Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon berbicara tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemerintah dan DPR RI memperbaiki UU Cipta Kerja (Ciptaker). Fadli Zon menyebut UU Ciptaker bermasalah sejak awal proses pembuatannya.
Hal itu diutarakan Fadli Zon di akun Twitter-nya, Sabtu (27/11/2021). Selain itu, permasalahan UU Ciptaker, menurut Fadli Zon, karena bertentangan dengan konstitusi negara.
"UU ini harusnya batal karena bertentangan dengan konstitusi dan banyak masalah sejak awal proses," kata Fadli Zon.
Fadli Zon juga menyebut banyak 'invisible hand' terkait UU Ciptaker.
"Terlalu banyak 'invisible hand'. Kalau diperbaiki dalam 2 tahun, artinya tak bisa digunakan yang belum diperbaiki," ujarnya.
Mahkamah Konstitusi sebelumnya memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU Ciptaker. Merespons putusan MK tersebut, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan segera memperbaiki UU Cipta Kerja.
"Setelah mengikuti sidang MK, pemerintah menghormati dan mematuhi putusan MK serta akan melaksanakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan putusan MK yang dimaksud," kata Airlangga dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube Perekonomian RI, Kamis (25/11).
https://news.detik.com/berita/d-5830011/fadli-zon-uu-ciptaker-harusnya-batal-terlalu-banyak-invisible-hand.
Polemik UU Cipta Kerja (Ciptaker) memasuki babak baru. Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU 11/2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Ketua MK Anwar Usman menyatakan bahwa UU Ciptaker tetap berlaku sampai para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, melakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak penetapan putusan tersebut.
Pembahasan alot mengenai UU Ciptaker mewarnai perjalanannya hingga berakhir di MK. Berbagai pihak menggugat UU ini lantaran tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
MK menyampaikan alasan mengapa UU ini inkonstitusional. Pertama, metode penggabungan (omnibus law) UU Ciptaker tidak jelas, apakah ia UU baru atau melakukan revisi. Kedua, tidak memegang asas keterbukaan pada publik. Pertanyaannya, benarkah MK masih berpihak pada kepentingan rakyat banyak ? Masyarakat sudah telanjur menaruh harapan agar UU Ciptaker batal, yang terjadi justru sebaliknya, MK terkesan setengah hati untuk menghapus UU cacat yang merugikan banyak pihak.
Pro Kontra pun mengiringi beraneka respons mengemuka di ruang publik. Banyak yang beranggapan bahwa putusan MK menggantung, serba nanggung, ambigu, dan berpotensi multitafsir. Sikap ambivalen MK ini terkesan "setengah hati" untuk membatalkan UU cacat. Bagaimana mungkin UU yang inkonstitusional, tetapi pasal demi pasalnya tetap berlaku? Sungguh logika hukum yang aneh bin ajaib. Hal inilah yang mengiringi pro kontra putusan MK tersebut.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mempertanyakan sikap MK yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional terbatas, alih-alih membatalkannya. Menurutnya, putusan ini cukup janggal karena semestinya MK membatalkan UU apabila telah menyatakan UU itu menyalahi konstitusi dan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (Kompas, 25/11/2021).
Kritik juga datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menyebut MK tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK.
Bahkan Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon berbicara tentang putusan MK yang memerintahkan pemerintah dan DPR RI memperbaiki UU Ciptaker. Fadli Zon mengebut UU Ciptaker bermasalah sejak awal proses pembuatannya. Ia mengatakan UU Ciptaker mestinya batal karena bertentangan dengan konstitusi dan terlalu banyak “invisible hand” yang bermain di pembuatan UU tersebut.
Putusan MK sejatinya mengonfirmasi beberapa hal atas buruknya hukum demokrasi di negeri ini. Pertama, pembuatan UU ini sudah salah sejak awal, maka ujungnya pasti menimbulkan kegaduhan dan perdebatan di tengah-tengah masyarakat. Paradigma dalam penyusunan UU ini sesungguhnya bukan untuk rakyat, tetapi lebih berpihak pada kepentingan korporasi.
Ini membuktikan sekali lagi bahwa UU buatan manusia tidak akan bisa lepas dari konflik kepentingan kelompok dan pribadi. Kedua, pernyataan bahwa UU ini cacat formil hingga materiil mengindikasikan bahwa UU hukum sekuler memberi celah bagi siapa pun yang berkuasa untuk mengutak-atik hukum sesuai kehendaknya. Ketiga, lembaga yudikatif yang katanya merupakan lembaga netral untuk menegakkan keadilan nyatanya juga tidak bisa menjadi harapan bagi rakyat.
Buktinya, MK hanya merespons tuntutan revisi UU Ciptaker, bukan membatalkan atau menghapusnya. Seakan memihak kepentingan rakyat, padahal sebenarnya tidak. Putusan ini justru menghasilkan interpretasi yang beraneka macam, bias dan tidak jelas. Bagaimana keadilan dapat tercipta jika lembaga penegaknya saja masih abu-abu dan ambigu dalam memihak kebenaran? Keempat, hadirnya UU Ciptaker yang kontroversial menunjukkan kepada kita kelemahan hukum buatan manusia. Sarat akan kepentingan, standardisasi hukumnya lentur dan berubah-ubah, ruwet, dan gagal menyolusi setiap persoalan kehidupan.
Lahirnya UU Ciptaker hingga amar putusan yang mengiringinya sejatinya merupakan produk hukum demokrasi sekuler yang menihilkan harapan rakyat tentang makna keadilan sesungguhnya. Sebagus dan sehebat apa pun produk hukum demokrasi, akan selalu membawa kecacatan dan sulit memperbaikinya. Sebab, demokrasinya sendiri sudah cacat, hukum turunannya pun sama.
Maka dari itu, tidak selayaknya kita berharap pada hukum demokrasi sekuler yang gagal mewujudkan keadilan untuk semua. Sangat kontras dengan hukum Islam yang mana ketika ada tuntutan kepada penguasa, maka Qodhi tidak akan ragu harus berpihak kepada siapa.
Dalam sistem peradilan Islam, Qadhi ada tiga, salah satunya ialah Qâdhi Mazhâlim. Qâdhi Mazhâlim adalah Qadhi yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kezaliman oleh negara yang menimpa setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik rakyatnya sendiri maupun bukan; baik kezaliman itu dilakukan oleh Khalifah maupun pejabat-pejabat lain, termasuk para pegawai.
Dalil yang menjadi landasan dalam masalah Peradilan Mazhâlim adalah riwayat dari Nabi saw. bahwa beliau telah menetapkan bahwa perbuatan seorang penguasa—baik berupa perintah atau bukan—yang tidak sesuai dengan arahan kebenaran ketika memutuskan perkara atau memerintah untuk rakyat adalah sebagai tindak kezaliman.
Anas menyatakan bahwa harga-harga pernah melambung tinggi pada masa Rasulullah saw. Lalu para Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, andai saja Anda mematok harga (tentu tidak melambung seperti ini).” Kemudian Nabi saw. bersabda, “Sungguh Allahlah Yang menciptakan, memegang, dan melapangkan; Yang Maha Pemberi rezeki dan Yang Menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepada dia dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta.” (HR Ahmad).
Setiap bentuk kezaliman yang menimpa seseorang yang berasal dari penguasa atau dari pengaturan dan perintah-perintah negara, dinilai sebagai mazhlimah (kezaliman). Jika terdapat perkara kezaliman, hal itu disampaikan kepada Khalifah agar kezaliman tersebut diselesaikan, atau disampaikan kepada orang yang mewakili Khalifah, yaitu Qâdhi Mazhâlim.
Dalam menegakkan hukum, seorang Qadhi hanya boleh berpedoman pada syariat Islam dalam membela kebenaran dan menghukum yang bersalah secara adil tanpa melihat apakah dia berkedudukan sebagai penguasa, pejabat, atau rakyat.
Hal ini pernah Khalifah Umar contohkan dalam menegur Gubernur Mesir Amr bin al-Ash tatkala ia menghukum putra Khalifah yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, Ibnul Jauzi meriwayatkan bahwa Amr bin al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamar terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar).
Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam ini terselenggara di sebuah lapangan umum di pusat kota. Tujuannya agar penerapan sanksi semacam ini memberikan efek jera bagi masyarakat. Namun, Amr justru menyalahinya dengan menghukum putra Khalifah di dalam rumah. Ketika informasi ini sampai kepada Khalifah Umar, beliau menegurnya melalui sepucuk surat. Setelah itu, Amr menggiring Abdurrahman ke sebuah lapangan pusat kota lalu mencambuknya di depan publik.
Selain itu, hukum Islam memiliki standar yang jelas dalam menentukan benar dan salah, yaitu mengacu pada syariat Islam semata.
Tidak seperti hukum demokrasi yang bisa mengompromikan antara benar dan salah berdasarkan kesepakatan dan suara terbanyak. Syariat Islamlah yang menjadi penentu baik buruk atau benar salahnya suatu persoalan. Standarnya baku dan tetap, mustahil bagi manusia untuk mengutak-atiknya atau mengubah sesuai kepentingannya karena hukum yang terterapkan berasal dari Allah Swt.
Akan tetapi, pemberlakuan syariat Islam tidak akan sempurna tanpa ada negara, yakni Khilafah yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Ketika Khilafah tegak, berbagai kemaslahatan akan terpancar, salah satunya dalam bidang praktik hukum dan peradilan. Sejarah mencatat bahwa sistem Khilafah memberikan keadilan hakiki bagi seluruh umat manusia hingga kurun waktu kurang lebih 13 abad lamanya.
Wallahu alam bisa-sawab
Tags
Opini