Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati sosial dan Keluarga)
Pada Senin (6/12/2021) sekitar pukul 09.00 WIB, Gunung Semeru memuntahkan awan panas. Akibatnya, hujan abu kembali turun. Tak hanya itu, warga Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang panik dan lari berhamburan
Gunung Semeru yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Malang dan Lumajang, Jawa Timur, meletus. Gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut erupsi, mengeluarkan guguran awan panas pada Sabtu, sekitar pukul 15.00 WIB (4/12/2021). Guguran tersebut mengarah ke Besuk Kobokan, Desa Supit Utang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan data sementara, per Minggu malam (5/12/2021), sebanyak 14 orang meninggal dunia akibat erupsi Gunung Semeru. Sebanyak 5 ribu jiwa di 10 kecamatan terdampak. Mereka merasakan awan panas guguran maupun abu vulkanik (Republika.co.id, 5/12/2021).
Banyak warga yang menyesalkan kekurangtanggapan pemerintah melalui peringatan dini, sehingga pada Sabtu lalu warga masih beraktivitas seperti biasa. mungkin seandainya pemerintah lebih cepat bergerak untuk memberikan peringatan kepada warga, mereka akan mempersiapkan diri untuk mengungsi serta menyelamatkan harta bendanya.
Menanggapi hal ini, Kepala Bidang Kedaruratan dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang mengatakan, selama ini tidak ada Early Warning System (EWS) di Desa Curah Kobokan. Padahal, alat tersebut penting untuk mendeteksi peringatan dini bencana. Hanya ada seismometer, itu pun di daerah Dusun Kamar A yang berfungsi sekadar memantau pergerakan air dari atas agar bisa sampai ke penambang di bawah. (Tribunnews.com, 5/12/2021).
Kondisi ini menyebabkan setiap bencana yang melanda negeri ini, tak terkecuali kasus erupsi semeru, mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Puluhan korban jiwa, termasuk anak-anak dan korban luka bakar serius, menjadi cerita yang kembali berulang saat gunung meletus. Banyaknya korban yang belum ditemukan juga menjadi catatan kelam evakuasi korban bencana.
Sementara itu, pemerintah mengklaim telah melakukan peringatan dini melalui pengumuman status Semeru pada level waspada, serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mengetahui adanya tanda-tanda erupsi. Akan tetapi, kita patut mempertanyakan sosialisasinya karena ternyata banyak warga yang tidak mengetahui peringatan dini tersebut.
Mengenai buruknya mitigasi bencana, sudah menjadi catatan kelam penguasa negeri ini. Namun yang disesalkan, tidak ada upaya perbaikan dari waktu ke waktu. Maka tidak heran jika banyak warga kemudian menmpertanyakan keseriusan pemerintah dan selalu mengkritik kelalaiannya. Kesiapan teknis seperti EWS saja tidak ada. Padahal, andai penguasa sangat memperhatikan keselamatan warga, hal penting tersebut tidak akan pernah luput. Begitu pun evakuasi yang terkesan seadanya dan tempat penampungan yang jauh dari kata layak, seyogianya tidak terulang secara terus menerus.
Begitulah, sistem demokrasi kapitalistik selalu saja memproduksi penguasa yang lalai dan kerap “cuci tangan” alias melimpahkan tanggung jawabnya pada pihak lain. Sistem ini memang tidak akan pernah menciptakan pejabat yang mengurusi umat dengan sepenuh hati.
Oleh karena itu, kesengsaraan yang menimpa korban bencana saat ini, tidak lepas dari abainya penguasa dalam mengurusi rakyatnya. Meski kita tidak bisa pungkiri, bahwa setiap kejadian adalah bentuk ketetapan Allah yang harus kita imani keberadaannya. Semoga hari ke depan umat akan mendapatkan kembali pemimpin benar – benar mau mengurusi rakyatnya, termasuk cekatan dalam hal mitigasi bencana dan penanganannya. Wallahualam bi ash showab.