereka?"
Beliau menjawab, "Siapa lagi kalau bukan mereka?"(HR. am-Bukhari).
Ibnu Hajar am-Asqalani dalam kitabnya, Fath al-Bari, menyatakan hadist tersebut berkaitan dengan ketergelinciran umat Islam karena mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah. Dalam konteks akidah dan ibadah misalnya, ada yang berpendapat bahwa boleh mengucapkan selamat natal dan mengikuti perayaan ibadah mereka, padahal segala bentuk ucapan selamat dan mengikuti perayaan hari-hari besar orang kafir adalah haram.
Dasarnya adalah firman Allah swt yang menyatakan "..Dan mereka tidak menyaksikan kepalsuan..
(Qs. al-Furqan : 72).
Ketika menafsirkan ayat ini Imam al-Qurthubi ( w.671 H) menyatakan, "maknanya adalah tidak menghadiri dan menyaksikan setiap kebohongan dan kebatilan,"
"Az-Zur adalah setiap kebatilan yang dihiasi dan dipalsukan,"
"Zur yang paling besar adalah berlaku syirik dan mengagungkan berhala,"
Ini adalah penafsiran Adh-Dhahhak, Ibnu Zaid dan Ibnu Abbas.
Dalam pandangan Islam, peringatan natal adalah kebatilan/kebohongan. Karena alasannya peringatan natal adalah peringatan atas kelahiran Nabi Isa alaihissalam sebagai oknum Tuhan.
Jelas, majelis didalamnya adalah pengakuan bahwa Isa as adalah anak Tuhan merupakan majelis batil sebagaimana diketahui tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi salaf kaum muslim yang ikut serta dalam hal apapun dari perayaan mereka.
Oleh karena itu, umat harus mendapatkan informasi shahih bahwa kebijakan pemerintah untuk memasang spanduk ucapan selamat natal di seluruh satuan kerja Kemenag merupakan bentuk toleransi yang kebablasan. Dan ini salah satu proyek moderasi yang berupaya mencampuradukan kebenaran agama Islam dan kebatilan.
Harusnya negaralah yang menjaga dan melindungi agama serta keyakinan umat Islam agar terjaga kemurniannya. Namun penjagaan dan perlindungan ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menjadikan akidah Islam sebagai asasnya, yakni Khilafah Islamiyah.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini